JAKARTA, KOMPAS.com - Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) memandang bahwa upaya untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi seolah didesain secara sistematis dan melibatkan "oknum" penguasa yang mempunyai kekuatan besar dalam mempengaruhi kebijakan di lembaganya masing-masing. APTISI mendukung upaya KPK melaksanakan tugas, kewajiban, dan kewanangannya dalam memberantas korupsi tanpa pandang bulu. KPK tidak perlu ragu menjalankan amanah itu karena pasti mendapat dukungan dari mayoritas rakyat Indonesia.
Pernyataan tersebut disampiakan Ketua Umum APTISI Edy Suandi Hamid, Sabtu (6/10/2012). "Tekanan yang dilakukan pihak-pihak tertentu dan didukung silent elite untuk melemahkan KPK sungguh sangat memalukan dan sia-sia," kata Edy yang juga Rektor Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Edy mengatakan, upaya pelemahan KPK memalukan karena fenomena ini disaksikan dunia dan yang pasti mempertanyakan hasil reformasi yang dilakukan dengan banyak pengorbanan, tetapi ternyata tidak membawa perubahan dalam membentuk Clean Governance (pemerintahan yang bersih). Kemudian letak kesia-siaannya karena upaya pelemahan terhadap KPK pasti tidak akan berhasil, mengingat seiring dengan matangnya demokrasi di Indonesia, rakyat sudah semakin sadar dan muak dengan penjarahan asset dan kekayaan negara oleh pejabat yang berbaju pemimpin dan bertopeng kesucian, sehingga sangatlah mungkin rakyat akan berjibaku untuk membela KPK.
Oleh karenanya apabila Presiden masih beretorika dan tidak menunjukkan kesungguhan memberantas korupsi dan membela KPK, gerakan massa akan muncul. Ini bisa bergelombang dan pada akhirnya dapat melahirkan reformasi jilid dua.
Model-model penekanan pola-pola masa lalu dengan mencari-cari kesalahan atau membuat-buat kesalahan agar bisa menangkap orang, sesungguhnya sudah dihafal luar kepala oleh publik di republik ini. Oleh karena itu, APTISI menilai cara seperti itu hanya melahirkan kebencian dan kemarahan masyarakat luas yang bisa jadi kontraproduktif manakala ini tidak terkendali.
"APTISI meminta Presiden bertindak secara nyata dan keluar dari sangkar emasnya dengan terjun ke lapangan. Jangan hanya lewat juru bicaranya (jubir) mengumumkan perintah untuk mengingatkan para pihak yang bawahannya berlaku tidak tepat," kata Edy.
Presiden harus bertindak lebih dari itu, seperti mengawal perintah itu dengan memberikan tenggat waktu secepatnya. Misalnya presiden dapat memerintahkan kepada semua bawahannya bahwa dalam tempo 2 (dua) jam sudah dapat dipastikan tidak ada gangguan-gangguan atau "tekanan" kepada KPK.
Bahkan tindakan yang akan menjadi lebih bermakna kalau misalnya Presiden mengunjungi KPK. Hal itu perlu dilakukan sebagai bentuk dukungan politik serta keseriusannya memberantas korupsi. Tindakan bermakna lainnnya ialah dengan mengganti Kapolri yang tidak kooperatif dalam mendukung pembentukan Clean Governance di Indonesia, serta lambat bertindak dengan membiarkan anak buahnya berlaku tidak patut terhadap institusi seperti KPK.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.