Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gayus Dituntut 8 Tahun Penjara untuk 4 Perkara

Kompas.com - 05/01/2012, 18:38 WIB
Icha Rastika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Gayus H Tambunan, dianggap bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Gayus dituntut menjalani hukuman penjara selama delapan tahun dan membayar denda sebesar Rp 1 miliar yang dapat diganti dengan hukuman 6 bulan kurungan.

Tuntutan tersebut dibacakan tim jaksa penuntut umum yang diketuai Eddy Rakamto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (5/1/2012). "Majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi yang memeriksa, mengadili perkara ini, menyatakan, Gayus H Tambunan bersalah melakukan tindak pidana gratifikasi, suap, dan pencucian uang," kata Eddy.

Jaksa menilai Gayus bersalah dalam empat kasus sekaligus yang didakwakan kepadanya. Dalam perkara pertama, Gayus dianggap terbukti menerima suap Rp 925 juta dari Roberto Santonius terkait kepengurusan gugatan keberatan pajak PT Metropolitan Retailmart.

Gayus juga diduga menerima uang 1 juta dollar AS dari Alif Kuncoro terkait pembuatan surat permohonan banding dan surat bantahan pajak untuk PT Bumi Resource. Pada 2008, Gayus ditemui Alif Kuncoro di apartemennya di Jakarta. Saat itu, Alif meminta Gayus agar membantunya membuatkan surat banding dan surat bantahan untuk kepentingan PT Bumi Resource dengan janji pemberian uang.

Meskipun aturan di Direktorat Jenderal Pajak melarang hal itu, Gayus menyanggupi permintaan tersebut. Gayus meminta uang 500.000 dollar AS untuk pihak lain di Pengadilan Pajak, yaitu Panitera Pengadilan Pajak Majelis sebesar 500.000 dollar AS. Setelah surat yang diminta selesai, Alif memberikan uang yang diminta Gayus. Namun, Gayus tidak pernah memberikan uang itu kepada Panitera Pengadilan Pajak Majelis, Idris Irawan. Dia menggunakan uang untuk kepentingan sendiri.

Berdasarkan fakta persidangan, hubungan Alif dan Gayus tidak berhenti di situ. Menurut jaksa, Alif kembali meminta bantuan Gayus untuk mengurus Surat Ketetapan Pajak PT Kaltim Prima Coal (KPC) tahun 2001-2005 dengan janji uang. SKP PT KPC ini tidak keluar karena ada masalah penetapan kurs terhadap kewajiban pajak PT KPC. Gayus pun menyanggupi permintaan itu dan menghubungi Maruli Pandapotan Manurung.

Setelah SKP PT KPC keluar, Alif menyerahkan 500.000 dollar AS kepada Gayus. Tak hanya itu, agar PT KPC dan PT Arutmin mendapat fasilitas sunset policy, Alif meminta Gayus membuat pembetulan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Penghasilan (SPT PPh) Periode 2005-2006 dengan janji uang. Setelah Gayus menyelesaikan permintaan itu, Alif menyerahkan 2 juta dollar AS kepada Gayus. Dengan demikian, total uang yang diterima Gayus dari Alif Kuncoro mencapai 3,5 juta dollar AS. Perbuatan Gayus yang menerima hadiah berupa uang dari Alif ini dianggap melanggar Pasal 12 B Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pada perkara kedua, Gayus tersangkut kasus kepemilikan 659.800 dollar AS dan 9,68 juta dollar Singapura. Jaksa menilai uang tersebut merupakan hasil tindak pidana gratifikasi. Gayus terbukti menerima pemberian sesuai dengan Pasal 12 B Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.

Perkara ketiga terkait penyimpanan uang tersebut ke dalam safe deposite box Bank Mandiri Cabang Kelapa Gading. Menurut jaksa, dengan menyimpan uang tersebut ke dalam safe deposite box, Gayus melakukan tindak pidana pencucian uang sesuai dengan Pasal 3 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dalam kasus keempat, Gayus dinilai terbukti menyuap sejumlah petugas Rumah Tahanan Mako Brimob Kelapa Dua, Depok. Salah satunya kepada Kepala Rutan Mako Brimob, Komisaris Iwan Siswanto. Total uang senilai Rp 264 juta diberikan Gayus kepada Iwan agar dia dapat meninggalkan tahanan.

Selain perkara di atas, jaksa menuntut majelis hakim agar memutuskan penyitaan barang bukti berupa uang tunai senilai Rp 201 juta, 34 dollar Singapura, 659.800 dollar AS, 9,86 juta dollar Singapura, serta beberapa tabungan yang disebutkan dalam dakwaan. Jaksa juga menuntut penyitaan mobil Honda Jazz dan Ford Everest milik Gayus.

Hal memberatkan

Tuntutan 8 tahun penjara atas empat perkara yang melibatkan Gayus tersebut melalui sederet pertimbangan. Ada sederet hal yang menurut jaksa memperberat hukuman Gayus. Pertama, dalam masa baktinya yang relatif singkat, yakni empat tahun, Gayus tidak tampak mengabdi pada negara. Dia malah memanfaatkan kelemahan sistem di Ditjen Pajak untuk kepentingan pribadi.

"Selaku PNS di Ditjen Pajak yang jadi percontohan perilaku bebas KKN (kolusi, korupsi, nepotisme), diberikan gaji lebih besar, perilakunya justru merusak dan tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi," kata Jaksa Eddy.

Selain itu, dalam usianya yang relatif muda, Gayus melakukan perbuatan tidak terpuji, tidak terhormat, dan cenderung koruptif. Perilaku Gayus ini dikhawatirkan akan merusak mental kerja di lingkungannya. "Gayus juga berbelit-belit di persidangan, sama sekali tidak menunjukkan penyesalan. Di tahanan justru mengulangi perbuatannya dengan menyuap aparat hukum," kata Eddy.

Sementara hal yang meringankan, kata Eddy, lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara itu senantiasa berlaku sopan selama persidangan. Menanggapi tuntutan ini, Gayus beserta tim kuasa hukumnya akan mengajukan pledoi atau nota pembelaan yang dibacakan dua pekan ke depan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    DPR Disebut Dapat KIP Kuliah, Anggota Komisi X: Itu Hanya Metode Distribusi

    DPR Disebut Dapat KIP Kuliah, Anggota Komisi X: Itu Hanya Metode Distribusi

    Nasional
    Komisi II DPR Sebut Penambahan Kementerian Perlu Revisi UU Kementerian Negara

    Komisi II DPR Sebut Penambahan Kementerian Perlu Revisi UU Kementerian Negara

    Nasional
    Pengamat Dorong Skema Audit BPK Dievaluasi, Cegah Jual Beli Status WTP

    Pengamat Dorong Skema Audit BPK Dievaluasi, Cegah Jual Beli Status WTP

    Nasional
    Maju Nonpartai, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Wali Kota dan Bupati Independen?

    Maju Nonpartai, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Wali Kota dan Bupati Independen?

    Nasional
    Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Minim Pengawasan

    Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Minim Pengawasan

    Nasional
    DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu hingga Mei

    DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu hingga Mei

    Nasional
    DKPP Keluhkan Anggaran Minim, Aduan Melonjak Jelang Pilkada 2024

    DKPP Keluhkan Anggaran Minim, Aduan Melonjak Jelang Pilkada 2024

    Nasional
    Jawab Prabowo, Politikus PDI-P: Siapa yang Klaim Bung Karno Milik Satu Partai?

    Jawab Prabowo, Politikus PDI-P: Siapa yang Klaim Bung Karno Milik Satu Partai?

    Nasional
    Pengamat Sarankan Syarat Pencalonan Gubernur Independen Dipermudah

    Pengamat Sarankan Syarat Pencalonan Gubernur Independen Dipermudah

    Nasional
    Komnas Haji Minta Masyarakat Tak Mudah Tergiur Tawaran Haji Instan

    Komnas Haji Minta Masyarakat Tak Mudah Tergiur Tawaran Haji Instan

    Nasional
    Libur Panjang, Korlantas Catat Peningkatan Arus Lalu Lintas

    Libur Panjang, Korlantas Catat Peningkatan Arus Lalu Lintas

    Nasional
    DKPP Terima 233 Pengaduan Pemilu dalam 4 Bulan Terakhir

    DKPP Terima 233 Pengaduan Pemilu dalam 4 Bulan Terakhir

    Nasional
    Prabowo: Beri Kami Waktu 4 Tahun untuk Buktikan ke Rakyat yang Tak Pilih Kita

    Prabowo: Beri Kami Waktu 4 Tahun untuk Buktikan ke Rakyat yang Tak Pilih Kita

    Nasional
    Yusril: Penambahan Kementerian Prabowo Bukan Bagi-bagi Kekuasaan, Tak Perlu Disebut Pemborosan

    Yusril: Penambahan Kementerian Prabowo Bukan Bagi-bagi Kekuasaan, Tak Perlu Disebut Pemborosan

    Nasional
    BPK di Pusara Sejumlah Kasus Korupsi...

    BPK di Pusara Sejumlah Kasus Korupsi...

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com