Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mereka yang Jenuh Berharap kepada Negeri Sendiri

Kompas.com - 16/08/2011, 02:28 WIB

Menjelang malam di Dermaga Sungai Nyamuk, gemerlap lampu dengan deretan gedung menjulang tinggi di Tawau dapat terlihat jelas. Sebaliknya di Sebatik, lampu-lampu hanya berasal dari rumah penduduk yang berpendar temaram di tepi jalan utama. ”Kalau sampai Tawau, pemandangan rasanya drastis. Dari desa di Sebatik terlihat gedung-gedung megah di Tawau,” kata Kadir, salah satu ketua lembaga kepemudaan di Sebatik.

Pemadaman listrik bergilir juga jadi hal biasa bagi warga Sebatik. Bukan hanya itu, air bersih bahkan masih jadi barang langka. Warga biasanya mengandalkan air hujan. Namun, ketika kemarau tiba mau tidak mau mereka membeli air bersih dari Tawau dengan jeriken. ”Kalau tidak beli di Tawau, kami bisa tidak mandi,” ucap Samad (29), warga Desa Aji Kuning.

Jika dibandingkan memang terasa kontras. Di Sebatik hanya ada satu jalan aspal utama sepanjang 95 km yang sebagian besar rusak parah, ada tiga puskesmas, satu pasar swalayan, satu stasiun pompa minyak, dan sebuah dermaga kayu. Sisanya adalah rumah kayu dan kios sederhana yang menjadi etalase pulau di tepi jalan.

Sebaliknya, Tawau memiliki fasilitas layaknya kota besar, seperti rumah sakit, pabrik pengolahan sawit, pengolahan kakao, pusat perbelanjaan, dan jalan-jalan besar yang beraspal mulus.

Sebagai gerbang terdepan negara, Sebatik justru nyaris tak tersentuh program pembangunan dari pemerintah. Akibatnya, rakyat tak hanya menggantungkan urusan perutnya ke Tawau, tetapi juga hampir semua aspek kebutuhan dasar seperti air bersih dan kesehatan.

”Kalau ada yang sakit parah di Sebatik, dokter puskesmas biasanya merujuk pasien untuk dirawat di Tawau daripada ke Nunukan karena waktu tempuh lebih cepat dan fasilitas lebih bagus,” kata Kepala Seksi Sosial Ekonomi Kecamatan Sebatik Awaluddin.

Selama ini Sebatik hanya menjadi obyek kunjungan pejabat pusat yang mengucap janji-janji manis belaka tanpa realisasi. ”Tidak usah dihitung. Sudah berpuluh-puluh pejabat, mulai dari gubernur, menteri, hingga wakil presiden sudah berkunjung ke sini. Tapi nyatanya tetap tidak ada pengaruh,” kata Hendra (42), warga Desa Sungai Nyamuk.

Nuansa Malaysia

Karena begitu tergantungnya dengan Tawau, nuansa Malaysia pun terasa sekali di Sebatik. Mata uang ringgit dan aksen Melayu kental masih banyak dijumpai, terutama di desa-desa yang langsung berbatasan dengan Malaysia.

Di Desa Aji Kuning, misalnya, sebotol air mineral dijual 1 ringgit atau setara Rp 2.850. ”Di sini bisa beli pakai rupiah atau ringgit, tapi kami lebih senang kalau pembeli punya ringgit,” ucap Rika (20), anak dari pemilik salah satu kios.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com