Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mereka yang Jenuh Berharap kepada Negeri Sendiri

Kompas.com - 16/08/2011, 02:28 WIB

Harry Susilo

Sebuah ketinting melaju pelan sebelum akhirnya bersandar di tepi sungai kecil di Desa Aji Kuning, Pulau Sebatik, Kalimantan Timur, Sabtu (30/7) siang. Warga pun berduyun-duyun menghampiri dengan wajah sumringah.

Benar saja, ketinting atau perahu kayu kecil bermesin yang dapat memuat lima orang itu membawa berbagai jenis kebutuhan pokok dari Tawau, Malaysia. ”Kami bisa makan karena ada barang-barang dari Tawau,” kata Haji Tahir (67) sembari menurunkan barang kebutuhan pokok miliknya.

Hampir semua kebutuhan sehari-hari warga Sebatik dipasok dari Tawau, mulai dari gula, telur, elpiji, minyak goreng, hingga daging sapi. Adapun hasil bumi dari Sebatik, seperti kelapa sawit, kakao, pisang, sayur-sayuran, dan ikan, dijual ke negeri jiran tersebut.

Haji Tahir, misalnya, baru saja menjual 20 tandan pisang yang dipanen dari kebunnya ke Tawau seharga 5 ringgit Malaysia (RM) atau Rp 14.300 per tandan. Uang hasil penjualan pisang dia gunakan untuk membeli telur, gula, dan elpiji.

Pulau Sebatik di ujung utara Kaltim merupakan pulau terluar atau terdepan Indonesia yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Sisi selatan pulau seluas 246,61 kilometer persegi ini masuk wilayah Indonesia, sedangkan bagian utara seluas 187,23 kilometer persegi masuk Malaysia.

Terdapat dua kecamatan di pulau yang masuk wilayah Kabupaten Nunukan ini, yakni Sebatik dan Sebatik Barat. Saat ini, penduduk Sebatik diperkirakan sekitar 31.000 jiwa yang kebanyakan berasal dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, diikuti Nusa Tenggara Barat, dan Jawa.

Untuk mencapai Tawau dari dermaga di Desa Sungai Nyamuk, Sebatik, hanya dibutuhkan waktu sekitar 15 menit dengan ketinting. Jika ingin ke Pulau Nunukan, warga Sebatik harus menghabiskan setidaknya 1,5 jam menyeberangi Selat Sebatik dilanjutkan perjalanan darat.

Ketimpangan

Sudah berpuluh-puluh tahun penduduk Sebatik menggantungkan hidupnya dari negeri tetangga. Ketergantungan ekonomi ini sulit diputus mengingat ketimpangan pembangunan di dua daerah tersebut.

Menjelang malam di Dermaga Sungai Nyamuk, gemerlap lampu dengan deretan gedung menjulang tinggi di Tawau dapat terlihat jelas. Sebaliknya di Sebatik, lampu-lampu hanya berasal dari rumah penduduk yang berpendar temaram di tepi jalan utama. ”Kalau sampai Tawau, pemandangan rasanya drastis. Dari desa di Sebatik terlihat gedung-gedung megah di Tawau,” kata Kadir, salah satu ketua lembaga kepemudaan di Sebatik.

Pemadaman listrik bergilir juga jadi hal biasa bagi warga Sebatik. Bukan hanya itu, air bersih bahkan masih jadi barang langka. Warga biasanya mengandalkan air hujan. Namun, ketika kemarau tiba mau tidak mau mereka membeli air bersih dari Tawau dengan jeriken. ”Kalau tidak beli di Tawau, kami bisa tidak mandi,” ucap Samad (29), warga Desa Aji Kuning.

Jika dibandingkan memang terasa kontras. Di Sebatik hanya ada satu jalan aspal utama sepanjang 95 km yang sebagian besar rusak parah, ada tiga puskesmas, satu pasar swalayan, satu stasiun pompa minyak, dan sebuah dermaga kayu. Sisanya adalah rumah kayu dan kios sederhana yang menjadi etalase pulau di tepi jalan.

Sebaliknya, Tawau memiliki fasilitas layaknya kota besar, seperti rumah sakit, pabrik pengolahan sawit, pengolahan kakao, pusat perbelanjaan, dan jalan-jalan besar yang beraspal mulus.

Sebagai gerbang terdepan negara, Sebatik justru nyaris tak tersentuh program pembangunan dari pemerintah. Akibatnya, rakyat tak hanya menggantungkan urusan perutnya ke Tawau, tetapi juga hampir semua aspek kebutuhan dasar seperti air bersih dan kesehatan.

”Kalau ada yang sakit parah di Sebatik, dokter puskesmas biasanya merujuk pasien untuk dirawat di Tawau daripada ke Nunukan karena waktu tempuh lebih cepat dan fasilitas lebih bagus,” kata Kepala Seksi Sosial Ekonomi Kecamatan Sebatik Awaluddin.

Selama ini Sebatik hanya menjadi obyek kunjungan pejabat pusat yang mengucap janji-janji manis belaka tanpa realisasi. ”Tidak usah dihitung. Sudah berpuluh-puluh pejabat, mulai dari gubernur, menteri, hingga wakil presiden sudah berkunjung ke sini. Tapi nyatanya tetap tidak ada pengaruh,” kata Hendra (42), warga Desa Sungai Nyamuk.

Nuansa Malaysia

Karena begitu tergantungnya dengan Tawau, nuansa Malaysia pun terasa sekali di Sebatik. Mata uang ringgit dan aksen Melayu kental masih banyak dijumpai, terutama di desa-desa yang langsung berbatasan dengan Malaysia.

Di Desa Aji Kuning, misalnya, sebotol air mineral dijual 1 ringgit atau setara Rp 2.850. ”Di sini bisa beli pakai rupiah atau ringgit, tapi kami lebih senang kalau pembeli punya ringgit,” ucap Rika (20), anak dari pemilik salah satu kios.

Haji Herman (49), salah satu tokoh masyarakat Sebatik, mengungkapkan, masyarakat Sebatik menjual hasil bumi ke Tawau karena pasar yang lebih menjanjikan. Untuk kelapa sawit, misalnya, pabrik pengolahan di Tawau menawarkan harga sekitar 600 RM atau Rp 1,7 juta per ton tandan buah segar (TBS), sedangkan pabrik di Semanggaris, Nunukan, hanya berani membeli Rp 1 juta per ton TBS.

Belum lagi ongkos angkut untuk menjual barang ke Nunukan atau Tarakan yang cukup besar. Ongkos angkut ini juga menjadi persoalan utama untuk bahan kebutuhan pokok Indonesia yang masuk ke Sebatik sehingga harga jualnya lebih tinggi dibanding produk dari Malaysia.

Herman menambahkan, yang dibutuhkan masyarakat Sebatik adalah kemudahan akses, termasuk infrastruktur dan pasar. Jika Sebatik dibangun dengan berbagai fasilitas, kemudian memiliki pabrik pengolahan sawit dan kakao sendiri, warga Sebatik pun bakal berpikir dua kali untuk pergi ke Tawau.

Bupati Nunukan Basri mengatakan, pemkab setempat sedang mendorong Sebatik menjadi daerah otonomi baru yang terpisah dari Nunukan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di pulau tersebut. Saat ini, Basri sudah menandatangani rancangan peraturan daerah pembentukan tiga kecamatan baru di Sebatik agar dapat segera disahkan menjadi peraturan daerah.

Asisten Deputi Potensi Kawasan Perbatasan Laut Badan Nasional Pengelola Perbatasan Sunarto mengatakan, hasil bumi yang dikirim warga Sebatik ke Malaysia terhitung ekspor yang tidak tercatat sebagai devisa. Hal ini tentunya merugikan perekonomian nasional.

Apalagi, hasil bumi dari Sebatik ini berpotensi diklaim Malaysia sebagai produk ekspor mereka. ”Seperti ikan dan kakao dari Indonesia yang kemudian mereka ekspor kembali ke negara lain,” kata Sunarto.

Selain diarahkan menjadi daerah otonomi sendiri, Sunarto mengungkapkan, diperlukan aturan setingkat keputusan presiden untuk mengembangkan Sebatik secara lintas sektoral dengan berorientasi wilayah. ”Jika sudah berkembang, tenaga kerja kita yang ada di Tawau diharapkan mau kembali ke Indonesia,” ucap Sunarto.

Meskipun banyak rencana disusun untuk Sebatik, warga sudah jenuh berharap kepada pemerintah karena tidak kunjung ada perubahan. Yang jelas, mereka kini semakin terbiasa menggantungkan hidup dari Malaysia dan kian apatis terhadap persoalan negeri ini. ”Mungkin kami lebih baik jadi warga negara Malaysia,” kata salah seorang warga mengakhiri perbincangan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com