Ketika tenggat tinggal lima tahun lagi, pencapaian kita dalam Sasaran Pembangunan Milenium (MDGs) di sana-sini masih terseok. Padahal, isu MDGs—khususnya penghapusan kemiskinan, kesehatan ibu dan anak, pemberantasan penyakit menular—adalah termasuk kebutuhan dasar, yang semestinya sudah bukan persoalan utama kita. Jumlah orang miskin yang disebut masih sekitar 33 juta untuk tingkat pendapatan 1 dollar AS per hari, juga jumlah penganggur yang sekitar 10 juta orang (tergantung bagaimana cara mendefinisikan pengangguran), tak pelak masih merupakan fakta keras yang menohok klaim keberhasilan di bidang pembangunan ekonomi dan upaya perbaikan kesejahteraan rakyat pada umumnya.
Di bidang ini pula masih tersisa pertanyaan sekitar masih belum bangkitnya sektor riil kita, masih belum bangkitnya aktivitas manufakturing berbasis inovasi teknologi. Padahal, sudah lama kita merindukan munculnya merek dagang nasional, seperti untuk sepeda motor yang dalam jumlah jutaan terus membanjiri jalanan kita setiap tahunnya.
Dalam suasana perekonomian nasional yang masih belum kunjung bisa menancapkan akar di negeri sendiri inilah ancaman dari luar masih terus hadir, bahkan beberapa dengan potensi menakutkan. (Itulah alasan kutipan dikutipnya frase dari The Economist pada awal tulisan ini.)
Perang kurs, krisis di kawasan euro, dan sisa-sisa krisis 2008-2009, adalah sejumlah tantangan yang masih harus kita waspadai di tahun depan. Bahkan ada satu hal lagi yang membutuhkan perhatian besar, yakni potensi krisis pangan. Dipicu perubahan iklim, stok pangan dunia memang jadi goyah, dan kini banyak negara yang surplus pun tampak hati-hati untuk melepas surplus yang ada. Akibatnya, pangan diperkirakan akan semakin langka, dan kalaupun ada yang bisa dibeli, harganya pasti mahal.
Harapan Penghiburan
Dalam payung kemuraman politik dan ekonomi, serta penegakan hukum di atas, sekiranya ada yang bisa menghibur mestinya—antara lain—berita tentang prestasi olahraga, atau kehidupan (di perkotaan) yang makin nyaman. Namun, di sini pun, apa yang dicari bak judul lagu—My Elusive Dream, atau "mimpi yang sukar ditangkap".
Betul, ada kemajuan dalam prestasi sepak bola seperti diperlihatkan dalam laga AFF, atau perahu naga di Asian Games. Namun, sejumlah olahraga unggulan yang sebelumnya pernah mencapai puncak justru kini meredup, seperti halnya bulu tangkis. Dalam kaitan ini, tidak sedikit yang mempertanyakan metode atau manajemen pembinaan atlet. Mengapa, misalnya, justru atlet nonpelatnas mampu meraih prestasi lebih baik dibanding atlet pelatnas?
Sementara itu, menyangkut kehidupan warga perkotaan—dalam hal ini DKI Jakarta sebagai contoh—harapan mendapat penghiburan pun tidak kalah sulit dipenuhinya. Sekali lagi, tanpa hujan akibat cuaca ekstrem saja, dengan laju peningkatan kendaraan bermotor (mobil dan motor) yang ada sekarang ini, infrastruktur yang ada sekarang ini sudah kewalahan. Apalagi ditambah dengan banjir yang sangat mudah terjadi, kemacetan yang makin hari makin parah terus dialami oleh warga masyarakat. Waktu tempuh ke satu tujuan dari waktu ke waktu bertambah panjang. Bisa kita bayangkan betapa banyak sumber daya (waktu, biaya bensin, peluang dan kesempatan, serta kedamaian jiwa) yang harus terbuang sia-sia.
Apa solusinya? Itulah yang sama-sama ingin kita lihat di tahun 2011. Semoga yang muncul benar-benar solusi, bukan realitas lebih mengerikan. Penghiburan itu sendiri, sementara ini, mungkin baru akan datang dari karikatur lucu yang gambarnya sebenarnya mengolok-olok diri kita.
Tapi, kita acap dinasihati untuk tidak patah semangat dan berhenti berharap. Pepatah mengatakan, "Post nubila jubila" (setelah awan mendung ada sukacita). Semoga itulah yang akan kita songsong di tahun 2011.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.