Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menanti Penjelasan Presiden

Kompas.com - 02/12/2010, 09:32 WIB

KOMPAS.com — Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai monarki terkait dengan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta membuat berang banyak pihak. Isunya menggelinding ke ranah politis. Bahkan, ada yang berspekulasi ini skenario untuk menggusur Sultan dan menguasai Yogyakarta.

Spekulasi bertambah liar saat menengok dinamika di parlemen. Hanya Fraksi Partai Demokrat yang belum tegas menyatakan sikap soal perdebatan tentang apakah gubernur Yogyakarta ditetapkan atau dipilih. Memang fraksi-fraksi di DPR masih belum memiliki sikap resmi karena draf RUU ini saja belum sampai ke tangan Dewan. Namun, mayoritas anggota fraksi di DPR menolak perubahan tata cara penetapan Sultan sebagai Gubernur DIY.

Mengatasnamakan Golkar, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Priyo Budi Santoso mendukung keistimewaan Yogyakarta yang ditunjukkan melalui penetapan langsung Sultan sebagai kepala daerah dan kepala pemerintahan. Pemerintah tidak boleh serta-merta memenggal sejarah yang sudah dibangun oleh Proklamator RI, Soekarno, dan Sultan Hamengku Buwono IX. Golkar mengaku masih berkeinginan melanjutkan model kepemimpinan Sultan dan Adipati Paku Alam.

"Selama Sultan HB X dan Paku Alam masih sehat, ditetapkan saja. Itu tidak ada hubungannya dengan sistem kerajaan," tuturnya.

Pendapat serupa juga dilontarkan oleh Wakil Ketua DPR Pramono Anung. Menurutnya, keistimewaan Yogyakarta tidak boleh digugat oleh siapa pun karena secara historis berkaitan erat dengan berdirinya Republik Indonesia. Kesepakatan antara Proklamator RI dan Sultan HB IX merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan.

Setali tiga uang dengan Golkar dan PDI-P, PKS pun mendukung penuh tata cara penetapan langsung Sultan sebagai Gubernur DI Yogyakarta ke depannya. "Kami dari awal pro-penetapan. Itu hak sejarah dari Yogyakarta. Tidak ada diskriminasi," katanya.

Hanya anggota Fraksi Demokrat yang belum jelas sikapnya. Sebagian masih enggan berkomentar, sebagian lagi masih malu-malu untuk mendukung pencabutan tata cara pemilihan gubernur di provinsi yang baru saja mengalami bencana alam ini. Dalam pembahasan tahun lalu, penolakan Demokrat memang membuat pengesahan RUU ini kembali tertunda.

Politikus Demokrat, Taufik Effendi, membantah partainya memaksakan pemilihan langsung gubernur DIY. Mantan Menteri PAN ini mengatakan, RUU masih dalam pembahasan di tingkat eksekutif. Oleh karena itu, semua pihak harus menahan diri untuk berkomentar.

"Demokrat sangat menghargai keistimewaan DIY. Kami mendukung kok, kami menghormati setinggi-tingginya," ujarnya.

Namun, Taufik menegaskan, fraksinya baru akan menyatakan sikap setelah menerima draf RUU dari pemerintah. Sementara itu, Ketua DPR Marzuki Alie menolak berkomentar banyak. Marzuki menyerahkan hasilnya kepada pembahasan yang nanti akan berlangsung di Komisi II. Politikus Demokrat ini juga mendorong penyelesaian dilakukan dengan kepala dingin dan tanpa upaya politisasi yang mengarah kepada perpecahan bangsa.

"Semuanya harus dikembalikan kepada konstitusi, serahkan kepada ahlinya," tegasnya kepada Kompas.com, Rabu (1/12/2010) siang.

SBY vs Sultan?

Wacana politik yang melahirkan aura ketegangan tentu tidak baik bagi situasi di Tanah Air. Anggota Komite I DPD, Paulus Yohanes Sumino, mengatakan, SBY perlu menjelaskan pernyataan tersebut, apakah ini sikap politiknya atau hanya pemikiran kritis saja.

SBY harus bertanggung jawab. Pasalnya, masyarakat sudah keburu marah ketika kepemimpinan Sultan di Yogyakarta disebut sistem monarki yang bertentangan dengan demokrasi.

Selain bergulirnya, rencana referendum, wacana juga berkembang ke arah rivalitas antara SBY dan Sri Sultan, Paulus enggan berandai. Namun, menurutnya, motivasi di balik pernyataan SBY harus ditelusuri.

Pengamat politik dari Lembaga Survei Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, menambahkan, pernyataan SBY tersebut membuat publik secara jelas membaca sentimen politik SBY kepada Sultan. "Jadi, terbaca di publik kan, SBY dan Sultan kurang harmonis," ungkapnya.

Bingung

Selasa (30/11/2010) lalu Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengaku bingung ketika persoalan RUU ini malah melebar ke isu ketegangan politik antara SBY dan Sultan. Padahal, ungkapnya, pemerintah hanya berupaya menentukan dasar hukum bagi tata cara penetapan dan pemilihan Gubernur DI Yogyakarta. Inilah yang masih mengganjal pemerintah untuk membawa draf RUU ini ke DPR.

Gamawan mengatakan pemerintah masih "mengunyah-ngunyah" Pasal 18 Ayat 4 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara demokratis serta Pasal 24 Ayat 5 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan, kepala daerah dan wakilnya dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.

"Sebenarnya masalahnya hanya bagaimana memilih seorang gubernur, apakah dipilih atau tidak. Nah, Presiden memberikan perhatian terhadap rujukannya apa. Rujukannya adalah UUD. Pasal 18 menyebutkan, gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara demokratis menurut UUD. Tapi, tradisi yang berjalan di Yogya kan seolah-olah otomatis (menjadikan Sultan sebagai Gubernur),” ungkapnya.

Menurut mantan Gubernur Sumatera Barat ini, penetapan Sultan Hamengku Buwono IX dan X sejak diangkat hanya berdasarkan perjanjian yang diperpanjang dari satu periode pemerintahan ke periode selanjutnya. Sultan HB X  sendiri diangkat sebagai Gubernur DI Yogyakarta pada era Presiden BJ Habibie dan Megawati Soekarnoputri sesuai dengan mekanisme dan peraturan, yaitu DPRD mengajukan calon lewat fraksi, kemudian menggelar rapat pleno. Keputusannya berupa permohonan kepada presiden untuk mengeluarkan SK pengangkatan gubernur.

SBY harus dengarkan Sultan

Dari Istana Negara tersiar janji bahwa SBY baru akan memberikan penjelasan utuh soal RUU Keistimewaan Yogya pada hari ini, Kamis (2/12/2010). Meski dinilai "nasi sudah menjadi bubur", Burhanuddin menilai SBY harus memberikan penjelasan dengan hati-hati menyusul bergolaknya reaksi di akar rumput.

Oleh karena itu, sebelum menyampaikan penjelasan, SBY harus mengajak Sultan membicarakan polemik RUU ini empat mata, mulai dari satu pasal yang masih belum tuntas, bahkan SBY harus sampai menjelaskan penggunakan istilah "sistem monarki" kepada Sultan.

"Bicarakan satu pasal yang belum tuntas itu. Lalu, kalau sebelum pernyataan SBY mampu bertemu dengan Sultan untuk membicarakan pernyataan SBY mengenai monarki, itu pasti akan menuntaskan segala polemik yang dimulai dari kontroversi selama ini. Ini bisa menolong masyarakat untuk cooling down," katanya.

Menurut Burhanuddin, SBY harus mendengarkan masukan dari Sultan untuk memutuskan satu pasal yang tersisa tersebut karena wacana referendum sudah meledak di seluruh penjuru Yogyakarta sebagai wujud kekesalan terhadap pernyataan SBY. Jika SBY mendengarkan pendapat Sultan dan kemudian mencapai kesepakatan, diharapkan bisa meredakan situasi yang belakangan ini memanas.

"Lebih baik elite yang menyelesaikan empat mata. Saya kira Sultan sebagai sosok yang demokratis akan terbuka bertemu dengan SBY mengenai ini," tambahnya.

Seperti apa penjelasan Presiden? Apakah penjelasan hari ini akan mampu menyiram api yang sudah berkobar? Kita tunggu saja.


(Selesai)
__________________________________________
Sebelumnya: Ketika Demokrasi di Yogya Dipersoalkan..

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Status Gunung Ibu di Halmahera Meningkat, Warga di 3 Desa Dievakuasi

    Status Gunung Ibu di Halmahera Meningkat, Warga di 3 Desa Dievakuasi

    Nasional
    Pakar: Tidak Ada Urgensi Merevisi UU Kementerian Negara

    Pakar: Tidak Ada Urgensi Merevisi UU Kementerian Negara

    Nasional
    Mesin Pesawat yang Ditumpanginya Sempat Terbakar Saat Baru Terbang, Rohani: Tidak Ada yang Panik

    Mesin Pesawat yang Ditumpanginya Sempat Terbakar Saat Baru Terbang, Rohani: Tidak Ada yang Panik

    Nasional
    Prabowo Berharap Bisa Tinggalkan Warisan Baik Buat Rakyat

    Prabowo Berharap Bisa Tinggalkan Warisan Baik Buat Rakyat

    Nasional
    Bertemu David Hurley, Jokowi Ingin Perkuat Pengajaran Bahasa Indonesia di Australia

    Bertemu David Hurley, Jokowi Ingin Perkuat Pengajaran Bahasa Indonesia di Australia

    Nasional
    Pemerintah Diminta Kejar Target Pembangunan 25 Sabo Dam di Aliran Sungai Gunung Marapi

    Pemerintah Diminta Kejar Target Pembangunan 25 Sabo Dam di Aliran Sungai Gunung Marapi

    Nasional
    Prabowo 'Tak Mau Diganggu' Dicap Kontroversi, Jubir: Publik Paham Komitmen Beliau ke Demokrasi

    Prabowo "Tak Mau Diganggu" Dicap Kontroversi, Jubir: Publik Paham Komitmen Beliau ke Demokrasi

    Nasional
    JPPI: Meletakkan Pendidikan Tinggi sebagai Kebutuhan Tersier Itu Salah Besar

    JPPI: Meletakkan Pendidikan Tinggi sebagai Kebutuhan Tersier Itu Salah Besar

    Nasional
    Casis yang Diserang Begal di Jakbar Masuk Bintara Polri lewat Jalur Khusus

    Casis yang Diserang Begal di Jakbar Masuk Bintara Polri lewat Jalur Khusus

    Nasional
    Polri Buru Dalang 'Illegal Fishing' Penyelundupan Benih Lobster di Bogor

    Polri Buru Dalang "Illegal Fishing" Penyelundupan Benih Lobster di Bogor

    Nasional
    Sajeriah, Jemaah Haji Tunanetra Wujudkan Mimpi ke Tanah Suci Setelah Menanti 14 Tahun

    Sajeriah, Jemaah Haji Tunanetra Wujudkan Mimpi ke Tanah Suci Setelah Menanti 14 Tahun

    Nasional
    BPK Periksa SYL soal Dugaan Auditor Minta Rp 12 M

    BPK Periksa SYL soal Dugaan Auditor Minta Rp 12 M

    Nasional
    UKT Meroket padahal APBN Pendidikan Rp 665 T, Anggota Komisi X DPR: Agak Aneh...

    UKT Meroket padahal APBN Pendidikan Rp 665 T, Anggota Komisi X DPR: Agak Aneh...

    Nasional
    Dewas KPK Akan Bacakan Putusan Sidang Etik Nurul Ghufron Pekan Depan

    Dewas KPK Akan Bacakan Putusan Sidang Etik Nurul Ghufron Pekan Depan

    Nasional
    Revisi UU Kementerian Negara, Pakar: Tidak Salah kalau Menduga Terkait Bagi-bagi Jabatan, jika...

    Revisi UU Kementerian Negara, Pakar: Tidak Salah kalau Menduga Terkait Bagi-bagi Jabatan, jika...

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com