Salah strategi komunikasi karena SBY tidak menyasar langsung pokok persoalan tertundanya pengajuan draf RUU Keistimewaan Yogyakarta, yaitu pasal yang terkait dengan tata cara penetapan Kepala Daerah di DI Yogyakarta.
"SBY malah muter-muter ke arah monarki yang dikontraskan dengan demokrasi. Pokok persoalan di RUU ini kan yang membuat belum disepakati hanya satu pasal, yaitu soal kepala daerah ditetapkan seperti apa. SBY justru malah berkomentar soal monarki yang dianggapnya tidak kompatibel dengan demokrasi," tuturnya.
Burhanuddin menilai SBY membuat blunder dengan melontarkan pernyataan tersebut. Menurutnya, ada dua macam monarki, yaitu monarki konstitusional dan monarki absolut. Sayangnya, lanjut Burhanuddin, SBY hanya menyebutkan monarki yang tidak sejalan dengan demokrasi. Padahal monarki konstitusional adalah monarki yang sejalan dengan demokrasi.
"Ketika SBY hanya menyebut monarki yang tidak kompatibel dengan demokrasi, jelas membuat masyarakat Yogyakarta tersinggung. Karena Keraton Yogyakarta sudah menjadi bagian dari sejarah masyarakat Yogya dan kontribusinya terhadap RI juga tidak kecil. Pernyataan SBY ini menimbulkan kesan ingin melucuti keistimewaan Yogya dan membenturkan keraton dengan demokrasi," ungkapnya kepada Kompas.com, Rabu sore.
Anggota Komite I DPD, Paulus Yohanes Sumino, juga mengatakan, wajar saja jika masyarakat Yogyakarta berang dengan pernyataan SBY tersebut. Dari hasil kunjungan DPD ke Yogyakarta beberapa waktu lalu, Paulus mengatakan, warga Yogyakarta tidak merasa kepemimpinan Sultan selama ini bertentangan dengan demokrasi.
Menurutnya pula, demokrasi berarti kekuasaan ada di tangan rakyat. Selama ini, demokrasi di Yogyakarta ditunjukkan dengan kehendak rakyat yang memberikan kepercayaan langsung kepada Sultan untuk memimpin daerah. Penetapan langsung itu merupakan model demokrasi yang berlaku di Yogyakarta. Maka, Paulus pun turut bertanya mengenai alasan SBY membenturkan sistem tersebut dengan pengertian demokrasi.
"Karena rakyat Yogyakarta kan sudah merasakan sikap Sultan itu tidak monarki, tidak bersikap sebagai seorang raja yang otoriter. Tidak seperti itu. Jadi kalau Sultannya difitnah monarki, rakyat pasti marah," tegasnya kepada Kompas.com, Rabu (1/12/2010).
Selain itu, Burhanuddin ataupun Paulus juga menilai pernyataan SBY dilontarkan dalam momen yang tidak tepat ketika Yogyakarta masih juga belum pulih dari bencana alam akibat meletusnya Gunung Merapi. Maka, lanjut Burhanuddin, lengkaplah kesalahan SBY.
(Bersambung)
_________________________________
Selanjutnya: Menanti Penjelasan Presiden