JAKARTA, KOMPAS.com — Perempuan Adat dari Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika atau ANBTI menuntut adanya pengakuan terhadap agama lokal yang dianut oleh masyarakat adat. Meski sampai saat ini agama lokal tetap ada, selalu ada diskriminasi terhadap penganutnya.
"Salah satunya adalah diskriminasi dalam administrasi kependudukan. Karena tidak menganut salah satu dari enam agama yang diakui secara resmi, banyak masyarakat adat, khususnya perempuan, kesulitan dalam pembuatan KTP," ujar Nia Sjarifudin, perwakilan dari ANBTI, saat konferensi pers di kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Rabu (21/4/2010).
Menurutnya, kesulitan dalam pembuatan KTP ini akan berdampak pada status anak yang dilahirkan oleh perempuan. Kondisi ini nantinya akan menghilangkan hak waris anak itu. "Secara umum, masyarakat adat dengan semangat Hari Kartini, kita harus bisa meraih kemerdekaan beragama, khususnya bagi penganut agama lokal," tambahnya.
Tuntutan dari ANBTI antara lain, pertama, menghargai dan melindungi hak konstitusi masyarakat adat. Kedua, mengakui agama lokal setara dengan enam agama resmi. Ketiga, melindungi hak masyarakat adat untuk menganut dan menjalankan ritual agamanya. Keempat, mengakui kepemimpinan perempuan adat. Kelima, meningkatkan layanan kesehatan dan pendidikan bagi perempuan adat. Keenam, menghapus diskriminasi terhadap perempuan adat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.