Mendekati Wair Terang, sinyal HP muncul. Heri cepat menghubungi stafnya di Waiara. Minta segera meluncur ke Wair Terang dengan dua mobil. Perasaan kami lega. Keputusan Heri Ajo yang memahami dengan baik lintasan Waiara-Tanjung Bunga itu tepat, mengingat setelah Pulau Babi akan sulit mencari daratan terdekat jika terjadi apa-apa dengan mesin yang satunya lagi.
Mesin kapal mati hari itu menciptakan ketegangan lain di Tanjung Bunga. Gervasius Seda dan kawan-kawannya gundah. Demi menjemput kami yang diperkirakan tiba sekitar pukul 08.00 Wita, keponakan Frans Seda itu lebih dulu meluncur ke Larantuka, Jumat (28/10/2005) malam dan pagi-pagi menuju Tanjung Bunga. Namun, mereka menanti kapal yang tak pernah datang.
Menunggu sambil menahan lapar dan dahaga lebih dari 13 jam! Menanti dalam ketidakpastian di pantai yang sepi, tanpa telepon, tanpa handy talkie (HT). Sempat tebersit niat menghubungi tim SAR di Larantuka bahwa kapal yang ditumpangi Frans Seda mungkin mengalami kecelakaan. Untung niat itu tidak terlaksana karena sekitar pukul 13.00 mereka mengetahui duduk perkaranya.
Kapal tiba dengan selamat di Wair Terang. Heri Ajo dan Niko Nara melompat lebih dulu dari kapal. Dan, Om Niko langsung pasang pundak. Dibantu Philip Gobang dan Heri, Frans Seda yang kala itu mengenakan celana jins biru dan baju kaus duduk manis di pundak Om Niko saat meninggalkan kapal. Tiba di darat, orang tua itu berkelakar, "Heri, jangan lupa kasih naik gajinya." Heri Ajo tersenyum. Om Niko Nara adalah salah seorang karyawan Sao Wisata yang setia. Meski terlambat dan agak melelahkan, ziarah ke Lamanabi tetap terlaksana hari itu.
Demikian sekelumit kenangan dengan Frans Seda, salah seorang putra terbaik bangsa Indonesia yang meninggal dunia di Jakarta tanggal 31 Desember 2009. Frans Seda meninggal dunia dalam usia 83 tahun.
Tokoh ini dikenal berpendirian teguh, pekerja keras, berani, jujur, dan lembut hatinya. Beliau sangat serius saat berdiskusi atau memberikan pandangan-pandangannya. Namun dia pun bisa jenaka. Frans Seda suka bercerita dan cerdas dalam memberikan motivasi. Ingatannya sangat kuat. Setiap kali bertemu, beliau tak lupa menyapa atau berdiskusi dalam bahasa daerah. "Kau tidak usah malu pakai bahasa ibumu," katanya suatu ketika.
Ulat bulu
Sisi lain Frans Seda adalah kecintaannya terhadap makanan tradisional dari kampung halaman. Beliau suka makan are gau (ketupat), are mera (nasi dari beras merah), ulat bulu atau ulat bambu, horo ipu dan mbarase (sambal dengan bahan utama ikan kecil yang mudah diperoleh di perairan Paga-Maulo'o)
"Ulat bulu itu makanan kesukaan saya sejak kecil. Rasanya enak sekali, Jakob," kata Frans Seda saat makan siang di Waiara bersama sobatnya, Jakob Oetama, 27 Oktober 2005.
"Apa sih khasiatnya Pak Frans?" tanya Wakil Pemimpin Umum Kompas St Sularto saat itu. "Oh, khasiatnya luar biasa. Itu makanan bergizi tinggi. Makanya saya sehat dan kuat sampai sekarang," kata Frans Seda.
Rasanya tidak berlebihan bila tokoh tiga zaman seperti dilukiskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu dikaruniai umur panjang. Dia ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan RI serta mengisi kemerdekaan bangsa bineka ini dengan sepenuh hati. Frans Seda, seorang nasionalis sejati hingga akhir hayatnya. Selamat jalan, Om Frans. Beristirahatlah dalam damai.*
Dion DB Putra, wartawan harian Pos Kupang
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.