Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pimpinan Parlemen Diminta Kembalikan "Crown"

Kompas.com - 29/12/2009, 19:46 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Para pimpinan lembaga perwakilan rakyat, baik MPR, DPR, maupun DPD, diserukan untuk mengembalikan Toyota Crown Royal Saloon yang menjadi mobil dinas baru "jatah" para pejabat. Hal itu disampaikan Gabungan Organisasi Non Funding atau Ganofo yang terdiri dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat.

Ketua Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang mengatakan, sesungguhnya para pejabat itu bisa menolak apa yang menjadi bagian dari fasilitasnya sebagai pejabat negara. Pengadaan mobil mewah untuk para pejabat dinilai tak tepat di tengah situasi masyarakat yang tengah kesulitan secara ekonomi.

"Para pimpinan MPR, DPR, dan DPD sebagai pimpinan lembaga perwakilan rakyat harus memberi contoh. Kembalikan saja itu ke negara. Kalau mau, mereka bisa menolaknya dan bisa menjadi preseden, contoh yang baik. Sekecil apa pun, kalau dikembalikan, akan memberikan kontribusi bagi APBN," kata Sebastian, Selasa (29/12/2009), saat menyampaikan paparan refleksi akhir tahun di Jakarta.

Direktur Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti sepakat terhadap imbauan tersebut. Penolakan para pimpinan parlemen akan menjadi bukti komitmen mereka terhadap rakyat. "Rakyatnya masih banyak yang susah. Bermewah-mewahan hanya memperbesar gap antara penguasa atau wakil rakyat dan rakyatnya. Bawa saja ke Setneg (Sekretariat Negara), kembalikan, pajang di sana," ujarnya.

Selain itu, ia meminta KPK melakukan penyelidikan atas pengadaan sejumlah fasilitas pejabat negara yang memakan anggaran cukup besar. Harga sebuah Toyota Crown Royal Saloon ini diperkirakan mencapai Rp 1,3 miliar atau jauh di atas mobil dinas sebelumnya, Toyota Camry, yang berada di kisaran Rp 600 juta.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Indonesia Bugdet Centre Arif Nur Alam mengungkapkan, anggaran pengadaan mobil bagi para pejabat negara ini dialokasikan dalam APBN-P 2010 yang digodok oleh DPR periode sebelumnya, 2004-2009. Oleh karena itu, alasan dari pimpinan parlemen, yang menyatakan tak bisa menolak karena alasan sudah dianggarkan, tak bisa dibenarkan sepenuhnya.

"Seharusnya, pimpinan dewan masa sekarang bisa menolak karena sebenarnya mereka tidak ikut terlibat dalam penganggaran. Dalam alokasi anggaran itu bisa saja kalau mau dibatalkan. Jadi, alasan karena terlanjur dianggarkan tidak tepat," ujar Arif.

Ke depan, ia berharap ada audit dan pelaporan yang jelas terhadap keberadaan aset fasilitas pejabat negara. Selama ini, menurutnya, tidak ada keterbukaan soal nasib fasilitas yang diberikan kepada pejabat sebelumnya. Seharusnya, pada akhir masa jabatan, para pejabat negara tidak hanya diminta mempertanggungjawabkan kualitas kinerja, tetapi juga fasilitas-fasilitas yang sudah didapatkannya.

"Sebab, sering juga fasilitas negara ujung-ujungnya menjadi milik pribadi, dibeli dengan harga rendah. Seharusnya ada mekanisme yang jelas, seperti dilelang. Ini juga mengakibatkan, mindset menjadi pejabat publik itu karena alasan materi, bukan pengabdian," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

Nasional
Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Nasional
Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Nasional
SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

Nasional
DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

Nasional
Lima Direktorat di Kementan Patungan Rp 1 Miliar Bayari Umrah SYL

Lima Direktorat di Kementan Patungan Rp 1 Miliar Bayari Umrah SYL

Nasional
DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik, Diprediksi Terus Bertambah Jelang Pilkada

DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik, Diprediksi Terus Bertambah Jelang Pilkada

Nasional
KPK Bakal Usut Dugaan Oknum BPK Minta Rp 12 Miliar Terkait 'Food Estate' Ke Kementan

KPK Bakal Usut Dugaan Oknum BPK Minta Rp 12 Miliar Terkait "Food Estate" Ke Kementan

Nasional
Pejabat Kementan Tanggung Sewa 'Private Jet' SYL Rp 1 Miliar

Pejabat Kementan Tanggung Sewa "Private Jet" SYL Rp 1 Miliar

Nasional
Pejabat Kementan Tanggung Kebutuhan SYL di Brasil, AS, dan Arab Saudi

Pejabat Kementan Tanggung Kebutuhan SYL di Brasil, AS, dan Arab Saudi

Nasional
Gubernur Maluku Utara Akan Didakwa Terima Suap dan Gratifikasi Rp 106,2 Miliar

Gubernur Maluku Utara Akan Didakwa Terima Suap dan Gratifikasi Rp 106,2 Miliar

Nasional
MK Jadwalkan Putusan 'Dismissal' Sengketa Pileg pada 21-22 Mei 2024

MK Jadwalkan Putusan "Dismissal" Sengketa Pileg pada 21-22 Mei 2024

Nasional
Mahfud Ungkap Jumlah Kementerian Sudah Diminta Dipangkas Sejak 2019

Mahfud Ungkap Jumlah Kementerian Sudah Diminta Dipangkas Sejak 2019

Nasional
Tanggapi Ide Tambah Kementerian, Mahfud: Kolusinya Meluas, Rusak Negara

Tanggapi Ide Tambah Kementerian, Mahfud: Kolusinya Meluas, Rusak Negara

Nasional
[POPULER NASIONAL] Perbandingan Jumlah Kementerian Masa Megawati sampai Jokowi | Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah

[POPULER NASIONAL] Perbandingan Jumlah Kementerian Masa Megawati sampai Jokowi | Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com