Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Buku-buku Ini Dilarang!

Kompas.com - 26/12/2009, 08:03 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Setelah berbulan-bulan membahas, Kejaksaan Agung akhirnya resmi melarang lima buku.

Lima buku itu adalah Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto (ditulis John Roosa, diterbitkan Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra), Suara Gereja bagi Umat Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri (ditulis Socratez Sofyan Yoman, diterbitkan Reza Enterprise), Lekra Tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 (ditulis Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, diterbitkan Merakesumba Lukamu Sakitku), Enam Jalan Menuju Tuhan (ditulis Darmawan, diterbitkan Hikayat Dunia), dan Mengungkap Misteri Keragaman Agama (ditulis Syahruddin Ahmad, diterbitkan Yayasan Kajian Alquran Siranindi).

Pelarangan buku itu termasuk dalam kinerja Bidang Intelijen Kejaksaan Agung selama tahun 2009. Jaksa Agung Muda Pembinaan Iskamto—yang sebelumnya menjabat Jaksa Agung Muda Intelijen—memaparkan hal itu dalam jumpa pers di Sasana Pradana Kejaksaan Agung, Rabu lalu. Jaksa Agung Hendarman Supandji hadir dalam jumpa pers itu.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Didiek Darmanto yang dihubungi pada Kamis (24/12/2009) menjelaskan, larangan terbit terhadap lima judul buku tersebut ditujukan kepada penerbit. Penerbit tidak boleh lagi menerbitkan dan mengedarkan buku-buku itu. ”Kalau yang sudah beredar, kami minta kepada penerbit agar ditarik,” katanya.

Menurut Didiek, buku-buku tersebut dilarang karena melanggar ketertiban umum. Substansi buku dinilai tidak sesuai dengan aturan. Namun, ketertiban umum yang mana yang dilanggar buku-buku itu, Didiek tidak menjelaskan.

Bukankah masyarakat berhak memperoleh informasi yang luas dan bebas? ”Bebas, tetapi tidak sebebas-bebasnya. Bebas, tetapi terkendali. Ada aturan menjaga ketertiban,” katanya.

Buku-buku itu sudah diteliti dalam tim penyeleksian (clearing house) Kejaksaan Agung sejak Mei 2009. Hal itu disebutkan pada rapat kerja Jaksa Agung dengan Komisi III DPR pada 11 Mei 2009.

Pelarangan itu menimbulkan pertanyaan, bahkan kritik. Di antaranya dari Ketua Forum Rektor Indonesia Edy Suandi Hamid. Dia berpendapat, model pelarangan buku semacam itu mestinya dihindari. Informasi bagi publik mestinya dibuka seluas-luasnya.

Edy, yang juga Rektor Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, menambahkan, pelarangan justru bisa berdampak kontraproduktif, apalagi bila berkaitan dengan sejarah masa lalu. Masyarakat, yang saat ini sudah mengerti haknya dalam memperoleh informasi, bisa mencurigai bahwa ada fakta sejarah yang sengaja disembunyikan.

Rhoma Dwi Aria Yuliantri, yang bukunya dilarang, berpendapat, sejarah adalah multitafsir, tidak tunggal. Terhadap alternatif kebenaran lain, masyarakat harus toleran.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Nasional
Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

Nasional
Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Nasional
Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Nasional
Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Sinyal Kepemimpinan Lemah

Usul Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Sinyal Kepemimpinan Lemah

Nasional
Dubes Palestina Sindir Joe Biden yang Bersimpati Dekat Pemilu

Dubes Palestina Sindir Joe Biden yang Bersimpati Dekat Pemilu

Nasional
Di Hadapan Relawan, Ganjar: Politik Itu Ada Moral, Fatsun dan Etika

Di Hadapan Relawan, Ganjar: Politik Itu Ada Moral, Fatsun dan Etika

Nasional
Ide Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Tak Sejalan dengan Pemerintahan Efisien

Ide Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Tak Sejalan dengan Pemerintahan Efisien

Nasional
Chappy Hakim: Kita Belum Punya Konsep Besar Sistem Pertahanan Indonesia, Gimana Bicara Pengembangan Drone?

Chappy Hakim: Kita Belum Punya Konsep Besar Sistem Pertahanan Indonesia, Gimana Bicara Pengembangan Drone?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com