JAKARTA, KOMPAS.com — Tim Independent Monitoring Organization (IMO) yang terdiri dari 5 organisasi independen yang peduli soal pemilu dan korupsi meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyidiki adanya indikasi dugaan korupsi pengadaan teknologi informasi (TI) pemilu legislatif di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Hari ini kami informasikan yang lebih detail soal indikasi adanya korupsi dan pemborosan dalam pengadaan fasilitas IT," kata Koordinator Defisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ibrahim Fahmi Badoh saat Jumpa Pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (12/5). IMO terdiri dari Indonesia Budget Center (IBC), Indonesia Parliamentary Center (IPC), Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Seknas Fitra, Initiative Institute, dan ICW.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa IMO telah menemukan adanya indikasi pengadaan peralatan TI oleh KPU dengan melihat anggaran dan belanja peralatan TI. Dari pagu biaya secara keseluruhan sebesar Rp 69,98 miliar, ternyata terdapat selisih terhadap harga pasar sebesar Rp 36,5 miliar atau sekitar 63 persennya. Khusus untuk pengadaan fasilitas Intelligent Character Recognition (ICR), koalisi IMO menyimpulkan terdapat potensi pemborosan sebesar Rp 8,88 miliar atau mencakup 38 persen dari total yang dipatok sebesar Rp 23,18 miliar.
Direktur IPC Sulastio menambahkan kalau IMO beserta koalisinya juga menyoroti pengadaan fasilitas teknologi informasi di KPU. Empat hal yang mereka dapatkan adalah pertama, mereka melihat buruknya proses tersebut, yang mana waktunya sempit sehingga penunjukan langsung rekanan dilakukan secara tergesa-gesa. Kedua, pemilihan teknologi ICR yang secara teknis bermasalah adalah keputusan yang dipaksakan. Hal ini dibuktikan dari pengakuan mantan Ketua Tim Ahli Teknologi Informasi KPU yang kemudian mundur dari jabatannya.
Ketiga, lanjut Sulastio, proses pengadaan ICR melanggar Keppres 80 Tahun 2003 karena melalui mekanisme penunjukan langsung. Dan keempat, pemilihan teknologi ICR tanpa studi kelayakan dinilai mengadung unsur-unsur koruptif di dalamnya.
Menurut peneliti senior IBC Roy Salam, pengadaan peralatan ini diindikasi melanggar Pasal 3 dan 13 Keppres 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yaitu terkait prinsip pengadaan yang efisien, efektif, transparan dan akuntabel, serta ketentuan penerapan Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Aturan kedua yang dilanggar adalah melanggar Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah bagian C-1 poin (a) dan (b) yang menyebutkan bahwa penunjukan langsung dapat dilakukan pada kondisi tertentu atau pengadaan barang/jasa khusus. "Dari segi efisiensi jelas tidak efisien. Dari segi efektif, jelas tidak memberi manfaat besar pada pileg kemarin. KPU hanya mampu menghitung 10 persen surat suara dari target 80 persen," jelas Roy.
Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa perencanaan anggaran yang buruk, perencanaan yang buruk mengakibatkan pemborosan, dan terakhir dengan tidak berfungsinya sistem tabulasi suara pemilu secara elektronik menunjukkan gagalnya proses pra-kualifikasi dan pasca-kualifikasi.
Terkait dengan paparan di atas, IMO beserta koalisinya juga meminta KPK segera meminta Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) untuk segera melakukan audit investigatif atas proyek IT KPU.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.