JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut dugaan kecurangan pemberian kredit Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) ke tiga korporasi terindikasi merugikan negara Rp 3,451 triliun.
Wakil Ketua KPK nurul Ghufron mengatakan, dugaan kerugian negara itu timbul dari pemberian kredit ke tiga korporasi, yakni PT PE Rp 800 miliar, PT RII Rp 1,6 triliun, dan PT SMYL Rp 1,051 triliun.
“Sehingga yang sudah terhitung dalam tiga korporasi sebesar Rp 3,451 triliun,” kata Ghufron dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (19/3/2024).
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengungkapkan, skema kasus ini mirip dengan kasus kredit macet di perusahaan perbankan.
Menurutnya, pada umumnya kemacetan pembayaran itu terjadi karena komite kredit atau lembaga terkait, kurang berhati-hati dalam memberikan kredit terhadap kondisi debitur.
Dalam kasus ini, PT PE misalnya, mendapatkan fasilitas modal kerja ekspor tiga kali.
Pada 2015 itu, PT PE mendapatkan Kredit Modal Kerja Ekspor (KMKE) sebesar 22 juta dollar Amerika Serikat dari LPEI. Pada 2016, LPEI mengucurkan KMKE Rp 400 miliar dan Rp 200 miliar pada 2017.
“Jadi secara keseluruhan fasilitas kredit modal kerja ekspor LPEI yang diberikan kepada PT PE ini 22 juta dollar dan Rp 600 miliar,” tutur Alex.
Tujuan pemberian kredit ini untuk mendukung modal kerja PT PE dalam usaha niaga umum bahan bakar minyak (BBM) dan bahan bakar lain.
Namun, KPK menengarai terdapat penyimpangan dalam pemberian kredit ke PT PE yang dilakukan oleh Komite Pembiayaan.
Struktur dan anggota komite ini meliputi fungsi bisnis yang diwakili Direktur Pelaksana I, Direktur Pelaksana II, Direktur Pelaksana III, dan Senior Executive Vice President I.
Struktur kedua adalah fungsi risiko yang diwakili Direktur Eksekutif Pelaksana IV, Direktur Pelaksana V, Senior Executive Vice President VI, dan Kepala Divisi Kredit Reviewer.
KPK menduga, Komite Pembiayaan mengabaikan security coverage ratio dalam pemberian kredit ke PT PE.
Laporan keuangan PT PE diduga tidak benar atau dimanipulasi. Namun, laporan tersebut menjadi acuan LPEI dalam memberikan kredit ke PT PE.
“Padahal, laporan keuangan PT PE dijadikan rujukan dalam analisis pemberian pembiayaan LPEI ke PT PE,” ujar Alex.
Selain laporan keuangan yang tidak benar, sejumlah aset yang menjadi jaminan PT PE juga diduga tidak memenuhi syarat yang berisiko tidak bisa dilakukan pengikatan ketika perusahaan itu gagal bayar.
Di sisi lain, KPK juga menemukan aset PT PE justru meningkat dua kali lipat seiring kenaikan utang atau kredit perusahaan tersebut.
“Diduga PT PE juga memanipulasi laporan keuangan sehingga meningkatkan nilai valuasi PT PE,” tutur mantan auditor BPKP tersebut.
Adapun LPEI saat ini tengah menjadi sorotan karena dilaporkan Menteri Keuangan Sri Mulyani ke Jaksa Agung S.T. Burhanuddin menyangkut kredit ke enam perusahaan.
Namun, KPK mengaku belum mengetahui apakah perkara yang diusut Kejaksaan Agung menyangkut LPEI itu merupakan perkara yang sama.
Hal ini menjadi penting karena lembaga penegak hukum yang berbeda tidak diperbolehkan menangani perkara yang sama atau duplikasi perkara.
Adapun temuan yang dilaporkan Sri Mulyani ke Jaksa Agung ini adalah hasil pemeriksaan dari Tim Gabungan Terpadu yang terdiri dari Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha (Jamdatun), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan, dan LPEI.
Indikasi kecurangan oleh enam perusahaan itu mencapai Rp 2,5 triliun dengan rincian empat Perusahaan debitur itu yakni PT RII dengan nilai sebesar Rp 1,8 triliun, PT SMS sebesar Rp 216 miliar.
Kemudian, PT SPV sebesar Rp 144 miliar dan PT PRS sebesar Rp 305 miliar. "Jumlah keseluruhannya adalah sebesar Rp 2,505,119 triliun. Teman-teman itu yang tahap pertama. Nanti ada tahap keduanya," ucap Burhanuddin, Senin (18/3/2024).
https://nasional.kompas.com/read/2024/03/20/05451371/kpk-duga-indikasi-kerugian-negara-akibat-pemberian-kredit-lpei-ke-3