JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) baru-baru ini menjatuhkan sanksi etik kepada seluruh komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI lantaran memproses pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) Pemilu 2024.
Putusan DKPP tersebut menimbulkan tanda tanya, adakah peluang Gibran untuk didiskualifikasi sebagai cawapres peserta pemilu?
Tiga kemungkinan
Terkait ini, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menjelaskan bahwa sedikitnya, ada tiga hal yang bisa menyebabkan capres-cawapres peserta pemilu didiskualifikasi.
Pertama, apabila berdasarkan rekomendasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) capres-cawapres terbukti melakukan pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif karena menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelanggara pemilu dan/atau pemilih.
Capres-cawapres yang terbukti melakukan pelanggaran ini bukan hanya didiskualifikasi, tetapi juga terancam hukuman pidana.
Pasal 286 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu berbunyi sebagai berikut:
Kemungkinan kedua, capres-cawapres juga dapat didiskualifikasi jika melakukan pelanggaran administratif pemilu secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 463 UU Pemilu berikut:
Ketiga, capres-cawapres didiskualifikasi apabila terdapat putusan Mahkamah Konstitusi terkait perselisihan hasil pemilu yang mendiskualifikasi peserta pemilu dari kemenangannya atau kepesertaannya di pemilu yang mengakibatkan tidak bisa ikut pilpres putaran kedua.
Oleh karenanya, meski memutuskan KPU RI melanggar etik, DKPP menyatakan bahwa langkah KPU meloloskan Gibran dalam pilpres telah sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai syarat minimal usia calon presiden dan calon wakil presiden.
Atas putusan ini, DKPP seolah hanya menekankan soal pelanggaran etika para komisioner KPU, tanpa menyentuh implementasi Putusan MK. DKPP seakan hendak menyatakan bahwa putusan mereka tidak berkaitan dengan pencalonan Gibran.
Kendati begitu, Titi mengatakan, ini tak mengesampingkan fakta bahwa pencalonan Gibran pada Pilpres 2024 memang bermasalah.
“Putusan DKPP tidak dapat digunakan untuk mendiskualifikasi Gibran, namun pelanggaran etika tersebut akan terus digunakan untuk mendelegitimasi pencalonannya yang memang problematik sejak awal,” kata Titi kepada Kompas.com, Selasa (7/2/2024).
“Putusan DKPP ini menegaskan bahwa ada banyak masalah etika dalam proses pencalonan Gibran,” lanjutnya.
Sebab, UU Pemilu mengatur larangan mundur bagi capres atau cawapres yang sudah ditetapkan sebagai pasangan calon tetap.
“Sebagaimana diatur dalam Pasal 236 ayat (2), Pasal 552, dan Pasal 553 UU 7 Tahun 2017 yang mengatur ketentuan pidana dan denda bagi calon yang mengundurkan diri,” tuturnya.
Kendati demikian, lanjut Titi, putusan DKPP ini dapat digunakan sebagai pertimbangan para pemilih untuk rasional dan kritis.
Pemilih diharapkan menggunakan hak pilih dengan menimbang segala aspek terkait capres-cawapres, sehingga pilihan bisa dijatuhkan secara benar, bijaksana, dan bertanggung jawab.
“Tidak mengabaikan dinamika yang terjadi, jusatru itu jadi referensi dalam menjatuhkan pilihan. Apalagi mengingat pilpres sudah dalam hitungan hari,” tandas pengajar Universitas Indonesia (UI) itu.
Putusan DKPP
Sebelumnya diberitakan, DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari, Senin (5/2/2024).
Hasyim dinilai melanggar kode etik karena memproses pendaftaran Gibran sebagai calon wakil presiden, tanpa mengubah syarat usia minimum capres-cawapres pada Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 sesuai Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Selain itu, DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada 6 Komisioner KPU, yakni August Mellaz, Betty Epsilo Idroos, Mochamad Afifuddin, Yulianto Sudrajat, Parsadaan Harahap, dan Idham Holik.
Dalam pertimbangan putusan yang dibacakan oleh Anggota DKPP I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, KPU seharusnya segera melakukan konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah setelah Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 pada 16 Oktober 2023.
Ini diperlukan agar Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 selaku aturan teknis pilpres bisa segera direvisi akibat dampak putusan MK.
“Para teradu baru mengajukan konsultasi kepada DPR pada 23 Oktober 2023, atau 7 hari setelah putusan MK diucapkan," kata Wiarsa.
https://nasional.kompas.com/read/2024/02/07/13113541/mungkinkah-gibran-didiskualifikasi-karena-dkpp-putuskan-kpu-langgar-etik