Salin Artikel

Wajah Baru UU ITE

Perubahan Kedua terhadap UU ITE 2.0 memberikan wajah dan fitur baru UU ITE yang lebih progresif dan komprehensif dalam mengatur penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik serta pengaturan pidana.

UU ITE 2.0 merevisi 12 pasal lama menjadi 14 pasal dan menambah 5 pasal baru. Pasal-pasal yang direvisi tersebut meliputi:

  1. Pasal 5 mengenai pengecualian keberlakuan ketentuan alat bukti elektronik;
  2. Pasal 13 mengenai bentuk badan hukum penyelenggara sertifikasi elektronik dan pengakuan timbal balik dalam penyelenggaraan sertifikasi elektronik;
  3. Penjelasan Pasal 15 mengenai ruang lingkup kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik dalam bertanggung jawab terhadap beroperasinya Sistem Elektronik yang diselenggarakannya;
  4. Pasal 17 mengenai penggunaan tanda tangan digital dalam transaksi yang berisiko tinggi;
  5. Pasal 27 yang dipecah menjadi Pasal 27 mengenai norma kesusilaan dan perjudian; Pasal 27A mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik; dan Pasal 27B mengenai pemerasan dan pengancaman;
  6. Pasal 28 yang ditambahkan satu ayat, sehingga mengatur berita bohong yang menimbulkan kerugian materil bagi konsumen, penghasutan berdasarkan SARA, dan berita bohong yang menimbulkan kerusuhan;
  7. Pasal 29 mengenai cyberbullying;
  8. Pasal 36 mengenai pemberatan pidana karena timbulnya kerugian materiel;
  9. Pasal 45 dan Pasal 45A mengenai pidana terhadap ketentuan perbuatan dilarang;
  10. Pasal 40 mengenai peran pemerintah dalam pemutuan akses; dan
  11. Pasal 43 mengenai kewenangan penyidik PNS.

Sedangkan pasal-pasal baru yang ditambahkan meliputi:

  1. Pasal 13A mengenai jenis layanan sertifikasi elektronik;
  2. Pasal 16A dan Pasal 16B mengenai kewajiban PSE memberikan pelindungan anak dalam penyelenggaraan transaksi elektronik beserta sanksi administratif terhadap pelanggarannya;
  3. Pasal 18A mengenai penerapan hukum Indonesia dalam perjanjian internasional yang menggunakan klausula baku untuk kondisi tertentu;
  4. Pasal 40A mengenai tanggung jawab pemerintah dalam mendorong terciptanya ekosistem digital yang adil, akuntabel, aman, dan inovatif; dan
  5. Pasal II mengenai pencabutan ketentuan perbuatan yang dilarang yang telah diatur dalam KUHP Baru.

Perubahan kedua UU ITE dilatarbelakangi kebijakan strategis pemerintah dalam menjaga ruang digital Indonesia yang bersih, sehat, beretika, produktif, dan berkeadilan.

Ruang siber bukanlah ruang virtual yang tanpa batas dan tanpa campur tangan negara sebagaimana diungkapkan oleh John Perry Barlow dalam A Declaration of the Independence of Cyberspace.

Dari waktu ke waktu, setiap negara berusaha untuk menciptakan nexus yang dapat digunakan untuk menerapkan hukum negara tersebut. Nexus tersebut dapat berupa kehadiran seseorang atau benda, baik secara fisik maupun virtual di dalam teritori negara tersebut.

Selain itu, perubahan atas undang-undang ini juga dilatarbelakangi upaya untuk menyelesaikan permasalahan ketentuan yang multitafsir dan kontroversial di dalam masyarakat, khususnya terkait ketentuan perbuatan yang dilarang.

Sejak awal diundangkannya Generasi Pertama UU ITE yang lahir pada 2008, permasalahan penerapan ketentuan pidana telah mencuat.

Generasi Kedua UU ITE yang hadir sejak 2016 dinilai belum dapat menyelesaikan permasalahan multitafsir dan kontroversial tersebut.

Dengan lahirnya Generasi Ketiga UU ITE, bugs yang terdapat dalam generasi-generasi sebelumnya dapat dihilangkan.

Sejalan dengan upaya tersebut, UU Perubahan Kedua UU ITE mengharmonisasikan ketentuan-ketentuan pidananya dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional).

Harmonisasi tersebut penting mengingat KUHP Nasional bertujuan untuk rekodifikasi dan konsolidasi hukum pidana nasional.

KUHP Nasional telah mencabut ketentuan pidana tentang kesusilaan (Pasal 27 ayat (1)), penghinaan dan pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat (3)), penyebaran kebencian berdasarkan SARA (Pasal 28 ayat (2)), akses ilegal (Pasal 30), intersepsi ilegal (Pasal 31), pemberatan pidana karena timbulnya kerugian materil (Pasal 36), beserta sanksi pidana pasal-pasal tersebut.

Namun, mengingat KUHP Nasional baru akan berlaku pada 2026, Pemerintah menyesuaikan ketentuan perbuatan yang dilarang dalam UU ITE sedekat mungkin dengan KUHP Nasional.

Artinya, revisi perbuatan yang dilarang dalam UU ITE hanya berlaku sekitar dua tahun. Meskipun demikian, diharapkan revisi interim tersebut dapat mencegah timbulnya permasalahan yang terjadi pada era UU ITE 1.0.

UU Perubahan Kedua UU ITE mengakomodasi ketentuan dalam KUHP Nasional yang dapat melindungi pengguna internet.

UU ITE 2.0 menegaskan bahwa konten yang merupakan karya seni, budaya, dan olahraga atau konten dalam konteks kesehatan atau ilmu pengetahuan tidak dikategorikan sebagai konten yang melanggar kesusilaan.

Selain itu, seseorang yang mendistribusikan konten yang dianggap menghina atau mencemarkan nama baik tidak dipidana dalam hal perbuatannya dilakukan untuk kepentingan umum atau terpaksa membela diri.

Undang-undang ini juga menawarkan fitur-fitur lain dalam melindungi pengguna internet Indonesia. Penyelenggara sertifikasi elektronik yang beroperasi di Indonesia harus berbadan hukum Indonesia dan berdomisili di Indonesia.

Tanda tangan digital adalah salah satu layanan yang dapat diberikan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik. Keharusan tersebut dimaksudkan untuk memastikan bahwa penyelenggara sistem elektronik dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum menurut hukum Indonesia.

Generasi Ketiga UU ITE juga mengatur bahwa hukum Indonesia diterapkan dalam klausul baku yang dibuat antara penyelenggara sistem elektronik dengan masyarakat Indonesia.

Berbagai platform asing yang berusaha di Indonesia dan memberikan layanan bagi pengguna Indonesia menerapkan hukum negaranya dalam mengatur hubungan antara mereka.

Platform asing juga menerapkan mekanisme penyelesaian sengketa yang dapat menimbulkan biaya besar bagi pengguna.

Sebagai contoh, dalam ketentuan layanannya, platform multinasional dapat menerapkan hukum asing, dan dalam hal terdapat sengketa antara platform dan pengguna, sengketa diselesaikan dengan arbitrase di negara asing tersebut dan dengan hukum acara arbitrase negara yang dimaksud.

Dengan adanya ketentuan baru dalam UU ITE, kontrak elektronik internasional yang menggunakan klausula baku yang dibuat oleh Penyelenggara Sistem Elektronik diatur dengan hukum Indonesia dalam tiga kondisi.

Pertama pengguna layanan berasal dari Indonesia dan memberikan persetujuannya dari yurisdiksi Indonesia.

Kedua, tempat pelaksanaan kontrak ada di wilayah Indonesia. Ketiga, penyelenggara sistem elektronik memiliki tempat usaha atau melakukan kegiatan usaha di wilayah Indonesia.

Ketiga kondisi ini dinilai wajar sebagai dasar untuk memberlakukan hukum Indonesia. Pengaturan tersebut menjamin akses terhadap sistem hukum yang efektif dan efisien bagi pengguna dalam memenuhi hak dan kewajiban serta menyelesaikan sengketanya, yaitu hukum Indonesia.

Kesan progresif dari UU ITE Generasi Ketiga ini juga terlihat dari klausul baru mengenai pelindungan bagi anak dalam ruang digital.

Dengan tegas, undang-undang ini mewajibkan penyelenggara sistem elektronik memberikan pelindungan bagi anak yang menggunakan atau mengakses sistem elektronik.

Pelindungan tersebut meliputi pelindungan terhadap hak-hak anak dalam hal anak menggunakan produk dan layanan yang diselenggarakan oleh penyelenggara sistem elektronik.

Oleh karena itu, penyelenggara diwajibkan memiliki tata kelola dan menerapkan teknologi yang sesuai dengan risiko yang mungkin muncul dari penggunaan produk atau layanan tersebut.

Lebih progresif lagi, UU ITE menegaskan bahwa pelindungan hak anak menjadi prioritas bagi para penyelenggara sistem elektronik dibandingkan kepentingan komersial mereka.

Pelanggaran terhadap kewajiban pelindungan anak tersebut dikenai sanksi administratif, mulai dari teguran tertulis, denda administratif, penghentian sementara, dan/atau pemutusan akses.

Lebih jauh lagi, untuk menjaga ruang digital Indonesia, UU ITE memberikan tanggung jawab bagi penyelenggara untuk melakukan moderasi konten secara mandiri. Tanggung jawab ini tampaknya ditujukan utamanya kepada platform user generated content (UGC).

Tangung jawab yang dimaksud tidak berlebihan mengingat platform UGC telah menggunakan kecerdasan artifisial dalam pemrosesan data di platform mereka, seperti untuk menawarkan produk atau menyuguhkan konten yang relevan bagi pengguna.

Kecerdasan artifisial juga dapat digunakan untuk menemukenali karakter konten-konten yang dilarang secara otomatis. Dengan demikian, kemungkinan banyak pengguna dapat mengakses konten yang dilarang dapat diminimalkan.

Pemerintah juga mendapatkan kewenangan baru dalam mengawasi ruang digital Indonesia. Pemerintah berwenang memerintahkan penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan moderasi terhadap konten yang memiliki muatan berbahaya bagi keselamatan nyawa atau kesehatan individu atau masyarakat.

Pemerintah juga berwenang memerintahkan penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan penyesuaian pada sistem elektroniknya. Misalnya, melarang satu fitur diselenggarakan atau dapat diakses di Indonesia.

Pelanggaran terhadap perintah tersebut, dikenai sanksi administratif mulai dari teguran tertulis hingga terberat, yaitu pemutusan akses.

UU ITE 2.0 kemungkinan besar akan menelurkan beberapa peraturan pemerintah. PP 71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik tentang perlu direvisi.

Kemudian, pengaturan pelindungan anak dalam penyelenggaraan sistem elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16A mungkin akan diatur dalam revisi 71/2019 atau dibuat dalam satu peraturan pemerintah tersendiri.

Demikian juga dengan tanggung jawab Pemerintah dalam mendorong terciptanya ekosistem digital yang adil, akuntabel, aman, dan inovatif dalam Pasal 40 A.

Peraturan-peraturan pelaksana yang dimaksud diharapkan dapat membuat undang-undang tersebut lebih aplikatif.

Tiap-tiap pemangku kepentingan tentu mengharapkan UU ITE 2.0 dan peraturan turunannya mengakomodasi dan melindungi kepentingan mereka. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menyeimbangkan berbagai kepentingan yang dimaksud.

Bagaimana UU ITE 2.0 memenuhi berbagai kebutuhan dan menyelesaikan berbagai permasalahan di dalam masyarakat menjadi bagian penting dalam penerimaan undang-undang tersebut secara luas.

Diprediksi tetap akan ada pro dan kontra terhadap ketentuan UU ITE 2.0. Berbagai pihak dapat mengkritik ketentuan pidana dalam undang-undang tersebut.

Para penyelenggara sistem elektronik mungkin keberatan terhadap kewajiban dan tanggung jawab baru yang dibebankan undang-undang kepada mereka. Pemerintah negara asing juga dapat mempertanyakan kebijakan Pemerintah yang tertuang dalam UU ITE.

Penilaian terhadap undang-undang tersebut merupakan hal yang wajar dan patut. Tesis selalu mengundang antithesis dan menghargai lahirnya sintesis sebagai tesis baru.

Pro dan kontra mendorong adanya diskusi dan akan berkembang kebijakan yang lebih progresif dan komprehensif dalam menciptakan ketertiban dan keadilan dalam ruang digital.

https://nasional.kompas.com/read/2024/01/05/06000061/wajah-baru-uu-ite

Terkini Lainnya

Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Nasional
Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Nasional
Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Nasional
Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Nasional
Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Nasional
Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Nasional
Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Fahira Idris Kecam Serangan di Rafah, Sebut Israel dan Sekutu Aib Peradaban Umat Manusia

Fahira Idris Kecam Serangan di Rafah, Sebut Israel dan Sekutu Aib Peradaban Umat Manusia

Nasional
PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

Nasional
Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Nasional
Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Nasional
SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

Nasional
DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

Nasional
Lima Direktorat di Kementan Patungan Rp 1 Miliar Bayari Umrah SYL

Lima Direktorat di Kementan Patungan Rp 1 Miliar Bayari Umrah SYL

Nasional
DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik, Diprediksi Terus Bertambah Jelang Pilkada

DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik, Diprediksi Terus Bertambah Jelang Pilkada

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke