Hal wajar karena ketika impresi pertama mencuat dari Debat Capres, sudah pasti ekspektasi tak mungkin jadi turun. Khalayak menuntut "keseruan" sejenis.
Ada beberapa hal yang bisa kita petik dari apa yang terjadi. Pertama, boleh jadi tema seputar ekonomi dan bisnis, memang bukan tema yang memungkinkan banyak improvisasi dan kelihaian berorasi.
Tema ini adalah bahasan spesifik, dengan sendirinya hanya segmen masyarakat tertentu yang mendalaminya. Masyarakat umum hanya tahu mudah dan murah saja.
Sementara tema debat Cawapres, justru banyak bertanya proses rumit untuk mencapai mudah dan murah tersebut, sehingga apa yang ada dalam mayoritas keinginan masyarakat luas kemudian tidak kongruen dengan bahasan relatif "berat" dalam mencapai hal itu.
Ketika kemudian muncul istilah-istilah teknis ekonomi bisnis dari ketiga narasumber (semacam Carbon Capture & Storage, ICOR, Ratifikasi Perjanjian Perdagangan Bebas, Digitalisasi, Unicorn, Disrupsi dst), yang memang tidak gampang dicari diksi lebih sederhana, otomatis tidak bisa dengan mudah nyetel di benak audiens.
Pun demikian, bukan berarti tidak ada upaya untuk membumi. Semisal Cawapres nomor urut satu di kesempatan pertama sengaja membawa sarung, yang kemudian di-istilahkan slepet sebagai pengganti kata akselerasi untuk perubahan.
Kedua, merujuk teori DeVito (2015), debat semalam lebih kental pelaksanaan pidato demonstratif dan pidato persuasif an sich, sehingga pertukaran ide secara frontal (sebagaimana Debat Capres) relatif tidak terjadi sepanjang acara.
Dinamika dan riak memang ada terkait hal ini, tetapi tensinya relatif masih hangat-hangat kuku.
Kembali ke Devito. Bahwa pola orasi demonstratif itu memaparkan sisi “What, Where, Who, When, Why, hingga terutama How”, sehingga orator menyampaikan cara-cara melakukan sesuatu.
Pada sisi ini, harus diakui bahwa Cawapres nomor urut dua lebih mampu menjelaskan cara-cara dari ide yang disampaikannya.
Hal yang cukup menjadi kejutan karena warganet sebelumnya banyak yang under estimate terhadap sosok satu ini.
Cawapres nomor urut tiga juga mampu menjelaskan sisi How dengan kehandalannya selama ini sebagai Pendekar Hukum, namun ini pun tak bisa lama dalam mengupas tema “berat” ini.
Sementara pola persuasif itu lebih mengedepankan ide dan gagasan pembicara tentang suatu informasi dan mengarahkan atau membujuk hadirin untuk menerima ide tersebut.
Pidato ini relatif pidato yang sulit karena tujuannya untuk menyakinkan orang lain, baik untuk memperkuat atau memperlemah sikap, nilai-nilai, dan keyakinan lawan bicara.
Pidato persuasif juga dilakukan guna memengaruhi aspek-aspek psikologis pada diri seseorang seperti sikap, nilai-nilai, dan kepercayaan.
Ketiga cawapres melakukan hal ini secara paralel, terutama dengan merujuk visi misi yang sudah mereka buat sebelumnya.
Maka itu, karena masing-masing sudah terpaku hal tersebut, wajar kita dengar ungkapan tersering dalam Debat Cawapres Ronde Satu: Itu normatif, Pak/Mas.
Ketiga, pengaturan dari KPU yang lebih ketat dan profesional akan jalannya debat, suka tidak suka membuat keseruan dari Debat Capres tak muncul lagi.
Bukannya kemudian jadi harus dilonggarkan ke depannya, tetapi perbaikan aturan yang gradual ini dengan sendirinya membuat ruang gerak para pemain di “lapangan” tak sebebas sebelumnya.
Hal ini bertambah pelik ketika bahasan debat bukan yang menjadi gacoan masing-masing.
Penulis meyakini dinamika debat akan lebih hidup dan seru manakala tema murni ke depan seputar humaniora, politik, dan hukum murni, yang selain lebih mudah dicerna, juga lebih dikuasai para kandidat. Semoga!
https://nasional.kompas.com/read/2023/12/23/08283961/analisa-public-speaking-debat-perdana-cawapres