Salin Artikel

"Ndasmu Etik, Pak? Kumaha Engke!"

Tak dinyana, capres nomor urut dua Prabowo Subianto akhir pekan kemarin, masih membahas dengan diksi yang menghangat sekarang, “Ndas-mu etik.” Sekalipun diklarifikasi sebagai bahan candaan kegiatan internal Partai Gerindra.

Namun, setidaknya bagi penulis, sesungguhnya menyiratkan ketidaknyamanan Prabowo pada bahasan materi seputar Mahkamah Konstitusi (MK) yang memang menggempurnya saat debat perdana.

Gempuran itu kemudian membuat terbelalak banyak warganet --seperti menjustifikasi rumor selama ini.

Jawaban Prabowo terhadap capres nomor urut satu Anies Baswedan dalam debat atas pertanyaan MKMK adalah, “Mas Anies, Mas Anies, sudahlah... kita telah sama-sama dewasa.”

Puncaknya, kepada capres nomor urut tiga Ganjar Pranowo dengan sadar, Prabowo mengatakan, “Kita tahu siapa yang intervensi MK.” Boom!

Cukup mengagetkan karena pernyataan Prabowo relevan dengan salah satu keputusan Majelis Kehormatan MK, Selasa (7/11/2023) lalu.

Menurut Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie, eks Ketua MK Anwar Usman sengaja diintervensi terkait putusan batas usia minimum calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres).

"Hakim terlapor terbukti dengan sengaja membuka ruang intervensi pihak luar dalam proses pengambilan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, sehingga melanggar Sapta Karsa Hutama, Prinsip Independensi, Penerapan angka 1, 2, dan 3," katanya seperti dilansir Kompas.com.

Siapakah yang mengintervensi tersebut? Sebagaimana (maaf) bunyi kentut, sangat terasa bau pekat aroma busuknya, tapi (sayangnya) tak ada satu pun yang bisa mengisahkan secara riil dan faktual akan bentuk dan rupa dari kentut tersebut.

Bahasan ini telah menjadi rahasia umum. Mayoritas publik telah mengetahui siapa pelaku intervensi, tapi minimnya bukti hitam di atas putih, adanya bukti basah mencolok, maka semua hanya menyimpan nama tersebut dalam hati dan memori terdalamnya.

Karena itulah, bagi penulis, negeri ini adalah negeri yang tidak lagi sungkan dan malu berbuat. Etika dan kepatutan terus ditiadakan dan selalu ditempatkan di bawah hukum positif.

Hukum yang dibuat, diatur, dan disosialisasikan tanpa mengindahkan rasa patut dan pantas tapi jatuhnya bertendensi memenuhi syahwat kekuasaan.

Setelah gaduh berkepanjangan implikasi Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia Capres dan Cawapres, penulis menilai akan ada “moratorium” sikap dan laku dari pemerintah guna menenangkan khalayak masyarakat Indonesia.

Faktanya Presiden Jokowi pada Selasa, 21 November 2023, merilis Peraturan Pemerintah No 53/2023 yang kembali memancing ramai.

Sebab, menteri serta kepala daerah (bupati dan wali kota) tak perlu mundur jika resmi mendaftarkan diri Pilpres 2024.

Di saat bersamaan, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 33/2015 masih mewajibkan mundurnya anggota DPR, DPD, dan DPRD ketika mencalonkan diri dalam Pilkada (pemilihan gubernur/wali kota/bupati).

Bukankah ini terjadi hal aneh, manakala kontestasi demokrasi tertinggi di negeri ini, yakni Pilpres, mereka yang punya kuasa anggaran dan aparat, seraya bisa mengomando timses untuk berlaku TSM (Terstruktur, Sistematis, dan Masif), justru dilindungi aturan agar tak perlu mundur?

Terlebih masa kampanye Pilpres 2024 ini sangat pendek (75 hari), maka bagaimana bisa mereka lebih fokus memprioritaskan kinerja pelayanannya kepada rakyat Indonesia?

Di manakah etika, moral, dan rasa malu ditempatkan manakala aturan tak perlu mundur akan lebih memungkinkan capres dan cawapres dari pejabat negara untuk gunakan fasilitas, akses, dan kuasa milik negara?

Di manakah nilai patut dan pantas dicontohkan ke masyarakat ketika regulasi terus memberi wahana berlaku ada kesempatan dalam kesempitan?

Melanggengkan kekuasaan

Proses elektoral demokrasi di negeri ini hanya terus memproduksi politisi, bukan negarawan. Pilkada dan Pilpres makin menampakkan usaha melanggengkan dan mempertahankan kekuasaan, bukan usaha super maksimal memperjuangkan kepentingan rakyat.

Mengapa 25 tahun reformasi menjadi begini, makin banyak penguasa yang tak malu-malu lagi berlaku?

Hampir tidak ada bedanya negeri ini dengan Filipina dan Thailand, misalnya, yang selalu penuh jargon pembaruan dan bangun ulang negeri tiap kali Pilpres. Namun faktanya mengulang kesalahan orde-orde lalu khususnya dengan mengakali sistem agar selama mungkin berkuasa.

Sahih jadinya premis Guru Besar Kajian Asia dan Direktur Asia Institute, University of Melbourne, Vedi R Hadiz, yang memperoleh simpulan risetnya bahwa proses demokrasi di Asia Tenggara tidak berhasil mengatasi ketidakadilan sosial. Institusi tetap dikuasai pihak terafiliasi Orde Baru seperti di Indonesia.

Akhir kata, di manakah etika penguasa? Sudahkah Ndas (kepala) kalian wahai calon pemimpin dipenuhi lagi rasa etika dan kepantasan? Telahkah rasa malu dan sungkan turut mewarnai kata, sikap, dan karsa-mu?

Penulis jadi teringat salah satu kosakata Bahasa Sunda yang sering disebut Prabowo akhir-akhir ini: Kumaha engke (Bagaimana nanti).

Yang ideal, menurut para sesepuh Sunda adalah sebaliknya: Engke kumaha (Nanti bagaimana).

Apakah Indonesia akan menjadi negara tak malu-malu berlaku ke depannya? Jangan sampai jawabannya kumaha engke!

https://nasional.kompas.com/read/2023/12/20/06081541/ndasmu-etik-pak-kumaha-engke

Terkini Lainnya

KPK: Ada Upaya Perintangan Penyidikan di Kasus TPPU SYL

KPK: Ada Upaya Perintangan Penyidikan di Kasus TPPU SYL

Nasional
Prabowo Koreksi Istilah 'Makan Siang Gratis': Yang Tepat, Makan Bergizi Gratis untuk Anak-anak

Prabowo Koreksi Istilah "Makan Siang Gratis": Yang Tepat, Makan Bergizi Gratis untuk Anak-anak

Nasional
Giliran Cucu SYL Disebut Turut Menikmati Fasilitas dari Kementan

Giliran Cucu SYL Disebut Turut Menikmati Fasilitas dari Kementan

Nasional
Kinerja dan Reputasi Positif, Antam Masuk 20 Top Companies to Watch 2024

Kinerja dan Reputasi Positif, Antam Masuk 20 Top Companies to Watch 2024

Nasional
KPK Sita 1 Mobil Pajero Milik SYL yang Disembunyikan di Lahan Kosong di Makassar

KPK Sita 1 Mobil Pajero Milik SYL yang Disembunyikan di Lahan Kosong di Makassar

Nasional
Tak Setuju Kenaikan UKT, Prabowo: Kalau Bisa Biaya Kuliah Gratis!

Tak Setuju Kenaikan UKT, Prabowo: Kalau Bisa Biaya Kuliah Gratis!

Nasional
Lantik Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama, Menaker Minta Percepat Pelaksanaan Program Kegiatan

Lantik Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama, Menaker Minta Percepat Pelaksanaan Program Kegiatan

Nasional
Akbar Faizal Sebut Jokowi Memberangus Fondasi Demokrasi jika Setujui RUU Penyiaran

Akbar Faizal Sebut Jokowi Memberangus Fondasi Demokrasi jika Setujui RUU Penyiaran

Nasional
Tidak Euforia Berlebihan Setelah Menang Pilpres, Prabowo: Karena yang Paling Berat Jalankan Mandat Rakyat

Tidak Euforia Berlebihan Setelah Menang Pilpres, Prabowo: Karena yang Paling Berat Jalankan Mandat Rakyat

Nasional
Korban Dugaan Asusila Ketua KPU Bakal Minta Perlindungan LPSK

Korban Dugaan Asusila Ketua KPU Bakal Minta Perlindungan LPSK

Nasional
Pemerintah Belum Terima Draf Resmi RUU Penyiaran dari DPR

Pemerintah Belum Terima Draf Resmi RUU Penyiaran dari DPR

Nasional
Akui Cita-citanya adalah Jadi Presiden, Prabowo: Dari Kecil Saya Diajarkan Cinta Tanah Air

Akui Cita-citanya adalah Jadi Presiden, Prabowo: Dari Kecil Saya Diajarkan Cinta Tanah Air

Nasional
Budi Arie: Pemerintah Pastikan RUU Penyiaran Tak Kekang Kebebasan Pers

Budi Arie: Pemerintah Pastikan RUU Penyiaran Tak Kekang Kebebasan Pers

Nasional
Perayaan Trisuci Waisak, Menag Berharap Jadi Momentum Rajut Kerukunan Pasca-Pemilu

Perayaan Trisuci Waisak, Menag Berharap Jadi Momentum Rajut Kerukunan Pasca-Pemilu

Nasional
Vendor Kementan Disuruh Pasang 6 AC di Rumah Pribadi SYL dan Anaknya

Vendor Kementan Disuruh Pasang 6 AC di Rumah Pribadi SYL dan Anaknya

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke