JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengaku kaget dengan langkah DPR yang diam-diam melakukan revisi terhadap Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK).
Padahal, revisi UU MK tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023.
"Kita juga kaget karena itu tidak ada di Prolegnas, tapi setelah kita konsultasikan ya mungkin, ya ada kebutuhan, ya kita layani," kata Mahfud ditemui di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (4/12/2023).
Kendati revisi itu tak masuk prolegnas, Mahfud mengaku bahwa pihaknya terus melayani usulan DPR untuk mengubah UU MK.
Dalam hal ini, Mahfud akan hadir mewakili pemerintah untuk berdiskusi dengan DPR.
Ia mengingatkan agar proses revisi UU MK jangan sampai merugikan berbagai pihak, terlebih revisi itu bakal diketok menjelang Pemilu 2024.
"Tetapi dengan prinsip tidak boleh merugikan apalagi menimbulkan hal-hal atau dugaan yang tadi ditanyakan," imbuh dia.
Di sisi lain, Mahfud berpandangan revisi UU MK sejatinya tidak memiliki urgensi.
Dia menyatakan, jika ada unsur kegentingan, seharusnya jalan yang ditempuh melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
"Kalau Perppu baru ada unsur kegentingan. Dalam hal ikhwal, kegentingannya ini ndak ada. Tetapi ini diusulkan oleh DPR," ungkap calon wakil presiden nomor urut 3 ini.
Diberitakan sebelumnya, dikutip Harian Kompas, revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi berlangsung senyap.
Bukannya digelar di ruang Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, revisi itu dibahas di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta, pada Selasa-Rabu (28-29/11/2023).
Bahkan, pembahasannya ditargetkan tuntas pada masa sidang ini yang akan berakhir pada 5 Desember 2023.
Padahal, revisi undang-undang ini tak pernah masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2023.
Meski Komisi III DPR dan pemerintah sudah sepakat untuk membahas perubahan keempat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada Februari 2023, kabar pembahasan rancangan undang-undang tersebut tak pernah terdengar.
Sekitar sembilan bulan, hampir tidak ada informasi mengenai agenda yang dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang terkait revisi undang-undang tersebut.
Pada Minggu (26/11/2023), Kompas memperoleh informasi tentang adanya rapat lanjutan antara panitia kerja RUU MK dari Komisi III DPR dan pemerintah sehari setelahnya.
Dua anggota Komisi III DPR, yakni Taufik Basari dari Fraksi Partai Nasdem dan Johan Budi SP dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), membenarkan bahwa rapat dimaksud digelar pada Senin (27/11/2023) pukul 10.00.
Dalam pembahasan bersama itu, Panja Komisi III DPR dan pemerintah sepakat untuk mengubah masa jabatan hakim konstitusi dari semula maksimal 15 tahun atau hingga memasuki usia pensiun 70 tahun menjadi 5 tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali masa jabatan.
Artinya, masa jabatan dikembalikan kepada aturan lama saat UU MK pertama kali dibuat tahun 2003.
Persoalan kemudian muncul ketika aturan baru ini hendak diberlakukan untuk hakim yang sedang menjabat.
Pasal 87 huruf a dan b Rancangan UU Perubahan atas UU MK (RUU MK) mengatur, hakim konstitusi yang telah menjabat 5-10 tahun melanjutkan jabatannya sampai dengan 10 tahun jika disetujui lembaga pengusul. Adapun masa jabatan hakim konstitusi yang sudah menjabat lebih dari 10 tahun berakhir mengikuti usia pensiun 70 tahun selama masa jabatannya tidak melebihi 15 tahun.
Ketentuan peralihan ini diduga menyasar pada hakim konstitusi, yaitu Suhartoyo yang diusulkan oleh Mahkamah Agung (MA) serta Saldi Isra dan Enny Nurbaningsih yang diusulkan pemerintah.
Sebab, masa jabatan ketiga hakim konstitusi itu sudah di atas 5 tahun, tetapi belum mencapai 10 tahun. Jika mengacu pada ketentuan peralihan dalam draf RUU MK itu, baik Suhartoyo, Saldi, maupun Enny dapat melanjutkan jabatannya sampai 10 tahun dengan syarat disetujui lembaga pengusul masing-masing.
https://nasional.kompas.com/read/2023/12/04/15034411/mahfud-mengaku-kaget-dpr-diam-diam-revisi-uu-mk-padahal-tak-masuk-prolegnas