JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo mempertanyakan mengapa peristiwa dalam proses kasus hukum kasus korupsi e-KTP yang melibatkan Setya Novanto pada 2017 diungkap kembali ke publik.
Hal ini disampaikan Jokowi menanggapi langkah eks Ketua KPK Agus Rahardjo, yang baru-baru ini mengungkapkan bahwa ia sempat mendapat perintah dari Presiden Jokowi untuk menghentikan kasus Setya Novanto pada 2017.
Presiden pun bertanya mengenai kepentingan yang melatarbelakangi kasus tersebut diramaikan kembali.
"Terus untuk apa (kasus Setya Novanto) diramaikan itu? Kepentingan apa diramaikan itu? Untuk kepentingan apa (diramaikan)?" ujar Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (4/12/2023).
Terkait dengan kebenaran pernyataan Agus itu, Kepala Negara tidak menjawab secara tegas. Ia hanya meminta publik melihat kembali pemberitaan pada November 2017.
Pada saat itu, Jokowi menegaskan bahwa dirinya telah meminta agar Setnov menjalani proses hukum yang berjalan di KPK.
"Ini, yang pertama coba dilihat. Dilihat di berita-berita tahun 2017 di bulan November, saya sampaikan saat itu Pak Novanto, Pak Setya Novanto ikuti proses hukum yang ada, jelas. Berita itu ada semuanya," tegasnya.
Kemudian, Jokowi juga meminta publik untuk melihat bahwa proses hukum terhadap Setnov terus berjalan.
Yang bersangkutan pun, kata Jokowi, mendapat vonis hukuman penjara 15 tahun.
Sebelumnya, Ketua KPK periode 2015-2019 Agus Rahardjo mengaku pernah dipanggil dan diminta Presiden Joko Widodo untuk menghentikan kasus korupsi e-KTP yang menjerat Setnov.
Adapun Setnov saat itu menjabat sebagai Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar, salah satu parpol pendukung Jokowi.
Ia diumumkan menjadi tersangka oleh KPK pada 17 Juli 2017. Sebelum mengungkapkan peristiwa itu, Agus menyampaikan permintaan maaf dan merasa semua hal harus jelas.
“Saya pikir kan baru sekali ini saya mengungkapkannya di media yang kemudian ditonton orang banyak,” kata Agus dalam wawancara dengan Rosi yang tayang di Kompas TV, Kamis (30/11/2023).
“Saya terus terang, waktu kasus e-KTP saya dipanggil sendirian oleh presiden. Presiden pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno (Menteri Sekretaris Negara),” lanjut Agus.
Saat itu, Agus merasa heran karena biasanya presiden memanggil lima pimpinan KPK sekaligus.
Namun, kala itu dipanggil seorang diri. Ia juga diminta masuk ke Istana tidak melalui ruang wartawan melainkan jalur masjid.
Ketika memasuki ruang pertemuan, Agus mendapati Jokowi sudah marah. Ia pun heran dan tidak mengerti maksud Jokowi.
Setelah duduk ia baru memahami bahwa Jokowi meminta kasus yang menjerat Setnov disetop KPK.
“Presiden sudah marah menginginkan, karena baru masuk itu beliau sudah ngomong, ‘hentikan!’,” tutur Agus.
“Kan saya heran, yang dihentikan apanya? Setelah saya duduk ternyata saya baru tahu kalau yang (Jokowi) suruh hentikan itu adalah kasusnya Pak Setnov,” lanjut Agus.
Namun, Agus menolak perintah Jokowi. Sebab, Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) kasus e KTP dengan dengan tersangka Setnov sudah terbit tiga minggu sebelumnya.
Sementara, saat itu dalam aturan hukum di KPK tidak ada mekanisme Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
“Saya bicara apa adanya saja bahwa Sprindik sudah saya keluarkan tiga minggu yang lalu di KPK itu enggak ada SP3, enggak mungkin saya memberhentikan itu,” kata Agus.
Pertemuan itu tidak menghasilkan apa-apa karena Agus menolak perintah sang Presiden.
https://nasional.kompas.com/read/2023/12/04/10524051/jawab-agus-rahardjo-jokowi-untuk-kepentingan-apa-kasus-setya-novanto