Hal itu dia sampaikan melihat sejumlah guru besar dan tokoh bangsa yang kecewa atas isu politik dinasti yang menjangkit keluarga Jokowi pasca-putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan Gibran Rakabuming Raka karpet merah sebagai calon wakil presiden (cawapres).
"Saya mengerti merasa sangat kecewa manuver politik yang memungkinan Gibran menjadi wapres, kecewa dengan ayahnya yang sempat diharapkan sebagai pembaharu," kata dia dalam acara Rosi di Kompas TV, Jumat (17/11/2023).
"Harapan tersebut terlalu berlebih-lebihan, bahwa sekarang perilakunya seperti itu," ucap Vedi.
Menurut dia, harapan besar tak bisa diberikan kepada Jokowi jika melihat realitas ekonomi politik yang ada di Indonesia.
"Yaitu realitas yang tidak memungkinkan seorang dalam beberapa tahun muncul dari politik lokal ke pusat politik nasional tanpa didukung oleh kekuatan-kekuatan dari oligarki itu sendiri," kata dia.
Jokowi sebelum menjadi seorang tokoh nasional, kata Vedi, adalah orang yang tidak memiliki partai politik untuk maju menjadi kontestan pemilu.
Ditambah, Jokowi tak punya sumber dana dan infrastruktur politik untuk memenangkan pemilu, mulai dari kepala daerah hingga sebagai seorang presiden.
Pada akhirnya, kendaraan, modal dan infrastruktur politik itu harus dia pinjam kepada para oligarki yang selanjutnya akan dikembalikan saat Jokowi berkuasa.
"Dan tentunya dia harus kemudian memperhitungkan kepentingan-kepentingan dari semua golongan-golongan itu kan," ucap dia.
"Bensin yang menjalankan ekonomi politik Indonesia adalah korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan. Saya bilang sebetulnya orba enggak pernah seutuhnya hilang, masih ada sisa-sisanya dari dulu," ujar dia.
https://nasional.kompas.com/read/2023/11/18/05283061/manuver-jokowi-harapan-masyarakat-yang-berlebih-dan-sisa-sisa-order-baru