Adapun gugatan Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal capres dan cawapres yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 diajukan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta bernama Almas Tsaqibbirru.
Sementara, gugatan Nomor 112/PUU/XX/2022 terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menjelaskan, putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu dikabulkan MK berdasar kepada putusan Nomor 112/PUU/XX/2022 tentang pengujian yang berkaitan dengan syarat menjadi pimpinan KPK.
Dalam putusan Nomor 112/PUU/XX/2022, MK mengabulkan syarat minimal menjadi pimpinan KPK tetap 50 tahun, tetapi ditambah dengan adanya frasa berpengalaman menjadi pimpinan.
Hal ini menjadi acuan MK untuk mengabulkan syarat minimal usia capres dan cawapres tetap 40 tahun, tetapi memiliki pengalaman menjadi kepala daerah.
Feri mengatakan, perkara yang berkaitan dengan ketentuan atau syarat kebijakannya berada pada pembentuk Undang-undang atau open legal policy. Namun, dalam putusan Nomor 112/PUU/XX/2022, hal ini dikecualikan.
MK beralasan, akan terjadi intolerable in justice atau ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi jika hal tersebut dikembalikan kepada pembentuk Undang-undang.
Terminologi intolerable in justice kerap digunakan untuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
"Jadi, kalau ada Undang-undang yang membuka ruang terjadinya pelanggaran berat, MK tidak ingin menyerahkan kepada pembentuk Undang-Undang, MK akan memutusnya, demi pertimbangan itu," kata Feri.
"Tapi, tidak cocok dengan kasus pemilihan-pemilihan ini, karena apa ketidakadilan yang terjadi? wong pembatasan itu biasa saja di dalam konstitusi," imbuhnya.
Feri lantas menyinggung Pasal 28 C di dalam UUD 1945 yang memuat adanya pembatasan hak selama diatur di dalam Undang-undang.
Atas dasar itu, ia berpandangan bahwa tidak ada hak konstitusional yang dibatasi terkait dua pengujian materi di MK tersebut.
"Karena kan ini dua-duanya diatur Undang-undang, pimpinan KPK diatur Undang-undang, syarat menjadi capres-cawapres juga diatur di Undang-undang. Bagi saya MK tidak matching menjelaskan ini, ini seolah-olah hanya alasan yang dicari-cari untuk membenarkan apa yang ada dan mau diputuskan oleh MK," kata Feri.
Diberitakan, melalui putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, MK membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
Gugatan itu terkait Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sedianya berbunyi, “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”.
Setelah putusan ini, seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lainnya yang dipilih melalui pemilu bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden meski berusia di bawah 40 tahun.
"Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, 'berusia paling rendah 40 tahun' bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah'," ujar hakim Anwar Usman dalam sidang putusan, Senin (16/10/2023).
Dengan demikian, Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu selengkapnya berbunyi, “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
https://nasional.kompas.com/read/2023/10/19/06365201/putusan-mk-soal-batas-usia-capres-dan-cawapres-dianggap-mengacu-ke-syarat