Napoleon merupakan mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Hubinter) Polri yang terjerat kasus suap dan penganiayaan.
Komisioner Kompolnas Poengky Indarti mengatakan, putusan sidang etik terhadap Napoleon sudah dipertimbangkan secara komprehensif.
“Kompolnas melihat bahwa putusan sidang KKEP mempertimbangkan secara komprehensif,” kata Poengky saat dikonfirmasi, Selasa (29/8/2023).
Adapun hasil sidang etik Polri memutuskan bahwa Napoleon mendapatkan sanksi demosi selama tiga tahun empat bulan, bukan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).
Menurut Poengky, dalam proses sidang etik tersebut tidak hanya mempertimbangkan kesalahan yang dilakukan Napoleon.
Akan tetapi sidang etik juga mempertimbangkan jasa-jasa jenderal bintang dua itu selama bertugas di lingkungan Korps Bhayangkara serta sanksi sosial yang diterimanya dari masyarakat.
“Kami juga melihat Institusi Polri yang diwakili Komisi Kode Etik berbesar hati dan bijaksana, tidak hanya mempertimbangkan kesalahan yang bersangkutan, tetapi juga jasa-jasa yang bersangkutan, hukuman yang sudah diterima yang bersangkutan baik hukuman pidana, sanksi sosial dari masyarakat,” ungkapnya.
Menurut Poengky, sanksi hasil sidang etik tersebut sudah diputuskan secara adil.
“Sehingga kami melihat putusan tersebut merupakan win-win solution bagi Napoleon dan Institusi Polri,” imbuhnya.
Sebelumnya, sidang etik Napoleon digelar pada Senin (28/8/2023) di Ruang Sidang Divpropam Polri Gedung TNCC, Mabes Polri, Jakarta.
Dalam sidang etik itu dihadirkan 10 orang saksi. Sebanyak lima saksi hadir langsung, tiga secara virtual, dan dua saksi memberikan keterangan yang dibacakan dalam sidang.
Selain demosi, Napoleon juga mendapat sanksi etika yakni perilaku Napoleon dinyatakan sebagai perbuatan tercela.
Kemudian, Napoleon juga diwajibkan meminta maaf secara lisan di hadapan sidang KKEP serta meminta maaf secara tertulis kepada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan.
Napoleon dinyatakan melanggar Pasal 13 ayat (1) PP Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri Jo Pasal 7 ayat 1 huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c, Pasal 13 ayat (1) huruf e dan Pasal 13 ayat (2) huruf a Perkap Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri.
Kasus Napoleon
Irjen Napoleon Bonaparte adalah polisi yang terjerat kasus hukum karena menerima suap dalam kasus kepengurusan red notice Djoko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra.
Polisi menetapkan Napoleon sebagai tersangka dalam kasus penghapusan red notice Djoko Tjandra.
Polisi juga menduga Irjen Napoleon melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus itu.
Terkait kasus suap tersebut, Irjen Napoleon divonis empat tahun penjara dan denda sebesar Rp 100 juta subsider enam bulan kurungan.
Napoleon dinilai melanggar Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Tak hanya terjerat kasus suap, saat Napoleon mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Bareskrim Polri, ia juga diduga melakukan penganiayaan terhadap rekan satu selnya, yakni Muhammad Kosman alias M Kace.
Dalam perkara itu, Irjen Napoleon Bonaparte selama lima bulan 15 hari penjara. Ia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan penganiayaan terhadap M Kece di Rumah Tahanan (Rutan) Bareskrim Polri pada Agustus 2021.
Atas perbuatan itu, mantan Kadiv Hubinter itu terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 351 Ayat 1 juncto Pasal 55 Ayat 1 KUHP.
https://nasional.kompas.com/read/2023/08/29/18362551/kompolnas-sebut-sidang-etik-irjen-napoleon-pertimbangkan-kesalahan-dan-jasa