Tidak hanya di kalangan elite politik, di kalangan sivitas akademika juga muncul dukungan dan penolakan.
Rektor Universitas Pakuan (Unpak) Bogor Didik Notosudjono mengatakan, kampanye di kampus harus seizin Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Teknologi (Kemendikbud Ristek) dan Lembaga Pelayanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI).
Jika syarat itu dipenuhi peserta pemilu untuk masuk ke kampus, maka tidak jadi masalah.
"Jadi dari Kemendikbudristek oke, LLDIKTI oke, baru kita boleh," katanya ketika ditemui Kompas.com, Jumat (25/8/2023).
Hanya saja, ada kegamangan yang dia lontarkan bahwa kampus malah jadi wadah kompetisi politik jika kampanye masuk ke lembaga pendidikan.
"Untuk sekarang agak riskan sekali ya, karena khawatir jadi wadah kompetisi dari partai-partai pasti kita akan disibukkan nanti," tambahnya.
Selaras dengan Didik, mahasiswa Unpak Lingga (23) menuturkan sebagai pribadi dirinya setuju saja dengan adanya kampanye di dalam kampus.
Menurutnya, mahasiswa jadi bisa bertemu bakal capres secara langsung.
"Wajar aja sih sebenernya masyarakat yang nggak punya akses buat ketemu itu (bakal capres) bisa punya akses," kata Lingga.
Suara dari Usman Rivai (22), mahasiswa Universitas Padjajaran (Unpad) berbeda.
Ia mengatakan tidak setuju atas putusan MK tersebut.
"Selagi masih ada fasilitas di luar yang memang itu bisa digunakan untuk berkampanye selagi masih ada area-area terbuka, memang tidak selayaknya digunakan di institusi pendidikan," kata Usman.
"Kenapa? Karena dari dulu kan netralitas di institusi pendidikan tuh selalu digaungkan ya selalu diperhatikan lah secara bener-bener gitu kan," lanjutnya.
Kemudian, dirinya menambahkan, kampanye dalam kampus bisa menimbulkan bahaya karena perbedaan pandangan politik di antara mahasiswa.
"Lebih ke bahayanya ada perbedaan pandangan politik di dalam kampus atau sekolah, yang harusnya bersatu malah terpecah belah. Kayak kasus 2019 lalu yang cukup kontras pilihan politik yang ada di sekolah," tambahnya.
Senada dengan Usman, Fadhlan Nur (18) mahasiswa dari Institut Pertanian Bogor (IPB) tidak setuju dengan putusan MK karena bisa menciptakan eskalasi massa yang besar di dalam lingkungan kampus yang bisa mengganggu proses perkliahan.
"Hal tersebut menyebabkan menurunnya gaya kualitas pembelajaran dari lingkungan pendidikan itu sendiri," ucapnya.
Putusan MK
MK mengizinkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan selama tidak menggunakan atribut kampanye dan atas undangan pengelola. Hal ini termuat dalam Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Selasa (15/8/2023).
Dalam perkara itu, dua orang pemohon, Handrey Mantiri dan Ong Yenni, menilai ada inkonsistensi aturan terkait aturan itu dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Dalam amar putusannya, MK menyatakan, bagian Penjelasan itu tidak berkekuatan hukum mengikat karena menciptakan ambiguitas.
Jika pengecualian itu diperlukan, maka seharusnya ia tidak diletakkan di bagian penjelasan.
Sebagai gantinya, pengecualian itu dimasukkan ke norma pokok Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu, kecuali frasa "tempat ibadah". "Sehingga Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu selengkapnya berbunyi, '(peserta pemilu dilarang, red.) menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu'," bunyi putusan itu.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai bahwa pengecualian tersebut sudah diatur sejak UU Pemilu terdahulu.
Lantas, mengapa tempat ibadah tetap tidak diberikan pengecualian sebagai tempat kampanye meski atas undangan pengelola dan tanpa atribut kampanye?
"Larangan untuk melakukan kegiatan kampanye pemilu di tempat ibadah menjadi salah satu upaya untuk mengarahkan masyarakat menuju kondisi kehidupan politik yang ideal sesuai dengan nilai ketuhanan berdasarkan Pancasila di tengah kuatnya arus informasi dan perkembangan teknologi secara global," tulis putusan itu.
https://nasional.kompas.com/read/2023/08/25/15275471/pro-kontra-mahasiswa-hingga-rektor-soal-dibolehkannya-kampanye-di-lembaga