Salin Artikel

MPR-DPD Ditantang "Jual" Ide Amendemen UUD 1945 ke Publik

JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ditantang mengampanyekan gagasan amendemen konstitusi, mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi, dan pemilihan presiden tidak langsung jika benar-benar demi kepentingan masyarakat.

"Kalaulah itu memang sangat penting, signifikan bagi masyarakat, maka silakan kampanyekan. Apa saja pasal-pasal yang hendak diubah," kata pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari saat dihubungi pada Jumat (18/8/2023).

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) itu mengatakan, jika masyarakat memang sepakat dengan gagasan itu maka mereka akan memilih partai yang mengusulkn perubahan lebih banyak.

"Tapi kalau masyarakat pemilih tidak setuju dia akan memilih anggota parlemen yang tidak setuju perubahan konstitusi," ucap Feri yang merupakan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO).

Menurut Feri, jika hal itu dilakukan maka legislatif dan pemerintah sudah mewujudkan konsep perubahan konstitusi yang partisipatif menggunakan sarana pemilihan umum (Pemilu).

Terkait teknis, Feri mengatakan, usulan amendemen itu harus diajukan oleh 1/3 anggota MPR supaya bisa diagendakan dalam sidang. Usulan juga disampaikan dalam bentuk tertulis.

Kemudian, kata Feri, sidang buat membahas perubahan konstitusi harus dihadiri 2/3 anggota MPR. Sedangkan keputusan amendemen harus disetujui 50 persen plus 1 anggota MPR.

"1/3 itu 237 orang. 2/3 itu 474 orang anggota. 50 persen + 1 itu minimal 357," ucap Feri.

Sebelumnya diberitakan, Bambang dalam pidato di Sidang Tahunan mengatakan, pada 14 Februari 2024 mendatang bangsa Indonesia akan menunaikan mandat konstitusi untuk mewujudkan demokrasi melalui pemilihan umum, untuk memilih wakil rakyat di DPR/DPD/DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, sekaligus memilih Presiden dan Wakil Presiden.

Sedangkan peristiwa Reformasi 1998 telah melahirkan perubahan undang-undang dasar, yang sekian lama dianggap tabu untuk diubah.

Selain itu, kata Bambang, perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah menata ulang kedudukan, fungsi dan wewenang lembaga-lembaga negara yang sudah ada, dan sekaligus menciptakan lembaga-lembaga negara yang baru. Penataan ulang itu juga terjadi kepada MPR.

"Majelis yang semula merupakan lembaga tertinggi negara, berubah kedudukannya menjadi lembaga tinggi negara. Majelis tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945," kata Bambang.

Pelaksanaan Pemilu setiap 5 tahun sekali merupakan perintah langsung Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945, yang secara tegas mengatur bahwa pemilihan umum dilaksanakan lima tahun sekali.

Akan tetapi, kata Bambang, sebagaimana diketahui, pemilihan umum terkait dengan masa jabatan anggota-anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden.

Masa jabatan seluruh Menteri anggota kabinet, juga akan mengikuti masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang telah ditentukan oleh undang-undang dasar hanya selama 5 tahun.

Bambang mengatakan, yang saat ini menjadi persoalan adalah seandainya menjelang Pemilihan Umum terjadi sesuatu yang di luar dugaan, seperti bencana alam yang dahsyat berskala besar, peperangan, pemberontakan, atau pandemi yang tidak segera dapat diatasi, atau keadaan darurat negara yang menyebabkan pelaksanaan Pemilihan Umum tidak dapat diselenggarakan sebagaimana mestinya, tepat pada waktunya, sesuai perintah konstitusi.

Menurut dia, jika kondisi itu terjadi maka secara hukum tentunya tidak ada Presiden dan/atau Wakil Presiden yang terpilih sebagai produk Pemilu.

"Dalam keadaan demikian, timbul pertanyaan, siapa yang memiliki kewajiban hukum untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya tersebut? Lembaga manakah yang berwenang menunda pelaksanaan pemilihan umum? Bagaimana pengaturan konstitusional-nya jika pemilihan umum tertunda, sedangkan masa jabatan Presiden, Wakil Presiden, anggota-anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta para menteri anggota kabinet telah habis?" papar Bambang.

Menurut Bambang sampai saat ini mereka belum menemukan jalan keluar secara konstitusional jika kondisi seperti itu terjadi.

Bambang menjelaskan, pada masa sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945, MPR masih dapat menetapkan berbagai ketetapan yang bersifat pengaturan, untuk melengkapi kevakuman pengaturan di dalam konstitusi kita.

"Apakah setelah perubahan undang-undang dasar MPR masih memiliki kewenangan untuk melahirkan Ketetapan-Ketetapan yang bersifat pengaturan? Hal ini penting untuk kita pikirkan dan diskusikan bersama, demi menjaga keselamatan dan keutuhan kita sebagai bangsa dan negara," ucap Bambang.

Bambang memaparkan, sesuai amanat ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, sebagai representasi dari prinsip daulat rakyat, maka MPR dapat diatribusikan dengan kewenangan subyektif superlatif dan kewajiban hukum, untuk mengambil keputusan atau penetapan-penetapan yang bersifat pengaturan guna mengatasi dampak dari suatu keadaan kahar fiskal maupun kahar politik yang tidak dapat diantisipasi dan tidak bisa dikendalikan secara wajar.

"Idealnya memang, MPR RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana disampaikan Presiden ke-5 Republik Indonesia, Ibu Megawati Soekarnoputri saat Hari Jadi ke-58 Lemhannas tanggal 23 Mei 2023 yang lalu," ucap Bambang.

Dalam kesempatan yang sama, La Nyalla mengatakan Indonesia sebagai negara kepulauan sudah seharusnya mampu mewujudkan kemerdekaan, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

"Mari kita hentikan kontestasi politik yang semata-mata ingin sukses meraih kekuasaan dengan cara liberal," kata La Nyalla.

Menurut La Nyalla, cara berpolitik yang terjadi saat ini di Indonesia telah menjadikan kehidupan bangsa kehilangan kehormatan, etika, rasa dan jiwa nasionalisme serta patriotisme.

"Pemilihan Presiden secara langsung yang kita adopsi begitu saja, telah terbukti melahirkan politik kosmetik yang mahal dan merusak kohesi bangsa," ujar La Nyalla.

Menurut La Nyalla, dalam proses politik yang liberal, rakyat akan kesulitan mencari pemimpin nasional yang tepat karena popularitas para kandidat bisa dibuat-buat atau fabrikasi.

"Begitu pula dengan elektabilitas yang bisa digiring melalui angka-angka. Lalu disebarluaskan oleh para buzzer di media sosial dengan narasi-narasi saling hujat atau puja-puji buta," ucap La Nyalla.

Menurut La Nyalla, akibat kondisi seperti itu pada akhirnya rakyat pemilih disodori oleh realita politik yang dibentuk sedemikian rupa sesuai keinginan para elite.

La Nyalla mengatakan, Indonesia mempunyai pekerjaan yang lebih besar mendesak ketimbang disibukkan oleh hiruk-pikuk dan biaya mahal demokrasi ala Barat.

"Indonesia harus menyiapkan diri menyongsong Indonesia Emas, dalam menghadapi ledakan demografi penduduk usia produktif," kata La Nyalla.

Dia menyampaikan, Presiden seharusnya mendapat dukungan penuh dari semua elemen bangsa. Sehingga percepatan terwujudnya cita-cita negara ini menjadi tekad bersama, seperti yang pernah kita nyatakan dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa.

https://nasional.kompas.com/read/2023/08/18/11014471/mpr-dpd-ditantang-jual-ide-amendemen-uud-1945-ke-publik

Terkini Lainnya

Jaksa KPK Diminta Hadirkan Auditor BPK yang Diduga Terima Suap Terkait Temuan 'Food Estate'

Jaksa KPK Diminta Hadirkan Auditor BPK yang Diduga Terima Suap Terkait Temuan "Food Estate"

Nasional
Kakorlantas Minta Personel Pengamanan WWF di Bali Jaga Etika

Kakorlantas Minta Personel Pengamanan WWF di Bali Jaga Etika

Nasional
KPU Pastikan Verifikasi Data Dukungan Calon Perseorangan Pilkada 2024

KPU Pastikan Verifikasi Data Dukungan Calon Perseorangan Pilkada 2024

Nasional
554 Kloter Jemaah Haji Reguler Sudah Kantongi Visa, Siap Berangkat Mulai 12 Mei

554 Kloter Jemaah Haji Reguler Sudah Kantongi Visa, Siap Berangkat Mulai 12 Mei

Nasional
Anggap Wajar Prabowo Wacanakan 41 Kementerian, Demokrat: Untuk Respons Tantangan Bangsa

Anggap Wajar Prabowo Wacanakan 41 Kementerian, Demokrat: Untuk Respons Tantangan Bangsa

Nasional
PAN Gelar Rakornas Pilkada Serentak, Prabowo Subianto Bakal Hadir

PAN Gelar Rakornas Pilkada Serentak, Prabowo Subianto Bakal Hadir

Nasional
KPK Ancam Pidanakan Pihak yang Halangi Penyidikan TPPU Gubernur Malut

KPK Ancam Pidanakan Pihak yang Halangi Penyidikan TPPU Gubernur Malut

Nasional
KPK Sita Aset Gubernur Malut Rp 15 Miliar dari Nilai TPPU Rp 100 Miliar Lebih

KPK Sita Aset Gubernur Malut Rp 15 Miliar dari Nilai TPPU Rp 100 Miliar Lebih

Nasional
Mantu Jokowi Akan Maju Pilkada Sumut, PDI-P Singgung Jangan Ada 'Abuse of Power'

Mantu Jokowi Akan Maju Pilkada Sumut, PDI-P Singgung Jangan Ada "Abuse of Power"

Nasional
Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Nasional
Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Nasional
Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Nasional
Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Nasional
Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Nasional
Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke