Salin Artikel

Pancasila, Demokrasi, dan Ujian Kebangsaan

Nilai yang tertuang dalam Pancasila tersebut merupakan warisan terbaik para pendiri bangsa sebagai modal menuju demokrasi yang berkeadaban.

Atas nama demokrasi tidak boleh menjadi jurang pemisah persatuan dan tidak pula dibenarkan untuk merendahkan nilai-nilai kemanusiaan.

Sudah menjadi keharusan bahwa Pemilu berfungsi sebagai perekat perbedaan pilihan politik di tengah masyarakat majemuk.

Karena itu, demokrasi berdasar Pancasila menjadi sistem yang paling tepat untuk menyatukan keanekaragaman tersebut.

Pemilu harus menjadi alat pemersatu, karena tanpa pemilu, sangat mungkin muncul perpecahan, polarisasi yang tajam karena perbedaan ideologi, pandangan politik, kepentingan, dan lainnya.

Dengan pemilu, perbedaan tersebut bisa menyatu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Melihat sepintas penjelasan Abraham Diskin dkk melalui Why Democracies Collapse: The Reasons for Democratic Failure and Success (2005), telah melakukan studi pengujian demokrasi dengan melakukan penyelidikan terhadap 11 variabel yang menyebabkan runtuhnya demokrasi.

Studi tersebut menempatkan sistem kepartaian dan proporsionalitas sistem pemilu, berkorelasi erat dengan runtuhnya demokrasi pada suatu negara.

Di luar itu, ada variabel yang paling penting, yakni ekonomi yang gagal, sejarah tidak menguntungkan, ketidakstabilan pemerintah, dan keterlibatan asing.

Jika keempat variabel negatif ini muncul secara bersamaan, demokrasi hampir pasti akan runtuh. Namun jika hanya satu faktor yang melemahkan, maka sangat tidak mungkin menyebabkan keruntuhannya.

Konteks Indonesia, Pemilu 2024 nantinya sudah dipastikan akan menggunakan sistem proporsional terbuka.

Kepastian ini diperoleh setelah Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur tentang sistem pemilu proporsional terbuka.

Putusan MK harus dihormati, agar variabel lain tidak turut melemahkan daya demokrasi yang sedang berjalan, seperti pandangan Abraham Diskin di atas.

Lantas, bagaimana dengan variabel lainnya? Kegaduhan ternyata masih berlanjut, akibatnya sebagian masyarakat merasa pesimistis pada praktik demokrasi ke depan.

Melihat itu semua, sudah saatnya kita untuk kembali menengok sejauh mana ujian kebangsaan kita.

Memilih jalan demokrasi

Perlu diketahui bahwa keputusan untuk memilih jalan demokrasi merupakah keputusan yang tidak mudah.

Apalagi untuk menumbuhkan rasa kegairahan berdemokrasi di tengah-tengah keragaman dan persoalan yang begitu kompleks.

Belajar pada praktik pemilu lalu, masyarakat dihadapkan pada perpecahan, polarisasi yang tajam, perang opini tidak logis, ujaran kebencian, isu-isu SARA, hoaks membabi buta, dan berujung irasionalitas.

Belum lagi kita tidak cukup mampu menahan gempuran nilai luar yang selaras dengan pengaruh dinamika demokrasi global, seringkali kerangsek, dan merusak tatanan nilai lama yang ada.

Pada akhirnya, terjadilah dekadensi nilai yang berdampak terhadap runtuhnya nilai-nilai kebangsaan.

Tokoh generasi kedua Mazhab Frankfurt, Jurgen Habermas, menjelaskan bahwa demokrasi harus selalu memadukan dua hal penting dalam kehidupanya “the quality of discourse” dan “the quantity of participation”.

Praktik partisipasi yang besar dan luas tanpa kualitas wacana yang kokoh akan menghasilkan demokrasi yang nir-identitas.

Sebaliknya, terlalu kokoh kualitas wacana politik tanpa partisipasi politik warga negara, demokrasi akan digenggam oleh segelintir para ahli.

Pernyataan ini dikuatkan pula oleh dua Profesor Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt melalui How Democracies Die (2018), menjelaskan adanya norma yang menjadi “pagar” dalam praktik demokrasi.

“Pagar” yang dimaksud berupa norma yang tertulis, berbentuk konstitusi, dan norma yang tidak tertulis, berupa kode etik bersama.

Dalam konteks Indonesia, kita tidak perlu jauh mencari di mana “pagar” yang dimaksud, tidak terkecuali itu adalah Pancasila.

Maka, disinilah perlunya memandu langkah-langkah demokrasi untuk setidaknya mampu menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan yang bersumber dari ideologi yang kita miliki, yakni Pancasila.

Menjadi keharusan bahwa pelaksanaan Pemilu bukan ajang untuk meruntuhkan demokrasi yang telah dibangun lama oleh bangsa kita, melainkan menjadi momentum untuk menjadi bangsa yang optimistis dan bangsa pemenang.

Untuk itu dalam ujian kebangsaan ini, kesadaran bersama perlu digugah kembali bahwa eksistensi demokrasi yang kokoh dalam suatu negara bangsa sesungguhnya karena adanya komitmen bersama.

Proses pemanduan ini, terutama dilakukan oleh segenap warga masyarakat melalui kontrol dan masukan kritis dan cerdas dalam rangka 'menyelamatkan' krisis kepercayaan terhadap ideologi Pancasila sebagai roh demokrasi di era saat ini.

Komitmen kebangsaan

Bicara demokrasi yang mengarusutamakan Pancasila tidak boleh hanya terhenti pada gagasan ideologisnya, melainkan bagaimana ideologi itu bekerja.

Bagaimana sila-sila Pancasila diterjemahkan dalam pengambilan kebijakan dalam mengarusutamakan daulat rakyat. Tidak boleh kontestasi Pemilu membawa pada terbelahnya masyarakat dan mundurnya nilai-nilai kemanusiaan.

Oleh karena itu, alangkah baiknya jika kita kembali melakukan permenungan mendalam akan nasib eksistensi bangsa kita ke depan.

Dengan mengetahui perjalanan bangsa ini, sudah sepatutnya jika kita membuka lembar-lembar historisitas yang mampu men-trigger nilai-nilai kebangsaan ini demi menjaga adab demokrasi.

Berkaca pada pengalaman Pemilu sebelumnya setidaknya telah membawa bangsa ini lolos dari cobaan demokrasi. Meski banyak orang sempat memprediksikan chaos, nyatanya dengan mulus telah bisa kita lalui, tentu bukan berarti tanpa cobaan.

Sejak awal harus disadari bahwa setiap kontestasi politik seperti pemilu, niscaya akan penuh dengan berbagai strategi dan intrik politik.

Namun, melihat demokrasi kita yang telah matang dan juga modal sosial kita yang memiliki akar keindonesiaan kuat, kita yakin akan bisa melewati Pemilu dengan damai.

Sampai sini, variabel runtuhnya demokrasi yang diuji oleh Abraham Diskin dkk, setidaknya telah terjawab, bahwa praktik demokrasi yang kita jalankan terbukti kuat.

Untuk itu, tugas kita semua adalah menjaganya. Menjaga kedaulatan negara adalah salah satu bentuk komitmen warga negara yang paling utama untuk menjaga kontinuitas dalam menabur kebaikan dan nilai-nilai keindonesiaan.

Untuk mewujudkan ini, komitmen bersama ini harus dilandaskan pada komitmen kebangsaan dengan praktik konsistensinya tanpa ragu kepada keutuhan dan persatuan bangsa di atas kemanusiaan.

Di sinilah perlunya membangun komitmen untuk ber-Pancasila dengan menggerakkan moral kolektif nasional.

Penyadaran kembali terhadap segala tantangan bangsa dan penegasan kembali Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara.

Menjadi keharusan bahwa Indonesia Emas, tahun 2045, dan tahun-tahun yang akan datang adalah momentum untuk menjadi bangsa yang optimistis dan bangsa pemenang.

Komitmen ini harus tetap menyala di bawah kesadaran bahwa proses menjadi bangsa adalah perjalanan panjang yang tak pernah selesai.

Semoga demokrasi tidak lagi dibahas jauh dengan Pancasila, dalam aturan-aturan yang sempit dan kotor, apalagi dibajak para petualang politik yang tidak bertanggung jawab.

https://nasional.kompas.com/read/2023/08/16/13561741/pancasila-demokrasi-dan-ujian-kebangsaan

Terkini Lainnya

Ahli Pidana: Bansos untuk “Korban” Judi Online Sama Saja Kasih Narkoba Gratis ke Pengguna…

Ahli Pidana: Bansos untuk “Korban” Judi Online Sama Saja Kasih Narkoba Gratis ke Pengguna…

Nasional
KPK Akan Gelar Shalat Idul Adha Berjamaah untuk Tahanan Kasus Korupsi

KPK Akan Gelar Shalat Idul Adha Berjamaah untuk Tahanan Kasus Korupsi

Nasional
Ahli Sebut Judi Online seperti Penyalahgunaan Narkoba, Pelakunya Jadi Korban Perbuatan Sendiri

Ahli Sebut Judi Online seperti Penyalahgunaan Narkoba, Pelakunya Jadi Korban Perbuatan Sendiri

Nasional
PBB Copot Afriansyah Noor dari Posisi Sekjen

PBB Copot Afriansyah Noor dari Posisi Sekjen

Nasional
Anies, JK, hingga Sandiaga Nonton Bareng Film LAFRAN yang Kisahkan Pendiri HMI

Anies, JK, hingga Sandiaga Nonton Bareng Film LAFRAN yang Kisahkan Pendiri HMI

Nasional
Respons KPK Soal Harun Masiku Nyaris Tertangkap pada 2021

Respons KPK Soal Harun Masiku Nyaris Tertangkap pada 2021

Nasional
55.000 Jemaah Haji Indonesia Ikuti Murur di Muzdalifah Usai Wukuf

55.000 Jemaah Haji Indonesia Ikuti Murur di Muzdalifah Usai Wukuf

Nasional
Anggota Komisi I DPR Dukung Kemenkominfo Ancam Blokir X/Twitter karena Izinkan Konten Porno

Anggota Komisi I DPR Dukung Kemenkominfo Ancam Blokir X/Twitter karena Izinkan Konten Porno

Nasional
Sindir Wacana Bansos untuk Penjudi Online, Kriminolog: Sekalian Saja Kasih Koruptor yang Dimiskinkan...

Sindir Wacana Bansos untuk Penjudi Online, Kriminolog: Sekalian Saja Kasih Koruptor yang Dimiskinkan...

Nasional
Pemerintah Semestinya Bikin Orang Lepas dari Judi Online, Bukan Memberikan Bansos

Pemerintah Semestinya Bikin Orang Lepas dari Judi Online, Bukan Memberikan Bansos

Nasional
Soal Duet Anies dan Kaesang, PKS: Status Anak Jokowi Belum Tentu Jadi Nilai Tambah

Soal Duet Anies dan Kaesang, PKS: Status Anak Jokowi Belum Tentu Jadi Nilai Tambah

Nasional
Kepala BNPT Apresiasi Densus 88 yang Proaktif Tangkap Residivis Teroris di Cikampek

Kepala BNPT Apresiasi Densus 88 yang Proaktif Tangkap Residivis Teroris di Cikampek

Nasional
Pertamina Luncurkan 'Gerbang Biru Ciliwung' untuk Kembangkan Ekosistem Sungai

Pertamina Luncurkan "Gerbang Biru Ciliwung" untuk Kembangkan Ekosistem Sungai

Nasional
Kriminolog Nilai Penjudi Online Mesti Dipandang sebagai Pelaku Pidana

Kriminolog Nilai Penjudi Online Mesti Dipandang sebagai Pelaku Pidana

Nasional
Harun Masiku Nyaris Diringkus di 2021, tapi Gagal Akibat KPK Ribut Internal

Harun Masiku Nyaris Diringkus di 2021, tapi Gagal Akibat KPK Ribut Internal

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke