Salin Artikel

Kabasarnas Tersangka, Sistem Pengadaan Digital Dinilai Bukan "Dewa"

JAKARTA, KOMPAS.com - Digitalisasi sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah dinilai bukan satu-satunya strategi yang ampuh buat melakukan upaya pencegahan korupsi.

Sebab, berkaca dari kasus dugaan suap proyek pengadaan yang membelit Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi, ternyata sistem pengadaan secara elektronik yang dibuat pemerintah masih bisa dipermainkan melalui persekongkolan antara pejabat instansi dengan para perusahaan peserta sebelum proses lelang.

Menurut Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto, upaya memperkuat pencegahan korupsi sebaiknya dilakukan melalui pengawasan di kementerian/lembaga sampai pemerintah daerah.

"Pemerintah tidak perlu mendewakan pendekatan digitalisasi karena sistem digital itu dioperasikan manusia," kata Agus saat dihubungi pada Jumat (28/7/2023).

Selain itu, penanaman nilai-nilai antikorupsi juga mesti digencarkan, karena upaya pencegahan tidak akan berjalan jika tak terbentuk sikap menjaga integritas di setiap diri penyelenggara negara atau aparatur sipil negara.

"Kalau manusianya tidak punya integritas maka sistemnya akan disiasati," ucap Agus.

Pernyataan Agus senada dengan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata terkait kasus itu.

KPK membongkar dugaan suap itu melalui operasi tangkap tangan terhadap Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas RI Letkol Adm Afri Budi Cahyanto.

Menurut Alexander, sistem pengadaan pemerintah secara digital guna mencegah rasuah ternyata tetap bisa diakali. Dan hal itu terungkap di dalam kasus yang menjerat Henri.

"Bagaimana bisa padahal sudah menggunakan e-procurement? Dan ternyata memang bisa. Jadi sistem apapun yang dibangun ketika itu dilakukan persekongkolan maka jebol juga," kata Alexander dalam jumpa pers di Gedung Merah Putih KPK pada Rabu (26/7/2023) lalu.

Dalam kasus yang menjerat Henri dan Afri Budi Cahyanto, keduanya diduga mengakali sistem pengadaan barang dan jasa elektronik (e-procurement) dengan modus yang sebenarnya sudah kerap dilakukan.

Modus yang digunakan adalah bersekongkol dengan sejumlah perusahaan buat mengatur proses lelang dengan imbalan jatah komisi atau fee.

Cara itu sebenarnya kerap digunakan di masa lalu dan ternyata juga dipakai buat memanipulasi tender proyek pengadaan pemerintah yang dilakukan secara digital.

"Digitalisasi bukan segalanya. Mereka main di layer bawah (kongkalikong), sebelum masuk sistem. Jadi digitalisasi hanya formalnya saja," kata Yenti saat dihubungi pada Kamis (28/7/2023).

Proses penindakan hukum, seperti operasi tangkap tangan dan penyidikan, buat memberantas korupsi juga dinilai penting karena harus berjalan beriringan dengan pencegahan dalam hal pengadaan barang dan jasa.

Menurut dia, pemerintah sebagai penguasa juga harus memikirkan dampak dari digitalisasi pengadaan serta membuat taktik yang jitu buat mengantisipasi munculnya modus-modus yang bakal terjadi buat mengakali sistem itu.

"Ini menghadapi kejahatan modus jadi harus ditangkal dengan strategi, tidak cukup hanya policy (kebijakan). Ini bicara combating (termasuk pencegahan kejahatan), bukan mau bikin planning (perencanaan) untuk suatu kebaikan tapi untuk perbuatan antisosial," ucap Yenti.

Dalam kasus itu, KPK menetapkan Henri Alfiandi dan Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka. Keduanya diduga menerima suap hingga Rp 88,3 miliar dari sejumlah proyek pengadaan.

KPK juga menetapkan tiga pihak swasta sebagai tersangka. Mereka adalah Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati Mulsunadi Gunawan, Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati Marilya; dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama Roni Aidil.

Suap diberikan sebagai bentuk komisi atau fee karena Henri dan Afri telah mengkondisikan agar perusahaan mereka menjadi pemenang pengadaan sejumlah barang di Basarnas.

https://nasional.kompas.com/read/2023/07/28/10540291/kabasarnas-tersangka-sistem-pengadaan-digital-dinilai-bukan-dewa

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke