Salin Artikel

Menyoal Praktik Skiming Online Para Pekerja Migran Indonesia

Meski bekerja setiap hari banting tulang dan berangkat sebelum subuh dan pulang malam, yang penting pekerjaannya halal.

Itu alasan yang kuat ketika beberapa orang PMI (Pekerja Migran Indonesia) bekerja sebagai Skimming Online di Kamboja meminta tolong kepada saya untuk dipulangkan ke Indonesia agar bisa lepas dari belenggu perusahaan yang mempekerjakan mereka.

Skim online adalah penipuan di dunia maya. Ada berbagai macam modus kejahatan skim online.

Skiming online yang menjerat PMI bukan teknik peretasan dengan memanipulasi aplikasi web sisi klien yang tidak terkontrol. Bukan juga membaca dan merekam data di kartu ATM, baik strip magnetik maupun PIN ATM korban saat kartu ATM dipakai di mesin ATM.

PMI direkrut untuk melakukan kejahatan skim dengan modus Sex Scams atau Love Scams. Pada umumnya mereka menggunakan platform media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter dan sebagainya.

Awalnya dari perkenalan pelaku dan korban di jejaring sosial hingga hubungan asmara dalam waktu singkat.

Berdasarkan hasil analisis PPATK, modus penipuan yang dilakukan para pelaku digolongkan menjadi dua cara.

Pertama, pelaku seolah-olah sedang mengembangkan usahanya sehingga membutuhkan tambahan modal. Pelaku membujuk korban untuk memberikan pinjaman dana untuk modal dan berjanji akan mengembalikan dana tersebut berikut keuntungannya.

Karena bujuk rayu asmara, korban akan terpedaya dan mengirimkan uang ke rekening pelaku atau pihak lain yang ditunjuk pelaku.

Permintaan dana tersebut terus berlangsung berulang sampai korban sadar bahwa dia tertipu. Biasanya, pelaku tidak bisa lagi dihubungi dan tidak ada pengembalian dana/keuntungan sebagaimana dijanjikan.

Kedua, pelaku merayu korban untuk mengirimkan foto bagian-bagian tubuh sensitif korban. Setelah foto didapat, pelaku mengancam korban untuk mengirimkan sejumlah uang.

Apabila korban tidak mengirimkan uang, pelaku mengancam korban akan menyebarkan foto-foto tersebut ke media sosial dan ke keluarganya di Facebook.

Dalam laporan PPATK, pada 2020 - 2021 banyak menemukan modus tindak pidana penipuan melalui media sosial dengan modus Sex Scams atau Love Scams dengan kerugian mencapai miliaran rupiah.

Korban sebagian besar adalah wanita yang berlokasi di luar negeri. Pada umumnya wanita-wanita yang menjadi korban berusia separuh baya dan berstatus lajang.

Kasus ini juga pernah masuk menjadi laporan PMI ke BP2MI (Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia) pada masa pandemi.

Seorang PMI bernama Wati (inisial) bekerja di Taiwan jadi korban sekitar Rp 683 juta oleh praktik skim online tersebut.

Dia tertipu seorang pemuda mengaku seorang anggota TNI. Mereka berkenalan melalui Facebook kemudian berlanjut menjalin hubungan asmara. Pemuda itu berjanji akan menikahi dia.

Dari hubungan asmara itu, pemuda tersebut meminjam uang buat modal usaha properti yang lagi dia rintis.

Wati yang lagi mabuk asmara, langsung percaya saja dan mengirim semua uang tabungan yang dia kumpulkan selama 3 tahun sebanyak Rp 200 juta. Tidak cukup itu saja, Wati diminta meminjam uang majikanya 1 juta NT (setara Rp 483.073.136).

Kejahatan skim ini seperti "jeruk makan jeruk". Pelakunya PMI dan korbannya PMI juga yang berada di negara lain.

PMI pelaku skim online di Kamboja dan Myanmar ini juga tak luput memangsa korban orang Indonesia dan orang-orang negara lain.

Selain sex scams atau love scams, mereka bekerja untuk melakukan penipuan investasi bodong dengan mengunakan aplikasi yang sudah disiapkan.

Perekrutan PMI Skim Online

Dari penelusuran Migrant Watch, perekrutan kepada PMI diperkerjakan di dunia skimmer online dengan bujuk rayu bekerja sebagai customer service e-commerce atau gaming online. Ada juga merekrut mereka sebagai operator judi online.

Perekrutan banyak dilakukan melalui media sosial Facebook. Ada juga melalui antarteman.

Biasanya target sasarannya pada orang-orang baru lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang berusia antara 18-35 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka ditawarkan gaji berkisar Rp 12 juta - Rp 20 juta per bulan.

Setelah dikumpulkan, mereka diterbangkan ke Phnom Penh. Biasanya mereka dibawa ke Bavet, yaitu daerah perbatasan antara Kamboja - Vietnam. Ada juga dibawa ke beberapa kota di negara Myanmar dan Vietnam.

Mereka kemudian dipekerjakan sebagai skimmer online dengan modus Sex Scams atau Love Scams.

Mereka yang awalnya tidak sadar dipekerjakan sebagai skiming online sudah masuk perangkap dunia kejahatan. Di bawah kekuasaan sindikat, PMI tersebut mau tidak mau melakukan kejahatan Skimming Online.

Alasan sindikat Skimming Online merekrut pemuda-pemudi Indonesia untuk melakukan kejahatan tersebut, selain kekurangan tenaga kerja dari negarnya, juga karena target sasaran mangsanya adalah orang-orang Indonesia.

Mereka mengincar para PMI bekerja di Taiwan, Hongkong, Singapura, Jepang dan Arab Saudi. Mereka juga digunakan memangsa orang-orang berada di wilayah Indonesia dan orang-orang dari berbagai negara-negara lainnya.

Mereka bekerja selama 12 jam. Mereka dibagi dua shift kerja, yakni pukul 09.30 sampai 21.30 dan 21.30 sampai 09.30. Mereka tidak ada hari libur, apalagi bisa keluar jalan-jalan selesai jam kerja.

Mereka ditampung di gedung yang berfungsi sebagai tempat kerja sekaligus tempat tinggal. Pada faktanya, rata-rata mereka menerima gaji Rp 12 juta per bulan.

Selama bekerja, mereka tidak mengetahui nama perusahaan dan pimpinannya. Paspor mereka ditahan oleh pihak perusahaan.

Mereka dikatakan telah punya visa kerja, tapi dipegang oleh perusahaan untuk jaminan. Namun mereka tidak pernah lihat visa tersebut.

Karena sudah masuk dunia kejahatan, tak hayal mereka mendapat tekanan dan penderitaan. Bahkan ada yang mengalami penyekapan seperti kejadian di Myanmar.

Hukuman itu berlaku bagi pekerja yang tidak mencapai target atau membuat video meminta tolong ke pemerintah Indonesia untuk dipulangkan.

Namun banyak juga PMI yang betah menjalankan pekerjaan tersebut. Mereka menyambung kontrak kerja kembali atau bekerja di perusahaan lain yang menjalankan kegiatan sama.

Skim Online dan TPPO

Tidak ada data yang pasti jumlah PMI dipekerjakan sebagai skimming online. Diestimasikan berjumlah sekitar 2.000 PMI dipekerjakan sebagai skim online yang tersebar di negara Kamboja, Myanmar, Filipina, Laos dan Thailand.

Fenomena PMI bekerja sebagai skim online sudah berlangsung sejak 10 tahun lalu. Perekrutan PMI mulai marak sejak 2020.

Namun, kasus ini baru terbongkar dan mencuat ke permukaan 2 tahun belakangan ini, terutama sejak peristiwa penyekapan PMI di Myanmar pada Mei 2023.

Kasus ini sangat sulit dikategorikan sebagai Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Tiga unsur TPPO dari proses, cara dan sampai eksploitasi sulit dibuktikan. Semua berjalan suka sama suka dan atas kesadaran.

Kecuali ada kasus penyekapan dan PMI yang bersangkutan menolak pekerjaan tersebut, maka kasus ini bisa masuk ke ranah TPPO.

Karena unsur proses dan caranya dilakukan dengan penipuan serta menggelapkan dokumen, maka pelakunya telah melakukan kerja paksa pada PMI untuk dieksploitasi.

Sayang dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007, kegiatan skim online tidak dimasukkan kegiatan TPPO. Undang-undang TPPO hanya memasukkan kegiatan perdagangan organ, sek komersial, dan kerja paksa pada anak.

Sedangkan, skim online merupakan kegiatan usaha yang merugikan orang, baik pada pekerja maupun orang lain. Semua kegiatan ini dilakukan secara terencana dan sistematis.

Kegiatan ini selain dilarang oleh norma agama, juga bertentangan dengan norma hukum di seluruh dunia.

Kegiatan skim online selain merusak mental pekerja dari orang-orang baik menjadi penjahat, juga terjadi praktik pemerasan dan penipuan yang bisa memangsa siapapun.

Ahli hukum seharusnya memasukan kegiatan memperkerjakan orang pada usaha skim online merupakan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Kasus ini tidak bisa dikategorikan kejahatan murni biasa. Ini sudah menjadi kejahatan extra ordinary crime yang mesti diperangi.

Bagi perseorangan ataupun perusahaan resmi melakukan rekrutmen dan penempatan PMI sebagai pekerja skim online merupakan praktik Tindak Pidana Perdagangan Orang, meski unsur proses dan caranya tidak terjadi dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat.

https://nasional.kompas.com/read/2023/07/20/10123411/menyoal-praktik-skiming-online-para-pekerja-migran-indonesia

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke