JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyesalkan sikap beberapa Guru Besar Ilmu Kedokteran dari sejumlah universitas yang mengkritisi RUU Kesehatan, pada Senin (10/7/2023).
Adapun guru besar yang tergabung dalam Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP) melayangkan petisi penolakan RUU Kesehatan pada Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR RI Puan Maharani.
Kemenkes menganggap, kritik terhadap RUU Kesehatan itu hanya berdasarkan provokasi dan fakta sesat yang dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu.
“Kami menyesalkan para guru besar tersebut tidak membaca dan tidak tabayun mencari fakta sebenarnya terkait RUU Kesehatan,” kata Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr Mohammad Syahril, dikutip dari siaran pers, Selasa (11/7/2023).
Syahril menilai, penolakan mereka hanya didasarkan pada hoaks yang beredar di grup WhatsApp (WA) serta provokasi dari pihak-pihak tertentu.
Hal ini bertujuan untuk menolak RUU Kesehatan yang menurutnya justru akan membuat masyarakat lebih mudah mengakses dokter. Sekaligus, mendapatkan pengobatan dan layanan kesehatan yang murah.
Ia lantas mencontohkan salah satu isu tidak benar yang dihembuskan para guru besar, yaitu masalah genomik.
“Pengobatan presisi secara genomik sudah umum di negara lain. Indonesia sudah jauh ketinggalan. Malaysia dan Thailand sudah memulainya lebih dari lima tahun lalu. Kenapa guru besar ini keberatan dengan ilmu baru ini?” kata Syahril.
Masalah lainnya, yaitu terkait terminologi dan waktu aborsi. Padahal lanjut Syahril, masalah aborsi sudah diatur dalam UU KUHP yang baru.
RUU Kesehatan hanya mengikuti apa yang sudah ada di UU KUHP agar tidak bertentangan.
Ia pun mengakui siap untuk berdiskusi dengan para guru besar tersebut.
"Kemenkes siap menerima para guru besar untuk diskusi kapan pun agar mereka tidak termakan hoaks dan dapat mengedukasi para siswanya dengan akurat," jelasnya.
Sebelumnya diberitakan, Persatuan guru besar yang tergabung dalam Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP) melayangkan petisi penolakan RUU Kesehatan pada Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR RI Puan Maharani.
Petisi dilayangkan mengingat ada sejumlah isu yang dinilai berpotensi mengganggu ketahanan kesehatan bangsa. Isu-isu tersebut menyangkut soal hilangnya mandatory spending hingga pasal mengenai aborsi dalam RUU Kesehatan.
Mereka menilai, berbagai aturan dalam RUU tersebut memantik destabilitas sistem kesehatan serta mengganggu ketahanan kesehatan bangsa.
"Sejumlah pasal-pasal dalam RUU tidak kondusif dan menunjukkan ketidakberpihakan kepada ketahanan kesehatan bangsa yang adekuat," Kata dokter spesialis kandungan dan perwakilan FGBLP, Laila Nuranna Soedirman dalam konferensi pers secara daring, Senin (10/7/2023).
Pertama, soal mandatory spending. Dalam RUU, DPR RI dan pemerintah sepakat menghapus alokasi anggaran kesehatan minimal 10 persen dari yang sebelumnya 5 persen.
Pemerintah beranggapan, penghapusan bertujuan agar mandatory spending diatur bukan berdasarkan pada besarnya alokasi, tetapi berdasarkan komitmen belanja anggaran pemerintah. Dengan demikian, program strategis tertentu di sektor kesehatan bisa berjalan maksimal.
Namun menurut FGBLP, penghilangan pasal justru tidak sesuai dengan amanah Abuja Declaration WHO.
"Hilangnya pasal terkait mandatory spending yang tidak sesuai dengan amanah Abuja Declaration WHO dan TAP MP RI X/MPR/2001," jelas Laila.
Berbagai pasal lain yang disorot adalah soal adanya pasal-pasal terkait ruang multi-bar bagi organisasi profesi, kemudahan bagi dokter asing untuk masuk ke Indonesia, dan implementasi proyek bioteknologi medis termasuk proyek genome yang mengakibatkan konsekuensi serius pada biosekuritas bangsa. Lalu, kontroversi terminologi waktu aborsi.
"Kemudahan dokter asing untuk masuk ke negara ini, yang tidak menguntungkan mayoritas masyarakat Indonesia yang mash harus memerangi kemiskinan," tuturnya.
https://nasional.kompas.com/read/2023/07/11/09183031/kemenkes-sayangkan-para-guru-besar-termakan-hoaks-sampai-layangkan-petisi