Warga membakar rumah itu pada 1998 sehingga menyisakan material tembok yang tak bisa terbakar.
Sisa tembok itu jadi memorial tempat mengingat kasus pelanggaran HAM berat pernah terjadi saat konflik militer di Aceh berlangsung.
Sisa-sisa bangunan ini menjadi saksi kebrutalan militer terhadap warga sipil setempat saat konflik bersenjata.
Tim Pencari Fakta menemukan ada 3.504 korban kasus pelanggaran HAM berat yang sebagian besar terjadi di Rumoh Geudong.
Dari data tersebut tercatat jumlah orang hilang sebanyak 168 kasus, meninggal 378 kasus, perkosaan 14 kasus, cacat berat 193 kasus, cacat sedang 210 kasus, cacat ringan 359 kasus, janda 1.298 kasus, stres atau trauma 178 kasus, rumah dibakar 223 kasus, dan rumah dirusak 47 kasus.
Namun, sisa-sisa tembok itu kemudian diratakan untuk persiapan kick-off atau dimulainnya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara non-yudisial yang akan dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Aceh hari ini, Selasa (27/6/2023).
Menjelang kedatangan Jokowi tersebut, tim Pemerintah Kabupaten Pidie menghancurkan sisa bangunan Rumoh Geudong dan hanya menyisakan anak tangga untuk dilihat Presiden.
Kecaman dari lembaga negara
Aksi perataan dengan tanah tersebut dikecam banyak pihak, termasuk lembaga negara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Komisioner Komnas HAM Putu Elvina mengatakan, perataan Rumoh Geudong tersebut mencerminkan pemerintah daerah Pidie tidak sensitif terhadap kasus pelanggaran HAM berat.
"Memang kami menyesalkan terkait bagaimana diratakan semua kenanganan-kenangan terkait tragedi Rumoh Geudong tersebut," kata Putu di Kantor Komnas HAM, Senin (26/6/2023).
"Kami melihat bahwa pemerintah daerah tidak cukup memiliki sensitivitas terhadap kasus-kasus yang menjadi dugaan pelanggaran berat oleh Komnas HAM," ujarnya lagi.
Putu mengatakan, Komnas HAM menyoroti kebijakan sepihak terkait perataan Rumoh Geudong.
Sebab, lokasi kasus pelanggaran HAM berat itu semestinya jadi tempat memorialisasi terhadap kasus yang terjadi di sana.
"Kita berharap tentu Rumoh Geudong itu sebenarnya menjadi memorialisasi terhadap pernah terjadinya pelanggaran HAM di tengah Aceh, itu yang mungkin kami bisa sampaikan dari kesempatan yang terbatas," katanya.
Di tempat yang sama, Wakil Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Mariana Amiruddin mengatakan, perataan Rumoh Geudong adalah kejahatan terhadap upaya pengungkapan kebenaran.
Mariana mengatakan, negara berpihak untuk membuat pengadilan HAM. Tetapi, di sisi lain justru menghilangkan bukti pelanggaran HAM, yaitu Rumoh Geudong.
"Artinya ini, bahwa itu (perusakan Rumoh Geudong) adalah tindak kejahatan tanda kutip terhadap usaha kita mengungkap kebenaran," ujarnya.
Sementara itu, Anggota Ombudsman RI Jemsly Hutabarat menyebut akan melakukan sidak terkait peristiwa itu.
Ia juga menyayangkan adanya perataan situs sejarah pelanggaran HAM berat tersebut yang dilakukan oleh Pemda setempat.
"Nanti dengan kewenangan kita sebagai (Ombudsman) bisa sidak dan lain-lain, nanti orang-orang kita secara (aturan) Ombudsman mengikuti proses (pengungkapan) di sana," kata Jemsly.
Anggota Koalisi Masyarakat Sipil dari LSM Pengembangan Aktivitas Sosial Ekonomi Masyarakat (Paska) Aceh, Farida Haryani mengatakan, penghancuran tersebut menegaskan pemerintah bertelinga tebal terhadap suara-suara para korban.
"Penghancuran ini sangat merendahkan martabat korban dan masyarakat setempat. Suara mereka telah diabaikan dalam proses (penghancuran) ini," ujar Farida.
Begitu juga dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) yang mengatakan perataan itu sebagai bentuk penghancuran alat bukti kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan negara.
"Alih-alih pemulihan korban berbalut non-yudisial, Pemerintah justru menghancurkan alat bukti pidana pelanggaran HAM Berat untuk kepentingan yudisial," kata Julius.
Julius mengatakan, tindakan penghancuran Rumoh Geudong menegaskan bahwa pemerintah tidak memiliki niat baik untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat.
"Ini kejahatan baru yang dilakukan negara untuk menutupi kejahatan lama," ujarnya.
Amnesty Internasional juga turut menyoroti tingkah laku Pemda Pidie tersebut.
Direktur Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan, penghancuran situs tersebut menjadi pertanyaan besar keseriusan Indonesia menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat.
"Kami menyesalkan tindakan penghancuran sisa bangunan Rumoh Geudong. Bangunan itu merupakan sebuah situs sejarah penting sekaligus bukti pernah adanya kejahatan sangat serius di Kabupaten Pidie, Aceh," ujar Usman.
"Penghancuran bangunan penting ini menimbulkan pertanyaan terkait keseriusan negara dalam upaya menuliskan ulang sejarah Indonesia dan upaya lain berupa memorialisasi pelanggaran HAM berat di Aceh." katanya lagi.
Penjelasan pemerintah
Melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, pemerintah menyebut alasan perataan Rumoh Geudong bukan sebuah perusakan.
Mahfud mengatakan, tidak ada pembongkaran. Sebab, beberapa sisa puing Rumoh Geudong masih disisakan seperti sumur dan anak tangga yang masih terawat.
“Itu akan disisakan, kan dirawat, masih ada dan sumur dua kan, yang lain-lain itu sudah dirusak oleh masyakat sendiri, sudah dibongkar,” kata Mahfud di Aceh.
Kemenko Polhukam juga menjelaskan alasan Rumoh Geudong diratakan menjelang kick-off penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat jalur non-yudisial.
“Kami sudah melihat langsung di saat awal kami datang, itu hanya berupa tangga dan dua bidang tembok, dengan tinggi kurang lebih 1,60 meter dan ditumbuhi oleh hutan (semak) belukar dan pohon-pohon kelapa yang ada di sana,” kata Deputi V Bidang Koordinasi Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Kemenko Polhukam Rudolf Alberth dalam keterangannya, dikutip pada Senin ini.
“Narasi bahwa kami membongkar bangunan tersebut adalah tidak benar,” ujarnya lagi.
https://nasional.kompas.com/read/2023/06/27/10121551/lembaga-pemerintah-dan-koalisi-masyarakat-sipil-kecam-rumoh-geudong