Koalisi sipil menilai bahwa KPU justru semakin jauh dari janjinya. Apalagi, setelah Komisi II DPR RI melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang diikuti oleh Kementerian Dalam Negeri, KPU, Bawaslu, dan DKPP pada 17 Mei 2023 lalu, meminta KPU tak melakukan revisi apa pun.
Perwakilan koalisi dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menyampaikan bahwa somasi itu sudah diterima Sekretariat Jenderal KPU RI pada Jumat (19/5/2023) lalu.
"Dalam somasi yang kami layangkan kepada KPU, kami menuntut KPU melaksanakan kewajiban hukum sesuai dengan sumpah jabatan, menerapkan prinsip mandiri dengan segera menetapkan revisi Pasal 8 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 untuk memulihkan hak politik perempuan sebagai calon anggota DPR dan DPRD, sebagaimana diatur dalam Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945 dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu," kata Titi, Senin (22/5/2023).
Koalisi juga menyoroti KPU yang dianggap bersikap kontradiktif.
Pasalnya, pada 10 Mei lalu, KPU merespons aspirasi koalisi dan menggelar jumpa pers yang menyatakan mereka bakal segera mengubah ketentuan bermasalah soal teknis penghitungan keterwakilan 30 persen bacaleg perempuan pada Pemilu 2024, karena keterbatasan waktu.
Kepada awak media, KPU didampingi jajaran Bawaslu dan DKPP juga mengklaim mendukung pemilu yang inklusif gender dan mendorong pemenuhan keterwakilan perempuan dalam proses ini.
KPU juga menyatakan bahwa proses konsultasi dengan DPR, sebagai tahapan yang harus dilalui ketika membentuk atau mengubah aturan, bukan sesuatu yang bersifat dominasi dari parlemen.
Akan tetapi, koalisi tak melihat perwujudan dari pernyataan-pernyataan KPU tersebut setelah RDP dengan Komisi II DPR RI pekan lalu.
"KPU tunduk pada hasil konsultasi dengan Komisi II DPR dan Pemerintah yang meminta untuk tidak merevisi Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU 10 Tahun 2023. Padahal, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 92/PUU/XIV/2016, konsultasi KPU ke DPR keputusannya tidak bersifat mengikat," kata Titi.
Dalam pasal itu, KPU mengatur pembulatan ke bawah jika perhitungan 30 persen keterwakilan perempuan menghasilkan angka desimal kurang dari koma lima.
Sebagai contoh, jika di suatu dapil terdapat 8 caleg, maka jumlah 30 persen keterwakilan perempuannya adalah 2,4.
Karena angka di belakang desimal kurang dari 5, maka berlaku pembulatan ke bawah. Akibatnya, keterwakilan perempuan dari total 8 caleg di dapil itu cukup hanya 2 orang dan itu dianggap sudah memenuhi syarat.
Padahal, 2 dari 8 caleg setara 25 persen saja. Artinya, belum memenuhi ambang minimum keterwakilan perempuan 30 persen sebagaimana dipersyaratkan Pasal 245 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Hasyim Asy'ari mengklaim bahwa KPU sudah berinisiatif untuk mengakomodir kepentingan keterwakilan perempuan, sekalipun ketentuan yang dipersoalkan belum direvisi.
Ia justru balik menyinggung angka keterwakilan perempuan di dalam pendaftaran calon anggota legislatif yang telah ditutup pada 14 Mei lalu, yang diklaim sudah melampaui target minimum 30 persen.
"18 partai yang daftar bakal calon di KPU, angka keterwakilan perempuannya sudah di atas batas minimal yang ditentukan oleh undang-undang, yaitu 30 persen minimal keterwakilan perempuan," ujar Hasyim Asy'ari.
https://nasional.kompas.com/read/2023/05/22/11452451/kpu-disomasi-karena-belum-ubah-aturan-yang-berpotensi-kurangi-jumlah-caleg