Salin Artikel

Polemik Revisi UU TNI: Potensi Inefisiensi Aturan hingga Kekhawatiran Kembalinya Dwifungsi ABRI

JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menuai pro dan kontra.

Revisi UU tersebut diusulkan oleh Markas Besar (Mabes) TNI. Hingga kini, rencana perubahan aturan itu masih dibahas di internal Mabes TNI dan belum disampaikan ke Kementerian Pertahanan (Kemenhan) maupun digodok di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Namun, gagasan tersebut tak disambut baik oleh sejumlah pihak. Pasal-pasal dalam UU TNI yang diusulkan untuk diubah justru dikhawatirkan membawa kemunduran.

Sejumlah pasal disorot

Salah satu pasal yang disorot dalam usulan revisi UU TNI yakni mengenai jabatan Wakil Panglima TNI. Sebelumnya, Panglima TNI bekerja tanpa didampingi wakil.

“Panglima dibantu oleh seorang wakil panglima berpangkat perwira tinggi bintang empat,” bunyi draf revisi UU TNI Pasal 13 Ayat (3).

Aturan lain yang banyak mendapat kritikan yaitu usulan prajurit TNI aktif bisa menduduki jabatan sipil lebih banyak di kementerian atau lembaga.

Pasal 47 UU TNI yang ada saat ini mengatur, prajurit TNI bisa menduduki jabatan di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Kementerian Pertahanan, Sekretariat Militer Presiden, Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan, Badan Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.

Sementara, dalam usulan perubahan UU, wewenang prajurit TNI aktif lebih luas lantaran bisa menjabat di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Staf Kepresidenan, BNPT, BNPB, Badan Nasional Pengamanan Perbatasan, Kejaksaan Agung, dan kementerian atau lembaga yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai kebijakan presiden.

Revisi UU TNI juga mengusulkan perpanjangan masa dinas prajurit. Pasal 53 UU TNI saat ini mengatur bahwa prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usai paling tinggi 58 tahun bagi perwira dan 53 tahun bagi bintara dan tamtama.

Dalam usulan revisi UU, masa dinas keprajuritan dapat diperpanjang hingga usia 60 tahun untuk prajurit yang memiliki kemampuan, kompetensi, dan keahlian khusus.

Pasal lain yang juga menuai pro kontra ialah tentang usulan TNI jadi alat keamanan negara. Pasal 3 UU TNI yang ada saat ini mengatur bahwa TNI merupakan kekuatan militer yang berkedudukan di bawah presiden.

Sementara, revisi UU TNI mengusulkan TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara yang berkedudukan di bawah presiden.

Sejumlah aturan tersebut menuai kritikan tidak hanya dari akademisi, tetapi juga kalangan legislatif, bahkan eksekutif.

Tak disambut Menhan

Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto, misalnya, tak menyambut baik usulan revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 yang kini masih digodok di lingkungan Mabes TNI tersebut. Menurut dia, UU TNI yang ada saat ini sudah baik.

“Undang-Undang yang sudah berjalan lama dan saya kira sudah berjalan dengan baik,” kata Prabowo saat ditemui awak media di Kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta, Kamis (11/5/2023).

Prabowo mencontohkan, UU TNI yang ada telah mengatur cara pencegahan korupsi di tubuh Mabes TNI.

“Kita mencegah kebocoran, kita mencegah korupsi, ini sangat tegas Presiden (Joko Widodo) menghendaki pengawasan yang sangat baik dan sangat kuat,” ujar Prabowo.

“Jadi saya kira ini sudah berjalan dengan baik,” lanjut Ketua Umum Partai Gerindra itu.

Dikritik DPR

Usulan revisi UU TNI juga dikritik oleh Parlemen. Anggota Komisi I DPR RI, Tubagus (TB) Hasanuddin menilai, usulan TNI sebagai alat keamanan negara yang dimuat dalam Pasal 3 draf UU TNI tidaklah tepat.

Menurut TB Hasanuddin, tugas TNI harus mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pertahanan Negara.

“Itu tidak tepat. Harusnya mengacu pada Undang-Undang Dasar tahun 1945 dan Undang-Undang Pertahanan,” kata TB Hasanuddin saat dihubungi, Kamis (11/5/2023) petang.

“Itu (tugas TNI) hanya sebagai alat pertahanan negara,” tuturnya.

Usulan itu pun dipandang tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Menurutnya, di dalam UU 3/2002 tentang Pertahanan Negara yang menjadi basis dari keberadaan UU TNI, tidak dikenal istilah pertahanan dan keamanan negara.

“Pasal 10 UU Pertahanan Negara jelas menyebutkan TNI berperan sebagai alat pertahanan NKRI. Penggunaan istilah ‘keamanan negara’ juga berpotensi untuk menimbulkan wilayah abu-abu atau gray area dan overlapping (tumpang tindih) dengan tugas Polri,” ucap Anton, Kamis (11/5/2023).

Inefisien

Anton juga menyoroti usulan jabatan Wakil Panglima TNI dalam draf revisi UU TNI. Menurut dia, aturan tersebut justru menciptakan inefisiensi di tubuh TNI.

“Menciptakan inefisiensi pengelolaan institusi angkatan bersenjata,” kata Anton dalam keterangannya, Kamis (11/5/2023).

Sejauh ini, kata Anton, tidak ada justifikasi yang kuat mengenai urgensi keberadaan Wakil Panglima TNI.

“Selain telah dibantu oleh tiga kepala staf angkatan, kerja Panglima TNI juga ditopang Kepala Staf Umum (Kasum) TNI. Jika memang masih dirasa kurang, cukup dengan penambahan tugas yang harus diampu seorang Kasum TNI,” ujarnya.

Selain itu, menurut Anton, wacana perpanjangan masa dinas prajurit TNI juga tak efisien. Usulan tersebut justru berpotensi menambah jumlah perwira yang non-job di tubuh militer.

Jika berkaca pada kebutuhan prajurit yang harus bugar, sigap, dan tangkas, kata Anton, semestinya TNI diisi lebih banyak prajurit aktif yang berusia muda dan produktif.

“Konsekuensinya, batas usia pensiun adalah diturunkan bukan malah dinaikkan,” ucap Kepala CIDE itu.

Semangat reformasi

Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin juga turut angkat bicara soal wacana revisi UU TNI ini. Ma’ruf menyoroti usulan perluasan wewenang prajurit TNI aktif.

Dia mewanti-wanti agar revisi UU TNI, khususnya usulan perubahan pasal tersebut, tidak mencederai semangat reformasi.

"Soal adanya usulan perwira akfif bisa (mengisi jabatan sipil), nah ini saya pikir juga sama, coba dibicarakan, yang penting tentunya jangan mencederai semangat Reformasi," kata Ma'ruf dalam keterangan pers di Ternate, Jumat (12/6/2023).

Ma'ruf mengingatkan, salah satu semangat Reformasi 1998 adalah menghapuskan dwifungsi ABRI. Oleh karenanya, menurut dia, wacana penambahan jabatan sipil yang bisa diisi perwira aktif mesti dibahas serius agar tidak menyalahi semangat Reformasi.

"Semangat itu yang jangan dicederai, asalkan itu bisa tidak kembali ke arah itu (dwifungsi ABRI) ya saya kira silakan dibicarakan," tutur Ma’ruf.

Baru usulan

Revisi UU TNI itu sedianya baru usulan. Panglima TNI Laksamana Yudo Margono menerima paparan draf rencana revisi UU tersebut dari Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI Laksda Kresno Buntoro di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, pada 28 April 2023.

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Laksda Julius Widjojono mengatakan bahwa draf tersebut baru dibahas di internal Mabes TNI. Artinya, rencana perubahan itu baru sebatas usulan yang belum disampaikan kepada Kemenhan yang nantinya akan diteruskan ke DPR.

“Paparan itu baru konsep internal, belum di-approved Panglima TNI,” kata Julius saat dihubungi, Selasa (9/5/2023).

(Penulis: Nirmala Maulana Achmad, Ardito Ramadhan | Editor: Dani Prabowo, Sabrina Asril, Bagus Santosa)

https://nasional.kompas.com/read/2023/05/13/09435551/polemik-revisi-uu-tni-potensi-inefisiensi-aturan-hingga-kekhawatiran

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke