JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf tetap berharap proses yudisial dalam penyelesaian 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) tetap dilakukan, walaupun pemerintah menyatakan memprioritaskan jalur non yudisial dan mengakui tetapi tidak akan menyampaikan permintaan maaf.
"Jika pemerintah memang tidak bermaksud menutup ruang yudisial, proses yudisial harus tetap didorong oleh pemerintah," kata Al Araf dalam keterangannya pada Kamis (4/5/2023).
Al Araf mengatakan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu harus dimulai dari pengungkapan kebenaran, kemudian dilanjutkan dengan pengakuan dan permintaan maaf dari negara, lalu diteruskan dengan upaya rehabilitasi korban dan jangan menutup proses yudisial.
"Pemenuhan hak-hak korban dan penghukuman terhadap pelaku merupakan kewajiban yang harus dijalankan oleh pemerintah," ucap Al Araf.
Al Araf mencontohkan, dari 12 kasus pelanggaran HAM yang telah diakui oleh pemerintah, kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997/1998 bisa didorong untuk masuk ke proses yudisial.
"Hal ini untuk membuktikan bahwa upaya yang dijalankan saat ini oleh pemerintah memang tidak bertujuan untuk menutup ruang yudisial," ujar Al Araf.
Di sisi lain, Al Araf mengkritik pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD soal negara tidak akan menyampaikan permintaan maaf terkait 12 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Menurut Al Araf, pernyataan Mahfud MD menunjukan sisi parsialitas dan sikap setengah hati pemerintah dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
"Dengan tidak adanya permintaan maaf sama saja pemerintah tidak mengakui bahwa kasus kasus tersebut bukan sebagai sebuah kesalahan politik yang harus dikoreksi," kata Al Araf.
Menurut Mahfud, pemerintah tidak meminta maaf atas 12 kasus pelanggaran HAM masa lalu berdasarkan rekomendasi penyelesaian non yudisial.
"Di dalam rekomendasi penyelesaian non yudisial itu tidak ada permintaan maaf dari pemerintah kepada masyarakat karena peristiwa itu. Tetapi pemerintah menyatakan mengakui bahwa peristiwa itu memang terjadi dan pemerintah menyesali terjadinya peristiwa itu," ujar Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (2/4/2023).
"Jadi tidak ada permintaan maaf dan tidak ada perubahan status hukum terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu. Yaitu misalnya TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tetap itu berlaku sebagai ketetapan yang tidak dapat diubah," tegasnya.
"Dan peristiwa itu tentu tidak bisa ditambah oleh pemerintah karena menurut undang-undang (UU) menentukan pelanggaran HAM berat atau bukan itu adalah Komnas HAM," ungkapnya.
"Dan Komnas HAM merekomendasikan 12 yang terjadi sejak puluhan tahun yang lalu. Nah saya ingin masyarakat paham perbedaan antara pelanggaran HAM berat dan kejahatan berat," katanya.
Dalam kesempatan itu, Mahfud juga menegaskan bahwa pemerintah tidak mencari pelaku dalam proses penyelesaian non yudisial untuk peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.
Sebab pemerintah sudah memutuskan adanya penyelesaian non yudisial yang lebih menitikberatkan kepada korban.
"Jadi ini titik beratnya pada korban, bukan pada pelaku. Kita tidak akan mencari pelakunya dalam penyelesaian non yudisial ini. Karena itu urusan Komnas HAM dan DPR," tuturnya.
Mahfud menjelaskan, apabila menyangkut pelakunya, maka hal itu berkaitan dengan penyelesaian secara yudisial (hukum).
"Nanti harus diputuskan oleh Komnas HAM bersama DPR untuk selanjutnya diserahkan kepada pemerintah," tegas Mahfud.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengakui adanya 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.
Hal itu disampaikannya setelah menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) di Istana Negara pada Rabu (11/1/2023). Jokowi menyatakan, sudah membaca secara seksama laporan tersebut.
"Saya telah membaca dengan seksama laporan dari Tim PPHAM yang berat yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022. Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran HAM yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa," ujar Jokowi.
Atas peristiwa itu, Jokowi mengaku menyesalkannya.
Berikut 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang diakui Kepala Negara:
(Penulis : Dian Erika Nugraheny | Editor : Dani Prabowo)
https://nasional.kompas.com/read/2023/05/04/17553201/pemerintah-didorong-tetap-proses-hukum-12-pelanggaran-ham-berat