Salin Artikel

Pengamat Sebut Kasus Transaksi Janggal Rp 349 T Muncul karena Budaya Korupsi yang Mengakar

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat politik Philips J Vermonte mengatakan bahwa korupsi di Indonesia tidak pernah hilang dari dulu hingga sekarang. Akibatnya, korupsi justru menjadi budaya di Indonesia.

Hal tersebut Philips sampaikan merespons adanya transaksi mencurigakan Rp 349 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Mulanya, Philips menegaskan, terlepas dari apakah uang sebesar itu dikorupsi atau tidak, bagaimanapun juga semua uang itu merupakan uang rakyat, bukan uang kementerian ataupun direktorat-direktorat di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

"Dana siapa ini? Dana masyarakat lah. Dana masyarakat yang dibajak, dialihkan secara ilegal oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Jadi ini bukan uangnya Bea Cukai, bukan uangnya Kemenkeu, bukan uang Ditjen Pajak, tapi itu dana-dana yang terkumpul dari masyarakat dan kemudian melalui cara-cara yang ilegal," ujar Philips dalam program Satu Meja Kompas TV, seperti dikutip Jumat (31/3/2023).

Philips mengatakan, akar masalah dari transaksi janggal Rp 349 triliun adalah perihal budaya korupsi yang sudah mengakar.

Dia menjelaskan, bedanya korupsi di zaman dulu dan saat ini hanya berbeda metode yang lebih canggih.

Philips lantas mengutip pernyataan Wakil Presiden pertama Mohammad Hatta atau Bung Hatta perihal korupsi di Indonesia yang sudah menjadi budaya.

"Bung Hatta sudah pernah bilang dari dulu, korupsi itu sudah membudaya di Indonesia. Artinya kita ini yang menyedihkan nih, Pak Trimed. Memang enggak berubah, dari sisi cara-cara kita menghadapi korupsi dan bagaimana orang-orang melihat perilaku koruptif ini," tuturnya.

Semua bermula karena Mario Dandy

Kemudian, Philips menyebut semua transaksi mencurigakan ini terbongkar ketika anak eks pejabat di Ditjen Pajak Rafael Alun, Mario Dandy, memukuli anak berinisial D.

Dari masalah Mario, Rafael ikut terkena dampaknya. Mario menjadi tersangka penganiayaan, sementara ayahnya menjadi tersangka gratifikasi.

Philips mendapati fenomena yang terjadi saat ini adalah banyaknya pejabat beserta keluarganya yang selalu menggunakan power yang mereka punya untuk mendapat keuntungan.

"Fenomenanya adalah itu kan power syndrome. Orang punya power sedikit, lalu dia gunakan untuk di exercise, untuk dapat keuntungan. Ayahnya (Rafael) eselon III, dengan kekuasaan eselon III dia bisa mengakumulasi demikian banyak. Karena ada power yang dia bisa exercise," jelas Philips.

"Di Bea Cukai juga sama, yang diceritakan masyarakat beberapa ke belakang, bagaimana insiden di Bea Cukai, orang pulang dari luar negeri, dan lain-lain, itu dia punya power memang, dan punya kewenangan yang diberikan. Tapi dia exercise dengan cara yang berlebihan," sambungnya.

Philips mengatakan penggunaan power oleh para pejabat ini menjadi pekerjaan rumah untuk Indonesia.

Sebab, menurut Philips, pelaksanaan penyalahgunaan power itu dimulai dari level paling bawah, baru ke atas.

"Dan karena itu menurut saya, pandangan kita tentang kekuasaan, tentang bagaimana kekuasaan dikontrol, itu yang menurut saya enggak hilang. Karena semua orang exercise power. Ini yang menurut saya sangat berbahaya," imbuh Philips.

https://nasional.kompas.com/read/2023/03/31/11392221/pengamat-sebut-kasus-transaksi-janggal-rp-349-t-muncul-karena-budaya-korupsi

Terkini Lainnya

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Nasional
Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Nasional
Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Nasional
Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Nasional
Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Nasional
Tak Dianggap Kader PDI-P, Jokowi dan Keluarga Diprediksi Gabung Golkar

Tak Dianggap Kader PDI-P, Jokowi dan Keluarga Diprediksi Gabung Golkar

Nasional
Prabowo Harap Semua Pihak Rukun meski Beda Pilihan Politik

Prabowo Harap Semua Pihak Rukun meski Beda Pilihan Politik

Nasional
Jokowi Sebut Penyusunan Kabinet Mendatang Hak Prerogatif Prabowo

Jokowi Sebut Penyusunan Kabinet Mendatang Hak Prerogatif Prabowo

Nasional
Temui Warga Aceh Usai Pilpres, Cak Imin Janji Lanjutkan Perjuangan

Temui Warga Aceh Usai Pilpres, Cak Imin Janji Lanjutkan Perjuangan

Nasional
Timnas Akan Hadapi Guinea untuk Bisa Lolos ke Olimpiade, Jokowi: Optimistis Menang

Timnas Akan Hadapi Guinea untuk Bisa Lolos ke Olimpiade, Jokowi: Optimistis Menang

Nasional
KPK Sebut Penyidik Bisa Jemput Paksa Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

KPK Sebut Penyidik Bisa Jemput Paksa Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

Nasional
TNI AD Mulai Tanam Padi di Merauke, KSAD: Selama Ini Hasilnya Kurang Baik

TNI AD Mulai Tanam Padi di Merauke, KSAD: Selama Ini Hasilnya Kurang Baik

Nasional
KPK Mengaku Bisa Tangkap Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Kapan Saja

KPK Mengaku Bisa Tangkap Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Kapan Saja

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke