JAKARTA, KOMPAS.com - Masyarakat dan partai politik dinilai seharusnya mengecam upaya berbagai pihak untuk mengubah sistem pemilihan umum (Pemilu) dari proporsional terbuka yang diberlakukan sejak 2009 untuk kembali menjadi proporsional tertutup yang berlaku sejak masa Orde Lama hingga 2004.
Menurut Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari, upaya menggugat aturan tentang sistem Pemilu melalui Mahkamah Konstitusi (MK) di tengah tahapan yang sedang berjalan tak sesuai dengan prinsip negara demokrasi.
"Bagi saya partai politik dan pemilih harus mengecam ini bersama-sama karena tidak ada negara yang beradab demokrasi melakukan perubahan sistem Pemilu di tengah jalan. Apalagi ini sudah sangat dekat di hari-hari H Pemilu," kata Feri saat dihubungi Kompas.com, Rabu (8/3/2023).
Feri berharap partai politik menegaskan sikap menolak perubahan sistem Pemilu meski proses pembahasan di MK masih berjalan.
Selain itu, Feri juga berharap MK bersikap tegas menolak permohonan itu. Sebab menurut dia, perubahan sistem Pemilu dari proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka yang saat ini diterapkan merupakan hasil keputusan lembaga itu pada 23 Desember 2008.
"Kalau sudah final kok disidangkan kembali? Jadi ini tidak benar," ucap Feri.
Akan tetapi, Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tertanggal 23 Desember 2008 memutuskan tidak lagi menerapkan sistem pemilu proporsional tertutup.
Sebanyak 6 orang menjadi pemohon gugatan sistem pemilu proporsional terbuka di MK. Mereka adalah Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP Cabang Probolinggo), Fahrurrozi (bacaleg 2024), Yuwono Pintadi Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jakarta Selatan), Riyanto (warga Pekalongan, Jawa Tengah), dan Nono Marijono (warga Depok, Jawa Barat).
Sebanyak 8 fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menolak penerapan sistem proporsional tertutup.
Mereka adalah Fraksi Golkar, Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, NasDem, Gerindra, dan Partai Persatuan Pembangunan.
Sistem pemilu proporsional tertutup memiliki kelebihan dan kekurangan. Beberapa kelebihan dari sistem itu di antaranya dapat meningkatkan peran partai politik dalam kaderisasi sistem perwakilan serta mendorong institusionalisasi partai.
Selain itu, kelebihan lainnya ialah memudahkan partai politik dalam mengisi kuota perempuan atau kelompok etnis minoritas. Hal ini karena partai politik mempunyai kewenangan menentukan calon legislatifnya.
Sementara, kekurangan sistem pemilu proporsional tertutup diantaranya berpotensi menguatkan oligarki di internal partai. Selain itu juga dapat memunculkan potensi politik uang di internal partai dalam hal jual beli nomor urut.
Sedangkan kelebihan sistem proporsional terbuka adalah mendorong kandidat bersaing dalam memobilisasi dukungan massa untuk kemenangan, terbangunnya kedekatan antara pemilih dengan kandidat.
Lalu pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung kepada kandidat yang dikehendakinya. Selain itu, partisipasi dan kendali masyarakat meningkat sehingga mendorong peningkatan kinerja partai dan parlemen.
Sedangkan kelemahan sistem proporsional terbuka adalah membutuhkan modal politik yang cukup besar sehingga peluang terjadinya politik uang sangat tinggi. Selain itu, penghitungan hasil suara lebih rumit.
Kelemahan lain dari sistem proporsional terbuka adalah sulit menegakkan kuota gender dan etnis, muncul potensi mereduksi peran parpol dan kaderisasi, serta persaingan sengit antarkandidat di internal partai.
https://nasional.kompas.com/read/2023/03/08/22541391/gugatan-sistem-pemilu-di-tengah-jalan-dinilai-bukan-adab-demokrasi