Salin Artikel

Kisah Eks Caleg PDI-P, Menang Gugatan Sistem Proporsional Terbuka tapi Didepak Partai

Dengan dimenangkannya perkara yang diajukan Sholeh lewat perkara nomor 22/PUU-VI/2008 oleh MK, Indonesia resmi menggunakan sistem pileg proporsional daftar calon terbuka secara murni sampai sekarang.

Caleg yang berhak duduk di parlemen ialah mereka yang meraup suara terbanyak di partai masing-masing, bukan lagi ditentukan oleh elite partai politik atau lewat nomor urut semata.

"Yang Mulia, setelah saya menang di MK, pulang nomor saya dicoret. Waktu itu saya caleg PDI-P dapil I Jawa Timur," ungkap Sholeh dalam sidang terkait sistem pileg proporsional terbuka, Kamis (23/2/2023).

Sholeh hadir sebagai pihak terkait bersama perwakilan PKS dan PSI dalam sidang perkara nomor 114/PUU-XX/2022 hari ini, yang beragendakan mendengarkan keterangan pihak terkait.

"Saya menang (gugatan di MK), yang menikmati caleg se-Indonesia, saya tidak. Enggak ngapa-ngapain lagi di rumah, juga tidak melakukan kampanye, wong saya sudah dicoret," tambah Sholeh.

Ia menjelaskan, ketika itu putusan MK mengubah sistem pileg ke sistem proporsional terbuka murni relatif mepet dengan pelaksanaan pemungutan suara, yaitu setelah penetapan DCS (daftar calon sementara).

Perubahan ini membuat sebagian caleg yang sudah terdaftar di dalam DCS kalang-kabut, karena telanjur merencanakan strategi pemenangan dengan mengamankan nomor urut kecil sebagaimana berlaku pada Pemilu 2004, bukan dengan berlomba meraup suara terbanyak.

Sementara itu, dengan sistem proporsional terbuka murni, para caleg dinilai harus pandai-pandai mengambil simpati dan membangun kedekatan dengan konstituen di dapil masing-masing.

"Tidak bisa kembali itu orang yang kadung beli nomor urut. Di daerah orang, dia enggak bisa menang (dengan suara terbanyak)," ungkap Sholeh.

Penggugat adalah 2 kader Demokrat yang menjadi caleg dapil VIII Jawa Timur yaitu Sutjipto dan Septi Notariana, serta Jose Dima Satria sebagai pemilih pada Pemilu 2009.

MK memutuskan untuk menerbitkan amar putusan yang sama untuk perkara 22-24/PUU-VI/2008. Salah satu pasal yang jadi fokus gugatan adalah Pasal 214 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.

Keberadaan pasal ini dinilai tidak menjamin caleg dengan suara terbanyak di dapil itu berhak atas kursi di DPR RI. Saat itu, metode konversi suara menjadi kursi parlemen masih menggunakan bilangan pembagi pemilih (BPP).

Masalahnya, beleid itu mengatur, nomor urut caleg lebih utama dari suara caleg. Adapun caleg harus melampaui 30 persen BPP untuk dapat melenggang.

Ini artinya, terdapat standar ganda dalam sistem proporsional daftar calon terbuka yang diterapkan pada Pemilu 2024.

Di satu sisi, pemilih dapat mencoblos caleg pilihannya di surat suara. Namun, partai politik tetap berwenang menentukan siapa kadernya di DPR melalui nomor urut. Kewenangan besar partai politik ini merupakan sesuatu yang khas dalam sistem proporsional daftar calon tertutup.

"Upaya pemohon menjadi sia-sia apabila hanya mendapatkan suara 29 persen dari BPP. Sebab jika mengacu pada pasal a quo maka penentuan untuk dapat menjadi anggota legislatif akan dikembalikan pada nomor urut," kata Sholeh dalam permohonannya waktu itu.

"Begitu juga, jika pemohon mendapatkan suara di atas 30 persen, tetap saja jika di nomor urut lebih kecil yang suaranya 30 persen. Penentuannya dikembalikan pada nomor urut kecil yang mendapatkan suara 30 persen," lanjutnya.

Sholeh cs keberatan karena dengan beleid ini, penentuan caleg bukan lagi murni pilihan rakyat, tetapi besar faktor kesukaan dari petinggi partai politik.

Gugatan ini berlangsung di tengah sikap yang berlainan antarpartai politik. Baru partai penguasa saat itu, Demokrat, yang secara resmi mendukung penuh gugatan agar caleg murni terpilih berdasarkan suara terbanyak. Begitu pun Hanura, Golkar, dan PAN.

Dalam putusannya, MK yang saat itu diketuai Mohammad Mahfud MD memutus Pasal 214 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 inkonstitusional dan tak berlaku. Permohonan Soleh, Sutjipto, Septi, dan Jose dikabulkan.

"Jika ada dua orang calon yang mendapatkan suara yang jauh berbeda secara ekstrem terpaksa calon yang mendapat suara banyak dikalahkan oleh calon yang

mendapat suara kecil, karena yang mendapat suara kecil nomor urutnya lebih kecil," tulis Mahfud dkk dalam pertimbangan putusannya.

Mereka menyinggung, dalam pemilu presiden, kandidat yang menang adalah mereka yang meraup suara terbanyak, dan tak ada peran nomor urut di situ.

"Dengan kata lain, setiap pemilihan tidak lagi menggunakan standar ganda, yaitu menggunakan nomor urut dan perolehan suara masing-masing caleg. Memberlakukan ketentuan yang memberikan hak kepada calon terpilih berdasarkan nomor urut, berarti memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai dengan pilihannya," lanjut majelis hakim.

https://nasional.kompas.com/read/2023/02/23/20294921/kisah-eks-caleg-pdi-p-menang-gugatan-sistem-proporsional-terbuka-tapi

Terkini Lainnya

Ridwan Kamil Sebut Pembangunan IKN Tak Sembarangan karena Perhatian Dunia

Ridwan Kamil Sebut Pembangunan IKN Tak Sembarangan karena Perhatian Dunia

Nasional
Jemaah Haji Dapat 'Smart' Card di Arab Saudi, Apa Fungsinya?

Jemaah Haji Dapat "Smart" Card di Arab Saudi, Apa Fungsinya?

Nasional
Kasus LPEI, KPK Cegah 4 Orang ke Luar Negeri

Kasus LPEI, KPK Cegah 4 Orang ke Luar Negeri

Nasional
Soal Anies Maju Pilkada, PAN: Jangan-jangan Enggak Daftar Lewat Kami

Soal Anies Maju Pilkada, PAN: Jangan-jangan Enggak Daftar Lewat Kami

Nasional
Kontras: 26 Tahun Reformasi, Orde Baru Tak Malu Menampakkan Diri

Kontras: 26 Tahun Reformasi, Orde Baru Tak Malu Menampakkan Diri

Nasional
Dilaporkan Ke Polisi, Dewas KPK: Apakah Kami Berbuat Kriminal?

Dilaporkan Ke Polisi, Dewas KPK: Apakah Kami Berbuat Kriminal?

Nasional
KPK Sita Mobil Mercy di Makassar, Diduga Disembunyikan SYL

KPK Sita Mobil Mercy di Makassar, Diduga Disembunyikan SYL

Nasional
Anggota Komisi X Usul UKT Bisa Dicicil, Kemendikbud Janji Sampaikan ke Para Rektor

Anggota Komisi X Usul UKT Bisa Dicicil, Kemendikbud Janji Sampaikan ke Para Rektor

Nasional
PKB-PKS Jajaki Koalisi di Pilkada Jatim, Ada Keputusan dalam Waktu Dekat

PKB-PKS Jajaki Koalisi di Pilkada Jatim, Ada Keputusan dalam Waktu Dekat

Nasional
Amnesty Internasional: 26 Tahun Reformasi Malah Putar Balik

Amnesty Internasional: 26 Tahun Reformasi Malah Putar Balik

Nasional
Dilangsungkan di Bali, World Water Forum Ke-10 Dipuji Jadi Penyelenggaraan Terbaik Sepanjang Masa

Dilangsungkan di Bali, World Water Forum Ke-10 Dipuji Jadi Penyelenggaraan Terbaik Sepanjang Masa

Nasional
Kritik RUU Penyiaran, Usman Hamid: Negara Harusnya Jamin Pers yang Independen

Kritik RUU Penyiaran, Usman Hamid: Negara Harusnya Jamin Pers yang Independen

Nasional
Ahli Sebut Struktur Tol MBZ Sulit Diperkuat karena Material Beton Diganti Baja

Ahli Sebut Struktur Tol MBZ Sulit Diperkuat karena Material Beton Diganti Baja

Nasional
DKPP Panggil Desta soal Ketua KPU Diduga Rayu PPLN

DKPP Panggil Desta soal Ketua KPU Diduga Rayu PPLN

Nasional
Anggap Publikasikan Nama Calon Menteri Tidak Tepat, PAN: Tunggu Prabowo Minta Dulu

Anggap Publikasikan Nama Calon Menteri Tidak Tepat, PAN: Tunggu Prabowo Minta Dulu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke