JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengingatkan partai politik agar tak memberi tempat ke mantan narapidana kasus korupsi.
Cukup Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang kini menempatkan mantan terpidana korupsi, Romahurmuziy, ke jabatan struktural partai.
"Kami merekomendasikan kepada seluruh partai politik peserta pemilu tahun 2024 tidak lagi memberikan tempat kepada mantan terpidana korupsi masuk sebagai jajaran struktural partai politik di seluruh Indonesia," kata Kurnia kepada Kompas.com, Selasa (3/12/2022).
Menurut Kurnia, bergabungnya mantan terpidana korupsi ke struktural parpol menggambarkan bahwa institusi partai politik di Indonesia masih permisif dengan praktik korupsi
Namun, dia mengaku tak terkejut dengan langkah PPP menerima kembali Romy lantaran sejak dulu partai cenderung tak mendukung upaya pemberantasan korupsi.
"Partai politik sejak dulu memang tidak berpihak pada penguatan pemberantasan korupsi," ujarnya.
Padahal, kata Kurnia, korupsi merupakan kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. Konsekuensinya, penanganannya tidak bisa dengan cara biasa.
Tak hanya penegakan hukum di persidangan dan lembaga pemasyarakatan, setelah terpidana bebas, harus ada pemberian efek jera tambahan, yakni tidak diperkenankan masuk wilayah politik.
Selain itu, kata Kurnia, partai politik bukan institusi swasta. Menurut Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik, parpol dikategorikan sebagai badan publik.
Jika merujuk Pasal 34 Ayat (1) huruf c Undang-Undang tentang Partai Politik, disebutkan peran serta negara, bahwa keuangan parpol bersumber dari bantuan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Dengan logika tersebut, partai politik semestinya mempertimbangkan aspek atau nilai-nilai di masyarakat ketika hendak menerbitkan kebijakan atau mengambil tindakan terkait pemberantasan korupsi.
"Apalagi kalau mengangkat mantan terpidana korupsi sebagai jajaran struktural partai politik tersebut," ujar Kurnia.
Menurut Kurnia, tujuan itu tak mungkin tercapai jika masih menempatkan mantan terpidana korupsi dalam jajaran struktural partai politik.
Tak hanya itu, Pasal 11 Ayat (1) huruf a juncto Pasal 13 huruf e juncto Pasal 31 Ayat (1) UU Partai Politik menyebutkan bahwa fungsi parpol adalah sebagai sarana pendidikan politik, tidak hanya bagi anggotanya, tetapi juga untuk masyarakat.
"Bagaimana mungkin mereka akan mendidik masyarakat dengan konteks politik berintegritas jika mereka tidak bisa memberikan contoh yang baik ketika memberikan karpet merah kepada mantan terpidana korupsi untuk masuk ke jajaran struktural partai politik," kata Kurnia.
Sebelumnya, beredar kabar bahwa Romahurmuziy kembali ke PPP dan mendapat posisi strategis sebagai Ketua Majelis Pertimbangan DPP PPP periode 2020-2025. Kabar ini pun dibenarkan oleh Ketua DPP PPP Achmad Baidowi.
Awiek, demikian sapaan akrab Achmad Baidowi, menyebut bahwa partainya telah mempertimbangkan matang-matang keputusan untuk menerima kembali Romy, bahkan menempatkan mantan terpidana korupsi itu di jabatan strategis partai.
"Pertama, beliau sudah bebas sejak 3 tahun yang lalu, sudah 3 tahun yang lalu ini sudah bebas. Berdasarkan putusan kasasi beliau hanya divonis satu tahun," kata Awiek kepada Kompas.com, Senin (2/1/2023).
Alasan lainnya, kata Awiek, putusan pengadilan tidak mencabut hak politik Romy. Sebab, Romy hanya dituntut hukuman 4 tahun, sementara pencabutan hak politik dijatuhkan ke tersangka dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun.
Adapun Romahurmuziy terjerat kasus korupsi jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama (Kemenag) pada 2019 lalu.
Romy, demikian sapaan akrabnya, divonis 2 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Setelah menjalani masa hukiman, dia menghirup udara bebas pada April 2020.
https://nasional.kompas.com/read/2023/01/03/17511481/berkaca-kasus-romahurmuziy-partai-politik-diminta-tak-beri-tempat-ke-mantan