Salin Artikel

"Quo Vadis" Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat?

Berdasarkan catatan akhir tahun AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) 2021, terdapat sekitar 103.717 jiwa masyarakat adat di Indonesia yang mengalami konflik ruang hidup. Sebagian besar di antaranya terancam digusur dari tanah kelahirannya. Situasi  ini tentu mengenaskan.

Tahun 2020 AMAN mencatat bahwa ada sekitar 70 juta anggota masyarakat Adat yang terbagi menjadi 2.371 komunitas adat dan tersebar di 31 provinsi. Mereka telah eksis lama, jauh sebelum Indonesia merdeka.

Hingga detik ini mereka masih berpegang teguh serta melestarikan nilai-nilai, pengetahuan, dan peradaban warisan leluhurnya. Meski begitu secara politik dan hukum, upaya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat tampaknya masih minim.

Indonesia belum memiliki undang-undang tentang masyarakat adat, pengakuan eksistensinya dalam konstitusi, khususnya Pasal 18b ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dirasa masih setengah hati.

Ini dapat dilihat dalam rumusan pasal tersebut yang menyatakan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Rumusan pasal itu problematik, mengingat pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat adat bisa dilakukan sejauh dianggap “masih hidup”, dan “sesuai perkembangan masyarakat”.

Artinya, masyarakat adat hanya bisa diakui dan dihormati dengan menggunakan kacamata eksternal atau sudut pandang orang lain di luar masyarakat adat itu sendiri. Pengakuan terbatas hanya diberikan kepada masyarakat adat yang dianggap masih hidup. Artinya, hanya komunitas masyarakat adat yang tersisa dan eksis hingga saat ini yang diakui.

Di sisi lain, dalam studi antropologi masyarakat adat, terdapat kecenderungan “kembang kempis” pada eksistensi masyarakat adat.

Dalam satu fase, bisa jadi eksistensi masyarakat tersebut melemah bahkan menghilang untuk beberapa saat. Namun di fase kemudian, eksistensinya justru lahir kembali dan menguat karena berbagai macam faktor.

Misalnya karena faktor terbentuknya suatu komunitas warga yang baru merumuskan pakem-pakem adatnya tersendiri dalam satu teritori tertentu, atau ada komunitas warga yang menggali nilai-nilai ajaran leluhurnya dan mencoba menghidupkannya kembali, ataupun karena faktor lainnya.

Kecenderungan-kecenderungan ini yang tak terbaca oleh konstitusi Indonesia saat hendak mengakui keberadaan masyarakat adat.

Selain itu, masyarakat adat baru bisa diakui dan dihormati sejauh dianggap “sesuai dengan perkembangan masyarakat”. Tidak ada indikator yang jelas terkait apa yang dimaksud sebagai “perkembangan masyarakat”.

Bila yang dimaksud adalah perkembangan dalam artian masyarakat modern dan industrial, maka itu artinya sama dengan membunuh jati diri masyarakat adat yang pada dirinya memang tegas tidak menjadikan nilai-nilai modernisme dan industrialisme sebagai pegangan kehidupan sehari-harinya.

Ironisnya di saat yang bersamaan pada saat ini, masyarakat adat diposisikan sebagai “objek atau barang antik dan kuno”, alias sebagai barang koleksi semata. Ini terjadi khususnya dalam konteks bisnis industri pariwisata, di mana warisan budaya dan peradaban masyarakat adat dieksploitasi dan dijadikan sebagai barang tontonan dan jualan bagi wisatawan manca negara khususnya.

Namun spirit terdalam yang eksis dalam masyarakat adat seperti nilai-nilai kearifan lokal, penghormatan terhadap leluhur, lingkungan hidup dan alam semesta, kultur gotong royong, perihal adab-adaban, dan sebagainya, tidak dilirik dan didalami sama sekali. Padahal hal-hal tersebut merupakan tatanan dan tuntunan yang eksis di masyarakat adat.

Perlahan-lahan ia justru dihabisi secara halus baik melalui operasi pembangunan oleh negara, ekspansi syiar-syiar agama dan budaya modern ke pedalaman komunitas adat, ataupun lewat ekspansi bisnis korporasi.

Selandia Baru, Kanada, beberapa negara di Amerika Latin merupakan negara-negara yang dapat dianggap paling maju saat ini dalam menelurkan kebijakan pengakuan dan perlindungan hukum masyarakat adat.

Negara-negara tersebut selain mengakui secara konsekuen keberadaan masyarakat adat di level konstitusi maupun undang-undang (act), juga membuat serangkaian kebijakan lainnya yang berhubungan dengan isu ini. Misalnya terkait perlindungan warisan budaya dan ruang hidupnya, ajaran leluhurnya, institusi sosialnya, bahkan mengarusutamakan pembahasan mengenai masyarakat adat di universitas-universitas dengan adanya berbagai fakultas maupun program studi terkait masyarakat adat.

Selandia Baru juga memberikan proteksi yang penuh terhadap ruang hidup maupun warisan budaya masyarakat adat. Mereka juga memberikan porsi khusus (semacam kebijakan afirmasi) bagi perwakilan komunitas masyarakat adat untuk menduduki porsi khusus di parlemen, mengingat banyak dari kebijakan-kebijakan pemerintah dan industri ternyata yang bersinggungan dengan masyarakat adat.

Kondisi itu berkebalikan dengan di Indonesia, di mana agenda pengakuan politik dan hukum atas eksistensi masyarakat adat justru jalan di tempat. Warisan nilai, ajaran, dan pengetahuan warisan leluhurnya terus tergerus. Sirkulasi pengetahuan di institusi-institusi pendidikan tinggi hari ini pun relatif masih didominasi oleh akselerasi dunia industri, kapitalisme, serta kepentingan politik keagamaan tertentu.

Sebagai contoh dapat dilihat dari banyaknya universitas, institut, maupun sekolah tinggi yang menggunakan embel-embel identitas agama tertentu, mengkaji pengetahuan keagamaan, dan mendapatkan sokongan dana yang besar dari anggaran publik. Di sisi lain, hingga saat ini tidak ada universitas adat Nusantara di Indonesia, juga tidak banyak mahasiswa, peneliti, maupun dosen yang mau secara konsisten memperkuat dan mengarusutamakan pengetahuan masyarakat adat di level institusi akademik.

Disadari atau tidak, pada akhirnya masyarakat adatlah yang merupakan penjaga gawang terakhir dalam universe yang disebut sebagai Indonesia maupun Nusantara. Mereka adalah komunitas yang konsisten mempertahankan ajaran dan nilai warisan leluhur Nusantara hingga detik ini, yang kuat akan ajaran spiritualisme, ramah terhadap keberagaman, kaya akan kreasi estetikanya, sekaligus hormat terhadap tatanan lingkungan hidup yang lestari.

https://nasional.kompas.com/read/2022/10/28/10254851/quo-vadis-pengakuan-dan-perlindungan-masyarakat-adat

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke