JAKARTA, KOMPAS.com - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mendesak Presiden Joko Widodo tidak menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) untuk pengangkatan Hakim Konstitusi pilihan DPR, Guntur Hamzah, pengganti Aswanto.
Peneliti PSHK, Agil Oktaryal menilai, pemberhentian Aswanto melanggar hukum dan cacat. Hal ini bertentangan dengan Pasal 87 huruf b UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
DPR, menurutnya, tidak memiliki wewenang untuk mencopot dan mengangkat hakim konstitusi. Dewan hanya berwenang untuk mengusulkan hakim konstitusi.
"Mendesak Presiden tidak keluarkan Keppres soal pengangkatan Guntur Hamzah selaku hakim konstitusi karena bertentangan dengan UU MK (Mahkamah Konstitusi) dan putusan MK," kata Agil dalam diskusi media di Jakarta, Senin (3/10/2022).
Ia menyebut, pencopotan Aswanto berbenturan dengan pasal 87 huruf b UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Beleid itu mengatur, hakim konstitusi yang sedang menjabat dan dianggap memenuhi syarat mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 tahun, atau tidak lebih dari 15 tahun selama keseluruhan masa tugasnya.
Ketentuan ini sekaligus menghapus periodisasi jabatan hakim konstitusi. UU itu pun diperkuat dalam Putusan MK 96/2020 yang menyatakan bahwa pasal 89 itu konstitusional dan bisa diterapkan untuk hakim yang menjabat sekarang.
Dalam konteks masa jabatan Aswanto, seharusnya ia mengakhiri masa tugas pada 21 Maret 2029 atau setidaknya hingga 17 Juli 2029 saat genap berusia 70 tahun.
Namun, DPR mencopotnya dengan alasan Aswanto kerap menganulir atau banyak membatalkan produk legislasi DPR, padahal ia merupakan wakil DPR.
"Ketika hakim konstitusi menganulir sebuah UU, artinya hakim yang bersangkutan sudah benar pekerjaannya, karena dia menegakkan konstitusi, dan kemudian menafsirkan UU tersebut agar tidak bertentangan dengan konstitusi," jelas Agil.
Agil mangaku heran Aswanto dicopot dari jabatan hakim konstitusi. Sebab, Aswanto tidak melakukan perbuatan tercela, tidak melanggar hukum, maupun tidak melanggar kode etik yang bersifat berat.
Kalaupun melakukan perbuatan tercela, pencopotan hakim konstitusi biasanya diproses melalui Mahkamah Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK). Dalam prosesnya, hakim diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan diri.
Jika diputus bersalah, MK yang akan memecatnya sendiri berdasarkan hasil putusan dari MKHK, bukan DPR. Keputusan MK kemudian diteruskan kepada Presiden untuk dikeluarkan Keppres.
"Poinnya adalah proses yang terjadi menunjukkan bahwa DPR ingin menambah kekuasaan. Kalau selama ini DPR diberikan kewenangan untuk mengusulkan hakim konstitusi, di praktek kemarin mereka ingin menambah kewenangan. Tidak hanya mengusulkan, tapi juga memberhentikan," beber Agil.
Selain meminta Jokowi tidak mengeluarkan Keppres, PSHK juga meminta presiden memerintahkan Aswanto kembali menjabat sebagai hakim konstitusi sesuai dengan UU MK.
Lalu, mendesak Presiden dan Mahkamah Agung sebagai lembaga pengusul hakim konstitusi tidak melakukan pelanggaran hukum yang sama dengan DPR, dan mendesak DPR untuk mencabut keputusan pemberhentian Aswanto sebagai hakim konstitusi.
Kemudian, menolak revisi keempat UU MK yang memperluas kewenangan lembaga pengusul hakim konstitusi untuk dapat mengevaluasi atau memberhentikan hakim konstitusi di tengah masa jabatan, serta mendesak agar pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi dilakukan berdasar ketentuan UU MK, transparan, partisipatif, dan akuntabel.
Sebelumnya diberitakan, Hakim Konstitusi Aswanto diberhentikan oleh DPR. Aswanto digantikan oleh Guntur Hamzah yang merupakan Sekretaris Jenderal MK. Pengangkatan Guntur sendiri dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR di Jakarta, Kamis (29/9/2022).
Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Wuryanto, menyebut kinerja Aswanto mengecewakan. Menurut dia, Aswanto terlalu banyak membatalkan produk legislasi DPR. Itu sebabnya Aswanto dicopot dari jabatannya.
Bambang Wuryanto juga menganalogikan hubungan antara hakim konstitusi dan DPR seperti hubungan antara direksi perusahaan dan pemilik perusahaan. Selaku pemilik perusahaan, DPR berhak mengendalikan hakim MK.
"Tentu mengecewakan dong. Ya gimana kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia, dia wakilnya dari DPR. Kan gitu toh," tutur Bambang.
https://nasional.kompas.com/read/2022/10/03/20575071/jokowi-didesak-tak-teken-keppres-pengangkatan-hakim-guntur-hamzah-pengganti