Salin Artikel

Orangtua Dipenjara, Bagaimana dengan Anak Mereka?

Kecaman beramburan terkait narasi saya tentang pemberian perlindungan khusus bagi anak-anak FS dan PC, dua pelaku utama dalam tragedi Duren Tiga Berdarah.

Ini hanya satu dari sekian banyak aktivitas Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) yang dinilai negatif oleh sejumlah kalangan.

Beberapa tahun lalu, serbuan kritik tajam juga saya terima saat mengunjungi kediaman Habib Rizieq Shihab pascakejadian km 50.

Kunjungan itu saya lakukan guna melihat langsung kondisi cucu-cucu Habib Rizieq Shihab yang dikabarkan juga berada di salah satu kendaraan saat pihak kepolisian melakukan pemantauan terhadap keberadaan Habib Rizieq Shihab.

Berlanjut ke sekian tahun sebelumnya, pandangan miring juga diarahkan ke saya setelah saya mengunjungi TK yang didirikan oleh terduga teroris, almarhum Siyono, di Klaten.

Menerima kabar bahwa operasi Densus 88 berlangsung keras di hadapan anak-anak di TK tersebut, sulit bagi saya untuk tutup mata terhadap kemungkinan anak-anak itu ikut terdampak akibat operasi tersebut.

Tiga ilustrasi kasus di atas, tentu, tidak saya maksudkan sebagai kisah heroik. Semata-mata sebagai ekspresi kepedulian saya pada nasib anak-anak yang bisa dikatakan tak sungguh-sungguh berada dalam jangkauan undang-undang.

Terhadap anak-anak dengan status korban, UU Perlindungan Anak memuat rincian pengaturannya dalam sekian banyak pasal. Terhadap anak-anak sebagai pelaku, tersedia UU Sistem Peradilan Pidana Anak.

Namun terhadap anak-anak dari terduga, tersangka, atau pun pelaku pidana, tidak atau belum tersedia UU khusus.

Pada satu sisi, wujud kepedulian memang tidak harus dituangkan ke dalam UU khusus (lex specialis). Tapi pada sisi lain, imbasnya adalah seolah anak-anak dari pelaku pidana boleh diabaikan begitu saja. Penyikapan sedemikian rupa jelas harus dikoreksi.

Walaupun yang bermasalah dengan hukum dan masuk ke penjara adalah orangtua mereka, namun anak-anak dari para narapidana itu sangat mungkin mengalami penderitaan yang tidak ringan.

Kehidupan mereka seakan ikut terpenjara. Raga memang bebas, namun batin mereka terkungkung dalam jeruji yang tidak kasat mata.

Kondisi anak-anak yang ikut sengsara seiring pemenjaraan yang ditimpakan ke orangtua mereka, diistilahkan sebagai pemenjaraan sekunder (secondary prisonization).

Berapa banyak anak-anak Indonesia yang orangtuanya saat ini menjalani hukuman badan di dalam penjara, saya tidak memiliki data mutakhir tentang itu.

Di Amerika Serikat, diperkirakan antara 2,7 juta hingga 5 juta anak terpisah karena orangtua mereka dipenjara. Angka itu setara dengan sekitar 7 persen dari total jumlah anak-anak di negeri Paman Sam.

Di Indonesia, selama masih mengedepankan penanganan litigasi untuk masalah pidana, diperkirakan jumlah narapidana akan terus meninggi.

Semakin banyak warga yang masuk dalam penjara, dapat dinalar semakin banyak pula jumlah anak-anak yang terpisah dari orangtua mereka yang berstatus sebagai warga binaan itu.

Anak-anak itu, bisa dibayangkan, rentan menjadi sasaran stigmatisasi dan diskriminasi akibat status orangtua mereka.

Dan ilmu psikologi percaya betul, sebagai bentuk serangan psikologis dan sanksi sosial, stigmatisasi berdampak—paling tidak—sama seriusnya dengan serangan fisik terhadap anak.

Beruntung bahwa, dalam konteks perlindungan khusus, UU Perlindungan Anak menempatkan anak-anak semacam itu dalam kategori tersendiri.

Yakni, perlindungan khusus bagi anak-anak yang mengalami stigmatisasi dan labelisasi akibat perbuatan orangtua mereka.

Bentuk perlindungan khususnya adalah konseling, pendampingan sosial, dan rehabilitasi sosial. Perlindungan khusus itu merupakan kewajiban sekaligus tanggung jawab yang dipikulkan ke pemerintah pusat, pemerintah daerah dan lembaga negara lain.

Kenapa malah Kak Seto?

Itu salah satu pertanyaan yang diajukan ke saya. Pertanyaan itu dapat dibenarkan, karena—seperti bunyi pasal dalam UU Perlindungan Anak—saya dan lembaga yang saya pimpinan bukan representasi pemerintah pusat, pemerintah daerah dan lembaga negara lainnya.

LPAI adalah markas besar yang didirikan oleh lembaga-lembaga perlindungan anak yang ada hampir di seluruh provinsi dan kabupaten kota di Indonesia.

Berbeda dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang dibentuk dari atas, LPAI sepenuhnya dibentuk dari bawah.

Pernah menggunakan nama populernya, yakni Komnas Perlindungan Anak atau Komnas Anak, sejak tahun 2016, LPA-LPA dari seluruh penjuru Tanah Air berhimpun dan memutuskan untuk kembali menggunakan nama resmi LPAI sebagaimana tercantum di Kementerian Hukum dan HAM dan terdaftar pula di Kementerian Sosial.

Komnas Perlindungan Anak atau Komnas Anak, sebagai nama populer yang tidak memiliki legalitas apa pun, ditinggalkan.

Tanpa maksud membanding-bandingkan, berbeda dengan KPAI yang lebih banyak berkiprah di ranah kebijakan dan pemantauan, LPAI dimungkinkan bergerak lebih taktis.

Termasuk menangani langsung kasus-kasus perlindungan anak yang berlangsung di tengah masyarakat.

Tentu, kontribusi dalam penyusunan berbagai regulasi—baik di tingkat pusat maupun daerah—tak juga ditinggalkan LPAI.

Diikutsertakannya LPAI dalam forum-forum penyusunan ketentuan formal tak terhindarkan karena LPAI lahir beberapa tahun sebelum KPAI didirikan.

Suatu ketika, LPAI pernah ditawari oleh salah satu presiden untuk dinaikkan kelasnya menjadi lembaga negara. Saya, atas nama LPA-LPA, dengan segala kerendahan hati memilih untuk menggeleng.

Kehormatan dari presiden itu, jika kami terima, kami khawatirkan justru akan sedikit banyak mengurangi kegesitan LPAI.

Karena memiliki ruang untuk terjun langsung ke lapangan, tak terelakkan bahwa LPAI pada akhirnya memang akan sangat mungkin masuk ke dalam pusaran pro kontra.

Intimidasi menjadi risiko harian. Dilaporkan ke polisi juga dialami oleh para pengurus LPAI. Termasuk, yang terkini, adalah hujatan karena LPAI ikut masuk dalam kasusnya FS dan PC.

Dan kebetulan karena saya sendiri yang masuk ke arena itu, maka “kenyang” sudah saya ditimpuki kalangan yang antipati.

Secara internal, LPAI memandang atensi negara terhadap pasal-pasal perlindungan khusus masih harus ditingkatkan.

Lebih spesifik lagi terkait perlindungan khusus bagi anak-anak dari para warga yang tengah berkonflik dengan hukum.

Anak-anak itu, sekali lagi, berisiko tinggi mengalami perlakuan diskriminatif dari masyarakat dan bahkan—menyedihkan—dari alat-alat negara sendiri.

Alhasil, sama sekali tidak tepat jika kedatangan LPAI ke Magelang untuk menemui anak-anak FS dan PC dimaknai sebagai aksi cari panggung.

Ini adalah kasus kesekian di mana LPAI, selaku representasi masyarakat, justru tengah menakar serta menagih seberapa jauh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya benar-benar memiliki kesiapan dan kesediaan untuk melaksanakan kewajiban sekaligus tanggung jawab mereka dalam memberikan perlindungan khusus.

Apalagi setelah bulan Juli lalu, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpres 101/2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak, LPAI khawatir bahwa Perpres itu pun tidak menjangkau anak-anak dari para narapidana.

Perpres itu, sebagaimana juga mindset kebanyakan masyarakat, masih melihat anak terbatas pada dua posisi: korban atau pelaku.

Bahwa Mabes Polri serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak turut menyertakan utusannya langsung dari Jakarta ke Magelang, semoga itu juga dilakukan dalam rangka memastikan kesiapan Polda, Polres, dan kantor dinas terkait terjun selaku first responder.

Langkah serupa hendaknya juga dilakukan di seluruh Indonesia. Hanya dengan kerja terprogram sedemikian rupa, terjun langsungnya pemerintah pusat ke daerah (dalam hal ini, Magelang) tidak akan bersifat hit and run semata. Ini menjadi misi pengimplementasian perlindungan khusus secara terstruktur dan lintas lembaga.

Sebagai penutup, saya terkenang pada sebutan ‘pemasyarakatan’ sebagai filosofi penghukuman yang dianut Indonesia.

Sebutan itu bersinonim dengan reintegrasi. Bagi LPAI, bukan hanya para narapidana (baca: warga dewasa) yang berkepentingan akan pemasyarakatan itu.

Anak-anak mereka, yang mengalami pemenjaraan sekunder, pun membutuhkan perhatian agar tetap bisa menjadi bagian dari masyarakat di lingkungan mereka tinggal.

Titik berangkatnya hanya butuh satu kesamaan persepsi: ketika orangtua dibui, anak-anak mereka tetap harus dikasihi.

https://nasional.kompas.com/read/2022/08/27/06000031/orangtua-dipenjara-bagaimana-dengan-anak-mereka

Terkini Lainnya

Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Nasional
Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Nasional
Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Nasional
Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Nasional
Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Nasional
Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Nasional
Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Nasional
Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Nasional
Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Nasional
Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Nasional
KIP: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Kita Sedang-sedang Saja

KIP: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Kita Sedang-sedang Saja

Nasional
Digelar di Bali Selama 8 Hari, Ini Rangkaian Kegiatan World Water Forum 2024

Digelar di Bali Selama 8 Hari, Ini Rangkaian Kegiatan World Water Forum 2024

Nasional
Golkar Resmi Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Golkar Resmi Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Nasional
Fahira Idris: Jika Ingin Indonesia Jadi Negara Maju, Kuatkan Industri Buku

Fahira Idris: Jika Ingin Indonesia Jadi Negara Maju, Kuatkan Industri Buku

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke