Salin Artikel

Tiga Sasaran Optimalisasi Diversi Dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak

Dalam bahasa seminar yang diadakan Badan Keahlian DPR RI belum lama ini, perlu dilakukan optimalisasi pendampingan bagi anak-pelaku.

Pertanyaannya, aspek apa pada UU tersebut yang patut dioptimalisasi?

Menurut saya, setidaknya, perlu dilakukan pengujian terhadap tiga hal di seputar keberadaan UU SPPA.

Optimalisasi, sudah barang tentu diprioritaskan pada hal-hal yang masih menjadi persoalan.

Sedangkan pada area yang sudah mencapai sasaran, optimalisasi bukanlah agenda mendesak yang harus dilakukan.

Pertama, terkait residivisme. UU SPPA memberikan privilese kepada anak-pelaku dengan kriteria tertentu untuk diperlakukan lewat pendekatan diversi (non litigasi).

Konkretnya, anak-anak yang telah melakukan perbuatan pidana dengan ancaman di bawah tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan pidana, proses hukumnya tidak diselenggarakan melalui pendekatan pidana konvensional (penyidikan, penuntutan, persidangan, pemasyarakatan).

Sebagai gantinya, masalah hukum anak-anak tersebut coba ditangani lewat penerapan keadilan restoratif berupa mediasi dan sejenisnya.

Diversi, berdasarkan riset, diketahui berefek positif terhadap rendahnya tingkat residivisme. Artinya, menggembirakan bahwa hanya sedikit sekali anak-anak yang diproses lewat diversi yang kemudian kembali berkonflik dengan hukum.

Untuk itu, sistem peradilan pidana--utamanya Kemenkumham yang membawahi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan--perlu memiliki data tentang tingkat residivisme di kalangan anak-anak yang berkonflik dengan hukum lalu diselesaikan masalahnya melalui keadilan restoratif.

Apabila data justru menunjukkan tidak adanya dampak nyata diversi terhadap tingkat residivisme, maka dibutuhkan optimalisasi pada penyelenggaraan proses diversi dan pemantauan pascadicapainya kesepakatan dari diversi tersebut.

Kedua, terkait penganggaran. Sekian banyak penelitian menyimpulkan adanya efisiensi anggaran besar-besaran sebagai manfaat yang diperoleh sistem peradilan pidana anak ketika pendekatan diversi--alih-alih mekanisme pidana konvensional--dikedepankan.

Apalagi ketika dimensi kesehatan, pendidikan, dan dimensi-dimensi selain hukum lainnya juga disertakan sebagai variabel penghitungan biaya, penghematan anggaran menjadi lebih besar lagi.

Efisiensi anggaran sedemikian rupa seyogianya juga berlangsung di sini, sebagai konsekuensi diterapkannya diversi terhadap anak-anak yang berkonflik dengan hukum.

Sebaliknya, apabila selisih anggaran antara diversi dan non diversi ternyata tidak terpaut jauh, maka dibutuhkan perancangan ulang untuk mengoptimalkan alokasi anggaran diversi oleh Ditjen Pemasyarakatan.

Ketiga, mengacu riset, kesepakatan tentang besaran ganti rugi dari pelaku kepada korban dan proses pencairannya ternyata lebih mudah dicapai dan dijalankan pada kasus-kasus pidana yang dituntaskan lewat diversi.

Lagi-lagi, dibutuhkan kajian tentang hal yang sama untuk memastikan seberapa jauh keberpihakan pada nasib korban (spesifik terkait restitusi) dapat direalisasikan melalui penyelenggaraan diversi di Tanah Air.

Sekiranya diversi juga diwarnai oleh alotnya upaya mencapai kesepakatan, ditambah lagi dengan berbelit-belitnya pelaku saat memenuhi kewajiban restitusinya, maka ini bukan gambaran tentang manfaat ideal diversi. Ini pula area optimalisasi yang patut didahulukan.

Spesifik pada isu ketiga di atas, optimalisasi tidak mutlak harus dilakukan pada aspek restitusi semata.

Membayangkan bahwa membayar restitusi pun sudah menjadi kesulitan luar biasa yang harus ditunaikan oleh (sebagian) pelaku, maka mungkin perlu dilakukan pergeseran dari restitusi ke kompensasi.

Artinya, ketika terjadi tindak pidana yang korbannya adalah anak-anak (sesuai kriteria UU SPPA), sistem peradilan pidana perlu berpikir tentang keharusan bagi negara (cq. pemerintah) untuk menyegerakan pembayaran ganti rugi.

Kerangka kerja sedemikian rupa merupakan revisi dari praktik yang ada saat ini, di mana restitusi mendahului kompensasi.

Hitung-hitungan di atas kertas, kompensasi mendahului restitusi akan mempersingkat masa penderitaan korban sekaligus memperlekas proses pemulihan dirinya.

Perlunya kesegeraan negara dalam membayar ganti rugi (kompensasi) juga diharapkan akan mendesak negara untuk lebih kuat lagi memastikan perlindungan bagi kelompok-kelompok masyarakat, khususnya anak-anak, dari berbagai bentuk viktimisasi pidana.

Penting untuk dipahami bahwa revisi UU SPPA, dengan fokus pada optimalisasi pendampingan sesuai kebutuhan real (berbasis data) sebagaimana diuraikan di atas, sesungguhnya bukan hanya kebutuhan Kemenkumham.

Polri pun berkepentingan untuk itu, sebagai konsekuensi dari problem solving dan restorative justice yang merupakan salah satu komitmen Kapolri.

Namun khusus pada penyelenggaraan diversi bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum, Kemenkumham (cq. Balai Pemasyarakatan, Bapas) memang memiliki peran penting. Di Bapas-lah sesi-sesi mediasi biasanya diselenggarakan.

Karena itulah Pemerintah sepatutnya memasok anggaran lebih besar bagi Ditjen Pemasyarakatan, yang menaungi Bapas, agar dapat terus-menerus menyempurnakan tahap-tahapan diversi guna mencapai tiga kemanfaatan restorative justice.

Kita ulangi sekali lagi: lewat optimalisasi penyelenggaraan diversi, sebagai pengejawantahan restorative justice, kita mengharapkan tingkat residivisme rendah, penghematan anggaran penegakan hukum, dan lancarnya proses pemulihan kehidupan korban berkat kompensasi dan restitusi yang maksimal. Semoga.

https://nasional.kompas.com/read/2022/07/02/06300051/tiga-sasaran-optimalisasi-diversi-dalam-uu-sistem-peradilan-pidana-anak

Terkini Lainnya

Nasdem dan PKB Dukung Prabowo-Gibran, PAN Sebut Jatah Kursi Menteri Parpol Koalisi Tak Terganggu

Nasdem dan PKB Dukung Prabowo-Gibran, PAN Sebut Jatah Kursi Menteri Parpol Koalisi Tak Terganggu

Nasional
Bilang Jokowi Sangat Nyaman, PAN Janjikan Jabatan Berpengaruh

Bilang Jokowi Sangat Nyaman, PAN Janjikan Jabatan Berpengaruh

Nasional
KPU Godok Aturan Baru Calon Kepala Daerah Pakai Ijazah Luar Negeri

KPU Godok Aturan Baru Calon Kepala Daerah Pakai Ijazah Luar Negeri

Nasional
Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis 'Pernah', Apa Maknanya?

Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis "Pernah", Apa Maknanya?

Nasional
Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Nasional
Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apa Pun

Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apa Pun

Nasional
Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Nasional
Menlu Sebut Judi 'Online' Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Menlu Sebut Judi "Online" Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Nasional
PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi 'Effect'

PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi "Effect"

Nasional
Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

Nasional
Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode sejak Menang Pilpres 2019

Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode sejak Menang Pilpres 2019

Nasional
Ikut Kabinet atau Oposisi?

Ikut Kabinet atau Oposisi?

Nasional
Gugat KPU ke PTUN, Tim Hukum PDI-P: Uji Kesalahan Prosedur Pemilu

Gugat KPU ke PTUN, Tim Hukum PDI-P: Uji Kesalahan Prosedur Pemilu

Nasional
Said Abdullah Paparkan 2 Agenda PDI-P untuk Tingkatkan Kualitas Demokrasi Elektoral

Said Abdullah Paparkan 2 Agenda PDI-P untuk Tingkatkan Kualitas Demokrasi Elektoral

Nasional
Halalbihalal dan Pembubaran Timnas Anies-Muhaimin Ditunda Pekan Depan

Halalbihalal dan Pembubaran Timnas Anies-Muhaimin Ditunda Pekan Depan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke