Situas pandemi, krisis iklim yang menggila, krisis pangan yang menghantam jutaan warga negara di dunia, krisis lanjutan energi yang semakin menekan level kesejahteraan, dan gangguan rantai pasokan telah membawa penderitaan lebih dalam.
Krisis-krisis terebut mengancam dunia pada ambang resesi global.
Karenanya, UNODC mengangkat tema “addressing drug challenges in health and humanitarian crises.”
Dunia sedang dalam posisi bagaimana mengatasi tantangan narkoba dalam krisis kesehatan dan kemanusiaan.
Laporan terbaru UNODC, badan PBB untuk urusan narkoba dan kejahatan, menyebutkan sekitar 494.000 orang dilaporkan meninggal karena berurusan dengan narkoba.
Bahkan yang miris adalah adanya prediksi bahwa peningkatan penduduk yang paling berisiko terhadap penyalahgunaan narkoba akan menimpa negara dengan pendapatan rendah (43 persen).
Sementara negara dengan pendapatan sedang naik sekitar 10 persen dan negara dengan pendapatan tinggi menurun 1 persen.
Dalam konteks regional, Asia Tenggara dan Asia Timur juga terus mengalami keterpaan masalah narkoba karena krisis global dan regional yang terus terjadi.
Myanmar dan negara-negara Mekong lainnya masih menjadi sumber produksi dua jenis narkoba sekaligus, heroin dan methamphetamine (sabu). UNODC menyebutkan 89 persen penyitaan terjadi di kawasan tersebut.
Sementara Indonesia terus dalam posisi terhimpit karena narkoba tidak hanya datang dari kawasan.
Beragam jenis NPS datang silih berganti dari Asia Timur dan Eropa. Sementara narkoba jenis sabu dari Iran juga kembali masuk ke Indonesia.
Setelah kasus terakhir dan satu-satunya kasus yang dilaporkan pada 2016, kasus penyelundupan narkoba dari Iran kembali muncul pada 2020.
Sebanyak tiga kali kasus terjadi di tahun tersebut dengan jumlah narkoba sabu yang disita sebanyak lebih dari 1,5 ton. Sementara tahun lalu, hampir 2 ton sabu disita yang diduga dari Iran.
Jumlah sabu tersebut dapat dikonsumsi oleh lima juta penduduk Indonesia untuk sekali pakai atau lebih dari satu juta penduduk jika digunakan rutin seminggu sekali dalam rentang satu bulan.
Kerumitan peredaran narkoba
Persoalan narkoba semakin hari semakin pelik. Dunia tanpa batas adalah tantangan terbesar karena rantai peredaran narkoba melakukan adaptasi yang hebat dalam transaksi komunikasi dan keuangan.
Sementara upaya penyelundupan narkoba sangat dinamis dan sulit untuk dipantau lebih dini. Pemantauan dengan peralatan canggih sekalipun, misalnya di bandara, tetap dapat ditembus oleh penyelundup narkoba.
Pada awal bulan ini, saya bertemu dengan salah satu penerima paket narkoba sabu dari Sumatera Utara ke Jakarta. Paket tersebut dikirim melalui jasa ekspedisi ternama.
Katanya, ini adalah paket kedelapan. Tujuh paket sebelumnya sudah tersebar kepada para penyalahguna.
Hanya satu dari delapan kali pengiriman paket terdeteksi narkoba oleh pihak ekspedisi atau otoritas bandara.
Artinya, teknologi deteksi narkoba di area yang dianggap paling aman sekalipun faktanya dapat ditembus.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Ratusan kasus pencegatan di bandara Indonesia terhadap beragam jenis narkotika dari luar negeri oleh petugas Bea dan Cukai juga menunjukkan proses pemantauan narkoba di bandara asal tidak berjalan dengan baik.
Muara dari kerumitan ini sebenarnya karena permintaan yang tidak pernah berkurang.
Ancaman depresi ekonomi global tidak membuat penyalahguna berhenti dari penggunaan narkoba. Sifat adiksi dari narkoba telah menjerat saraf mereka.
Para penyalahguna akan terus mencari cara bagaimana mendapatkan narkoba dengan aman. Selain mendapatkan suplai dari orang dekatnya, mereka juga kerap mencari narkoba dari daerah-daerah rawan narkoba seperti kampung narkoba atau tempat hiburan malam.
Belakangan, seperti yang juga dirilis oleh UNODC, aktivitas transaksi jual-beli kerap terjadi melalui media online baik media sosial atau situs gelap (dark web) yang tidak dapat dipantau oleh otoritas berwenang.
Penelitian terhadap media sosial yang saya lakukan dan dipublikasikan oleh BNN pada tahun lalu menunjukkan hasil mencengangkan.
Follower akun-akun tersebut berjumlah antara tiga ribu hingga dua puluh ribuan. Mereka tidak sungkan menawarkan narkoba melalui fitur DM akun yang saya kelola.
Aktivitas-aktivitas tersebut berada di ruang-ruang gelap, ruang klandestin. Ruang gelap tersebut berbanding lurus dengan gelapnya petugas membongkar kasus-kasus penyelundupan narkotika.
Peluang membongkar sisi gelap dari peredaran narkoba tetap terbuka sebagaimana hasil penyitaan yang hingga hari ini terus dilakukan.
Mengejar aset pelaku
Perang terhadap narkoba, bagaimanapun kondisinya harus terus dilakukan. Situasi konflik semakin dalam jika tanpa upaya meredam persoalan narkoba ini dengan serius seperti yang terjadi di negara-negara di Amerika Selatan, Asia Selatan, atau di negara-negara Mekong.
Pendekatan dalam membongkar kasus narkoba sudah saatnya bergeser dari menyita narkoba menjadi menyita aset para pelaku.
Transaksi keuangan memang dinamis dan beragam mata uang digital membuat otoritas kesulitan mendeteksi secara sempurna.
Namun, uang-uang digital pada akhirnya harus dicairkan dan dibelanjakan dalam bentuk ril berupa aset, properti, saham, atau bahkan mata uang tradisional. Di sinilah petugas dapat melakukan penyelidikan lebih jauh.
Pemilik aset yang tidak logis dengan jumlah kekayaan yang dimilikinya adalah pintu masuk untuk menelusuri asal muasal kekayaan tersebut.
Begitu juga dengan pengembangan ribuan kasus-kasus narkoba yang sudah diungkap oleh BNN dan Polri.
Sebagai contoh progresif, bulan lalu Kejaksaan Distrik Massachusetts merilis informasi bahwa sekitar 20 orang yang berlokasi di Kolombia, Jamaika dan Florida telah didakwa di Boston.
Dakwaan dilakukan atas dugaan keterlibatan mereka dalam organisasi pencucian uang internasional lebih dari 6 juta dollar AS hasil perdagangan narkoba dari kartel Kolombia melalui sistem perbankan Amerika Serikat, Karibia dan Eropa.
Langkah-langkah tersebut patut ditiru secara prioritas karena tujuan utama perdagangan narkoba umumnya adalah menumpuk kekayaan.
Ton-tonan narkoba sabu yang mengalir ke Indonesia dari luar negeri tentu berbanding lurus dengan triliunan rupiah yang mengalir ke luar negeri.
Triliunan rupiah tersebut adalah angka yang menarik untuk terus ditelusuri. Barangkali, uang tersebut dapat digunakan untuk membantu korban penyalahgunaan narkoba rutin pakai di Indonesia yang jumlahnya mencapai lebih dari 3,6 juta jiwa sebagaimana yang dirilis oleh BNN.
Perang terhadap narkoba tampaknya tidak akan pernah usai. Namun, beragam pendekatan untuk meredam aksi kejahatan narkoba dan variannya tidak boleh didiamkan, serumit apapun.
Perlu ada upaya kreatif untuk menekan laju penyalahgunaan narkoba di Indonesia. Kita perlu kerja cepat, kerja hebat, untuk berantas narkoba di Indonesia.
https://nasional.kompas.com/read/2022/06/26/14161491/kerumitan-perang-melawan-narkoba