Hal itu disampaikan Wamenkumham dalam acara pertemuan dengan media di Kemenkumham, Selasa (22/2/2022).
"Dalam RUU itu, penyelesaian kekerasan tindak pidana seksual tidak boleh menggunakan pendekatan restorative justice, tidak boleh," ujar Eddy Hiariej, sapaan Wamenkumham.
Hal itu, menurutnya, untuk menghindari upaya-upaya penyelesaian dengan uang.
Ia menyebutksn, banyak contoh kasus kekerasan seksual yang selesai dengan pemberian sejumlah uang tanpa adanya proses hukum.
"Mengapa tidak boleh, ini sering kali terjadi, di mana-mana, mohon maaf ya karena pelakunya itu orang berduit, korbannya orang tidak mampu, diperkosa, dicabuli segala macem dikasih uang selesai perkaranya, dianggap restorative justice, itu enggak boleh," tegas Eddy.
Eddy juga memastikan, dalam RUU TPKS juga diatur bawa aparat penegak hukum tidak bisa menolak perkara kekerasan seksual.
Aturan itu, ujar dia, dibuat untuk memastikan penyidik dapat terus memproses perkara yang berhubungan dengan kekerasan seksual.
"Ada ketentuan di dalam RUU itu bahwa penyidik wajib memproses, jadi dia tidak boleh menolak perkara, dia wajib memproses," ucap Eddy
"Bahwa nanti tidak cukup bukti dan lain sebagainya itu different story," kata dia.
Wamenkumham menuturkan, untuk mempermudah penegak hukum memproses kasus dugaan kekerasan seksual, dalam RUU ini juga diatur bahwa barang bukti bisa menjadi alat bukti.
"Satu saksi dengan alat bukti sudah cukup untuk memproses, itu diatur, keterangan korban dan alat bukti lain sudah cukup. Keterangan disabilitas sudah sama dengan alat bukti lainnya," kata Eddy.
"Barang bukti masuk menjadi alat bukti. Kalau dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) barang bukti dan alat bukti itu dua hal berbeda," ucap dia.
Eddy menjelaskan, dalam KUHAP barang bukti dijelaskan pada Pasal 39, sedangkan, alat bukti ada pada pasal 284 KUHAP.
"Tapi di dalam RUU ini, alat bukti itu adalah antara lain barang bukti," ujar dia.
Eddy mencontohkan, barang bukti bisa dijadaikan alat bukti pada kasus pemerkosaan. Misalnya, pelaku pemerkosaan tidak mengakui perbuatan yang telah dilakukan.
Dalam konteks itu, aparat penegak hukum bisa menjadikan barang bukti di tempat kejadian untuk menjadi alat bukti kasus tersebut.
"Jadi mohon maaf, korban pemerkosaan misalnya, ya saksinya itu kan enggak ada orang lain selain korban, kemudian si pelakunya mengelak bahwa dia tidak memperkosa. Nah, nanti kan ada visum (yang bisa dijadikan alat bukti)," kata Eddy.
"Mohon maaf, pada saat terjadi pemerkosaan itu sperma itu (misalnya) tercecer di sprei, itu sudah cukup tuh, sprei itu jadi barang bukti kan karena barang bukti masuk dalam alat bukti," kata dia.
Dia memastikan bahwa RUU TPKS tidak akan tumpang tindih dengan undang-undang lain. Eddy mengatakan, pemerintah telah menyandingkan aturan yang ada di RUU TPKS dengan berbagai aturan yang telah ada sebelumnya.
"Ketika menyusun RUU TPKS ini, kami menyandingkan dengan berbagai aturan. Baik yang ada dalam rancangan maupun undang-undang existing," ujar Eddy.
Eddy menyampaikan, pasal-pasal dalam RUU TPKS telah memasukan aturan yang ada di dalam KUHAP. Selain itu, RUU itu juga telah memuat empat UU yang ada, seperti Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-Undang Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Kemudian, ada juga Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Perlindungan Anak.
https://nasional.kompas.com/read/2022/02/23/08321831/wamenkumham-dalam-ruu-tpks-penyelesaian-kekerasan-seksual-tak-bisa-pakai