Beberapa pihak menyuarakan penolakan terhadap beleid yang disahkan pada tanggal 4 Februari 2021 tersebut.
Bahkan muncul petisi berjudul: Gara-gara aturan baru ini, JHT tidak bisa cair sebelum 56 tahun.
Sejauh ini petisi yang ditujukan kepada Menteri Tenaga Kerja tersebut telah ditandatangi oleh ratusan ribu orang.
Yang menarik justru penolakan juga disuarakan oleh beberapa anggota Komisi IX DPR RI, yang mengklaim tidak dilibatkan dalam upaya perumusan peraturannya.
Situasi ini perlu untuk dicermati dan direspons secara bijaksana. Mengingat begitu banyak pihak yang ikut-ikutan menyuarakan penolakan tanpa memiliki informasi yang jelas dan data akurat sehingga narasi yang berkembang cenderung bersifat memanas-manasi.
Perumusan
Perlu dijelaskan di sini bahwa setiap regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah tidak berdiri sendiri.
Ada tela’ah, ada kajian dan diskusi yang di dalamnya melibatkan berbagai pihak berkepentingan.
Dalam hal proses perumusan Permenaker nomor 2 Tahun 2022, misalnya, tidak tepat bila terdapat opini yang menyatakan bila anggota Komisi IX DPR RI tidak diajak bicara.
Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 sebagai perubahan atas Permenaker sebelumnya muncul dari desakan Komisi IX DPR RI, yang merujuk pada salah satu poin tentang kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dilakukan pada tanggal 28 September 2021.
Kesimpulan Rapat itu tercantum dalam Laporan Singkat Rapat Komisi IX DPR RI yang ditandatangani langsung oleh Ketua Rapat H. Anshory Siregar, Lc (Wakil Ketua Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKS).
Adapun peserta dalam RDP yang digelar secara hybrid tersebut sudah memenuhi kuorum dan melibatkan pihak-pihak terkait, dengan rincian sebagai berikut:
Pelibatan sejumlah pihak terkait memperlihatkan bahwa perubahan peraturan terbaru ini menguatkan partisipasi publik dan memberikan legitimasi formal dari sisi metodologi.
Karenanya, tidak benar bila dalam perumusan Permenaker nomor 2 Tahun 2022 mengabaikan aspek komunikatif.
Kembali ke khittah
Dari aspek substantif yuridis, perubahan ini sudah sejalan dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Peraturan Pemerintah nomor 45 Tahun 2015 yang menyatakan bahwa pengambilan JHT dapat dilakukan saat usia 56 tahun.
Artinya, perubahan peraturan ini sebagai langkah mengembalikan filosofi dan fungsi JHT pada posisi yang semestinya.
Pemerintah dalam hal ini Kemnaker berusaha mengembalikan khitah JHT melalui perubahan peraturan.
Selama ini memang bila merujuk pada Permenaker sebelumnya, para buruh dapat mengambil dana sebulan setelah tidak lagi bekerja.
Ini dinilai tidak tepat dari sisi fungsi karena yang berlaku justru bukan jaminan hari tua, melainkan sebagai jaminan masa muda.
Selain itu, manfaat JHT bisa diklaim ketika seseorang mengalami PHK, tetapi memang tidak semua, yakni hanya sebesar 30 persen untuk rumah, dan 10 persen untuk manfaat lain.
Sekali lagi pemerintah mengupayakan JHT pada fungsi yang sebenarnya, yakni untuk memastikan bahwa ketika para buruh memasuki usia tua (56 tahun), maka mereka terjamin pembiayaannya di masa usia yang tidak lagi produktif.
Di sisi lain, pemerintah juga memahami keresahan dan protes yang disuarakan kaum buruh.
Atas hal itu pemerintah telah mempersiapkan bantalannya bernama Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
JKP memungkinkan para pekerja yang berstatus atau memiliki kepesertaan BPJS ketenagakerjaan yang ter-PHK tidak perlu lagi menarik dana JHT, karena mereka akan memperoleh cash bennefit selama enam bulan.
Dengan estimasi tiga bulan pertama 45 persen dari total gaji, dan tiga bulan berikutnya sebesar 25 persen.
Tidak hanya itu, JKP juga mengakomodasi manfaat mengikuti pelatihan secara gratis, dan akses informasi pasar kerja.
Pemerintah sudah menyiapkan alokasi anggaran awal sebesar Rp 6 triliun untuk jaminan kehilangan pekerjaan.
Di luar skema JKP, sebenarnya Kemnaker juga memiliki beberapa skema bantuan wirausaha seperti program Tenaga Kerja Mandiri (TKM), yang pada 2021 ada sekitar 171 paket TKM dibagikan kepada serikat pekerja.
Dengan kata lain terdapat banyak skema yang sudah dijalankan oleh pemerintah untuk memastikan agar para buruh mampu memberdayakan dirinya dalam kondisi serba tidak pasti.
Tudingan tidak benar
Pemerintah dalam hal ini Kemnaker sangat terbuka untuk segala masukan, kemudian berdiskusi dalam kerangka pendalaman pemahaman terkait Permenaker terbaru agar kegelisahan publik terjawab.
Sebab yang disayangkan ialah adanya narasi-narasi miring yang didiasporakan oleh sejumlah pihak terkait JHT.
Tudingan penyanderaan terhadap anggaran JHT untuk pembangunan IKN, tudingan penggunaan untuk penanggulangan anggaran Covid-19 dan tudingan lain sejenis sebagaimana yang disuarakan oleh beberapa pihak di media sosial merupakan tuduhan yang sama sekali tidak dapat dibenarkan.
Karena dana JHT terlindungi oleh akun yang hanya bisa diakses secara pribadi pekerja.
Pemerintah dan pihak manapun di luar pekerja dengan kepemilikan akun JHT sama sekali tidak dapat mengutak-atik dana JHT untuk kepentingan apapun.
Dan bukan hanya dana JHT, dana jaminan pensiun, dan dana-dana jaminan sosial lainnya di BPJS ketenagakerjaan yang sudah diatur secara ketat tidak mungkin dipergunakan untuk belanja pemerintah.
Sebaliknya, pemerintah menjamin perlindungan dan kesejahteraan bagi buruh dengan sejumlah skema program yang selama ini sudah berjalan.
Di lain pihak ramainya tanggapan terkait JHT di ruang publik merupakan hal biasa dalam suasana negara demokrasi.
Semua orang sah-sah saja mengeluarkan pendapat, sejauh pendapat tersebut diutarakan secara etis dan secara substansi memuat opini yang dapat dipertanggungjawabkan.
https://nasional.kompas.com/read/2022/02/17/15042731/khittah-jht-dan-keriuhan-publik