Salin Artikel

15 Tahun Aksi Kamisan dan Negara yang Seakan Lari dari Tanggung Jawab

Sejak 18 Januari 2007, para korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat beraksi mengenakan pakaian dan atribut serba hitam.

Mereka menuntut tanggung jawab negara dalam menuntaskan kasus HAM berat di Indonesia, seperti tragedi Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei 1998, Talangsari, Tanjung Priok dan Tragedi 1965.

Orang-orang datang dan pergi

Maria Katarina Sumarsih merupakan salah satu inisiator Aksi Kamisan.

Ratusan aksi telah dilalui. Setiap Kamis pukul 16.00-17.00 WIB, mereka mengenakan pakaian dan atribut serba hitam, berdiri, diam, dan berpayung hitam bertuliskan berbagai kasus pelanggaran HAM.

Seolah tak jemu, Sumarsih tetap konsisten menuntut keadilan atas meninggalnya sang putra, Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan, mahasiswa yang menjadi korban Tragedi Semanggi I pada 11-13 November 1998.

Aksi Kamisan bercikal-bakal pada tahun 1999, ketika Sumarsih bersama korban dan keluarga korban pelanggaran HAM membentuk sebuah paguyuban.

Paguyuban itu bernama Paguyuban Korban/Keluarga Korban Tragedi Berdarah 13-15 Mei 1998, Semanggi I (13 November 1998), Semanggi II (24 September 1999), dan Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TruK).

Tak banyak orang yang punya stamina cukup untuk terus berdiri menuntut keadilan melalui aksi di jalanan.

Sejumlah aktivis bahkan terang-terangan angkat kaki, sebut saja Fadjroel Rachman, pria yang terkenal galak terhadap rezim Susilo Bambang Yudhoyono namun akhirnya membelot ke lingkaran kekuasaan Joko Widodo.

Sumarsih kenal baik dengan Fadjroel. Ia juga pernah merasa terbantu karena Fadjroel kerap menjadi alternatif ketika refleksi jelang aksi masih nihil.

Namun, kata Sumarsih, Fadjroel yang telah menyeberang ke kekuasaan sudah berubah. Ia menyayangkan sikap Fadjroel dan beberapa aktivis yang memilih langkah yang sama.

Sumarsih, mereka kini telah melupakan agenda perjuangan yang dulu pernah sama-sama dituntut.

"Kelihatannya mereka kok tidak melanjutkan idealismenya. Perjuangan ketika masih bersama-sama dengan kami, keluarga korban. Tapi kenyataannya mereka larut ke dalam sistem," sesal Sumarsih dalam sebuah wawancara pada Februari 2020 lalu.

Anak yang hilang di tangan negara tak kunjung pulang. Kamar Wawan masih sepi tak berpenghuni. Kawan sebarisan telah melupakan cita-cita bersama.

Namun, Sumarsih terus bertahan melakukan aksi di seberang Istana. Tak kurang dari 540 lembar surat telah dilayangkan ke dalam Istana yang tak pernah peduli, baik ketika dihuni Yudhoyono atau Jokowi.

"Saya disemangati dengan kehadiran anak-anak muda yang datang di Aksi Kamisan, juga anak-anak muda yang mengadakan aksi kamisan di kota mereka masing-masing," kata Sumarsih.

Itu lah energi yang membantunya tetap setia menuntut pertanggungjawaban negara yang hinggas saat ini sengaja mengabaikan aspirasi mereka, padahal mereka beraksi dengan damai atas sebuah peristiwa kejahatan berat.

Peserta aksi kamisan bertemu dengan Presiden Joko Widodo pada 31 Mei 2018. Pertemuan itu merupakan yang pertama setelah 11 tahun mereka melakukan aksinya.

Dalam pertemuan itu, peserta Kamisan menuntut agar Jokowi mengakui kasus pelanggaran HAM yang sudah masuk dalam tahap penyelidikan di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Lalu?

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan, penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada masa lalu tidak berdasarkan keputusan presiden.

Menurut Mahfud, penuntasan kasus yang terjadi sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM dilakukan atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

"Penyelesaian kasus HAM berat sebelum 2000 ini nanti dengan persetujuan atau dengan permintaan DPR, jadi bukan Presiden yang ambil keputusan, tapi DPR," ujar Mahfud, seusai bertemu Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (28/11/2021).

Mahfud menuturkan, berdasarkan laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), terdapat 13 kasus pelanggaran HAM berat, 9 di antaranya terjadi sebelum tahun 2000.

Mahfud mengatakan, jika DPR menganggap rekomendasi atau hasil penyelidikan Komnas HAM harus ditindaklanjuti, nantinya DPR yang akan menyampaikan ke Presiden.

"Yang penting nanti didiskusikan dulu di DPR apa bisa ini dibuktikan, bagaimana jalan keluarnya," kata Mahfud.

Kendati demikian, upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu terhambat karena Kejaksaan Agung belum melakukan penyidikan.

Padahal, Komnas HAM telah menyerahkan berkas penyelidikan 12 kasus pelanggaran HAM ke Kejaksaan Agung.

Dua belas kasus yang hingga kini belum tuntas yakni Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius tahun 1982-1985, kasus Talangsari tahun 1989, Peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan II di tahun 1998-1999. Kemudian, Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Paksa tahun 1997-1998, Wasior 2001 Wamena tahun 2003 dan Pembunuhan Dukun Santet tahun 1998.

Apa pun birokrasi yang ditempuh pemerintah soal penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu ini, para peserta Aksi Kamisan masih setia di sana, menggelar aksi pada hari yang selalu sama, di titik yang sama, dengan atribut yang sama.

Pada hari dan di tempat itu lah, siapa pun pejabat negara yang punya hati bisa menemui mereka.

https://nasional.kompas.com/read/2022/01/21/07582381/15-tahun-aksi-kamisan-dan-negara-yang-seakan-lari-dari-tanggung-jawab

Terkini Lainnya

Anggap Jokowi Bukan Kader Lagi, Ini Alasan PDI-P Tak Tarik Menterinya dari Kabinet

Anggap Jokowi Bukan Kader Lagi, Ini Alasan PDI-P Tak Tarik Menterinya dari Kabinet

Nasional
Rancangan Peraturan KPU, Calon Kepala Daerah Daftar Pilkada 2024 Tak Perlu Lampirkan Tim Kampanye

Rancangan Peraturan KPU, Calon Kepala Daerah Daftar Pilkada 2024 Tak Perlu Lampirkan Tim Kampanye

Nasional
Nasdem dan PKB Dukung Prabowo-Gibran, PAN Sebut Jatah Kursi Menteri Parpol Koalisi Tak Terganggu

Nasdem dan PKB Dukung Prabowo-Gibran, PAN Sebut Jatah Kursi Menteri Parpol Koalisi Tak Terganggu

Nasional
Bilang Jokowi Sangat Nyaman, PAN Janjikan Jabatan Berpengaruh

Bilang Jokowi Sangat Nyaman, PAN Janjikan Jabatan Berpengaruh

Nasional
KPU Godok Aturan Baru Calon Kepala Daerah Pakai Ijazah Luar Negeri

KPU Godok Aturan Baru Calon Kepala Daerah Pakai Ijazah Luar Negeri

Nasional
Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis 'Pernah', Apa Maknanya?

Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis "Pernah", Apa Maknanya?

Nasional
Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Nasional
Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apa Pun

Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apa Pun

Nasional
Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Nasional
Menlu Sebut Judi 'Online' Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Menlu Sebut Judi "Online" Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Nasional
PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi 'Effect'

PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi "Effect"

Nasional
Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

Nasional
Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode sejak Menang Pilpres 2019

Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode sejak Menang Pilpres 2019

Nasional
Ikut Kabinet atau Oposisi?

Ikut Kabinet atau Oposisi?

Nasional
Gugat KPU ke PTUN, Tim Hukum PDI-P: Uji Kesalahan Prosedur Pemilu

Gugat KPU ke PTUN, Tim Hukum PDI-P: Uji Kesalahan Prosedur Pemilu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke