Salin Artikel

Jejak Persembunyian Wiji Thukul Usai Dituding Terlibat 27 Juli 1996

JAKARTA, KOMPAS.com - Aktivis, sastrawan, dan seniman Wiji Thukul menghilang usai Kerusuhan 27 Juli alias Kudatuli pada 1996.

Hingga saat ini, Thukul menjadi salah satu aktivis yang dicari karena nasibnya tidak jelas setelah diburu aparat di Rezim Orde Baru.

Menghilangnya Wiji Thukul bermula saat polisi memburu rumahnya di Solo.

Sebab, organisasi politik tempatnya bernaung, yaitu Partai Rakyat Demokratik (PRD), dituding oleh Kepala Staf Bidang Sosial dan Politik ABRI Letnan Jenderal Syarwan Hamid, sebagai dalang di balik peristiwa itu.

Ketika itu Wiji Thukul memutuskan untuk melarikan diri saat diburu aparat. Selama dalam pelarian, ia mengembara dari kota ke kota. Ia mendompleng truk, naik bus atau menumpang mikrolet.

Di tiap kota yang disinggahi, ia bersembunyi di rumah sahabat atau kenalan yang ia percaya. Dalam masa pelarian, ia juga tetap menulis sajak.

Berikut jejak persembunyian Wiji Thukul yang dikutip Kompas.com dari Seri Buku Tempo: Prahara Orde Baru Wiji Thukul yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia.

Awal Agustus 1996

Thukul memutuskan lari dari Solo. Awal pelarian itu ditulis Thukul dalam puisi "Para Jenderal marah-marah". Mula-mula ia ke Wonogiri, lalu ke Yogyakarta, Magelang, dan Salatiga.

Pelarian di atas truk itu ia tulis menjadi puisi "Aku Diburu Pemerintahku Sendiri".

Di Salatiga, ia betemu aktivis HAM, Arief Budiman, yang menyarankannya menemui Yosep Stanley Adi Prasetyo, yang juga aktivis HAM, di Jakarta.

Pertemuan Arief direkam Wiji Thukul dalam puisi "Buat L.Ch & A.B".

Pertengahan Agustus 1996

Thukul mendatangi adiknya, Wahyu Susilo, di kantor Solidaritas Perempuan, Jalan Dewi Sartika, Jakarta Timur.

Ia lalu disembunyikan di Bojong Gede, Bogor. Kemudian di Kelapa Gading, Jakarta Timur dan Bumi Serpong Damai, Tangerang selama satu-dua pekan.

Saat itu, ia menulis puisi "Kado untuk Pengantin Baru" buat Alex, salah satu tuan rumahnya yang baru menikah. Kemudian Thukul sempat dibawa tim evakuasi ke Bandung.

Akhir Agustus 1996

Ia dilarikan ke Pontianak, menginap di rumah Martin Siregar. Menggunakan nama samaran Aloysius Sumedi, ia sempat menulis cerpen berjudul "Kegelapan".


Januari 1997

Pulang ke Solo, kepada istrinya Diah Sujirah alias Sipon, ia minta dibuatkan pakaian bayi sebelum kembali ke Kalimantan. Sipon menduga Thukul sudah menikah lagi dan istrinya akan melahirkan.

Akan tetapi, menurut Martin, pakaian bayi itu sebagai hadiah untuk istri Martin yang sedang hamil.

Maret 1997

Thukul kembali ke Jakarta dan aktif lagi di PRD. Ia menjabat sebagai ketau Divisi Propaganda PRD. Ia sempat tinggal di rumah kontrakan aktivis PRD di Pekayon, Bekasi, dan rumah susun Kemayoran.

Saat di Pekayon, ia sempat mengajak Sipon dan anak-anaknya datang.

Agustus 1997

Ketika berkunjung ke rumah adiknya, Thukul mengaku sedang di Tangerang bersama Linda Christanty untuk mengorganisasi buruh dan tukang becak.

Di Karawaci, ia tinggal di rumah kontrakan bersama Lukman dan Andi Gembul.

November 1997

Thukul meminta izin kepada Linda, yang berada di sekretariat Mahasiswa Universitas Indonesia di Margonda Raya, Gang Salak, untuk pulang ke Solo, menengok Fajar Merah, anaknya, yang akan berulang tahun ketiga.

Desember 1997

Thukul bertemu dengan Sipon dan anak-anaknya di Yogyakarta dan tinggal satu pekan di Parangtritis.

Januari 1998

Thukul pindah ke Cikokol. Sebelum Idul Fitri, yang jatuh akhir Januari, ia menelepon adiknya dan mengatakan hendak pulang ke Solo untuk berlebaran.

April 1998

Thukul menelpon Cempe Lawu Warta, gurunya di Teater Jagat, menanyakan kabar Sipon dan anak-anaknya.

Ia berkata sedang di Bengkulu, Sumatera, dan menitipkan anak-anaknya kepada Lawu.

Mei 1998

Kerusuhan meledak di Jakarta. Thukul menelepon Sipon, khawatir terhadap keadaan istri dan anak-anaknya karena Solo ikut rusuh.

Ia juga mengatakan kondisinya baik-baiknya saja dan saat itu sedang di Jakarta. Dan tidak ada kabar dari Thukul setelah itu.

Maret 2000

Sipon melaporkan kehilangan Wiji Thukul ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) pada tahun 2000. 


Hilangnya Thukul terlambat disadari

Sebenarnya, hilangnya Wiji Thukul terlambat disadari. Setelah Soeharto jatuh dan para aktivis kembali muncul ke permukaan, Thukul tetap hilang.

Para aktivis menganggap Thukul dilindungi keluarga. Sebaliknya keluarga mengira Thukul disembunyikan partai.

PRD kemudian membentuk tim pelacak Thukul. Pencarian juga dilakukan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia, yang didirikan September 1998.

Orang yang secara terbuka mencium tanda-tanda hilangnya Thukul adalah Jaap Erkelens, peneliti Koninklijk Instituut voor Taal-Land-en Volkenkunde (KITLV), penerbit Belanda.

Pada 18 Februari 2000, Erkelens mengirim surat pembaca ke Harian Kompas. Dalam surat itu, ia meminta pembaca yang mengetahui keberadaan Thukul menghubunginya. Tapi, tidak ada tanggapan yang serius.

Pada Maret 2000, Sipon melapor ke Kontras. Pencarian dilakukan. Hasilnya nihil. Diduga kuat Wiji Thukul sudah meninggal.

Wiji Thukul memang hilang, tapi puisinya abadi dan menjadi teriakan wajib para demonstran: "Hanya ada satu kata: Lawan!".

Pada 2002, perjuangan Wiji Thukul dalam menegakkan demokrasi di Indonesia dianugerahi Yap thiam Hien Award dari Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia, Indonesia.

Kisah pelarian Wiji Thukul pun diabadikan dalam sebuah film yang berjudul Istirahatlah Kata-kata (2016).

https://nasional.kompas.com/read/2021/07/27/16312221/jejak-persembunyian-wiji-thukul-usai-dituding-terlibat-27-juli-1996

Terkini Lainnya

Seorang WNI Meninggal Dunia saat Mendaki Gunung Everest

Seorang WNI Meninggal Dunia saat Mendaki Gunung Everest

Nasional
Kasus Korupsi SYL Rp 44,5 Miliar, Bukti Tumpulnya Pengawasan Kementerian

Kasus Korupsi SYL Rp 44,5 Miliar, Bukti Tumpulnya Pengawasan Kementerian

Nasional
Keterangan Istri Brigadir RAT Beda dari Polisi, Kompolnas Tagih Penjelasan ke Polda Sulut

Keterangan Istri Brigadir RAT Beda dari Polisi, Kompolnas Tagih Penjelasan ke Polda Sulut

Nasional
Jokowi: Selamat Hari Buruh, Setiap Pekerja adalah Pahlawan

Jokowi: Selamat Hari Buruh, Setiap Pekerja adalah Pahlawan

Nasional
Pakai Dana Kementan untuk Pribadi dan Keluarga, Kasus Korupsi SYL Disebut Sangat Banal

Pakai Dana Kementan untuk Pribadi dan Keluarga, Kasus Korupsi SYL Disebut Sangat Banal

Nasional
'Brigadir RAT Sudah Kawal Pengusaha 2 Tahun, Masa Atasan Tidak Tahu Apa-Apa?'

"Brigadir RAT Sudah Kawal Pengusaha 2 Tahun, Masa Atasan Tidak Tahu Apa-Apa?"

Nasional
Prabowo: Selamat Hari Buruh, Semoga Semua Pekerja Semakin Sejahtera

Prabowo: Selamat Hari Buruh, Semoga Semua Pekerja Semakin Sejahtera

Nasional
Peringati Hari Buruh Internasional, Puan Tekankan Pentingnya Perlindungan dan Keadilan bagi Semua Buruh

Peringati Hari Buruh Internasional, Puan Tekankan Pentingnya Perlindungan dan Keadilan bagi Semua Buruh

Nasional
Pertamina Bina Medika IHC dan Singhealth Kolaborasi Tingkatkan Layanan Kesehatan

Pertamina Bina Medika IHC dan Singhealth Kolaborasi Tingkatkan Layanan Kesehatan

Nasional
Prabowo Diprediksi Tinggalkan Jokowi dan Pilih PDI-P Usai Dilantik Presiden

Prabowo Diprediksi Tinggalkan Jokowi dan Pilih PDI-P Usai Dilantik Presiden

Nasional
Daftar Aliran Uang Kementan ke SYL dan Keluarga: 'Skincare' Anak, Ultah Cucu, hingga Bulanan Istri

Daftar Aliran Uang Kementan ke SYL dan Keluarga: "Skincare" Anak, Ultah Cucu, hingga Bulanan Istri

Nasional
Jokowi dan Mentan Amran Sulaiman Bersepeda Bareng di Mataram

Jokowi dan Mentan Amran Sulaiman Bersepeda Bareng di Mataram

Nasional
'Jokowi Tembok Tebal yang Halangi PDI-P Berkoalisi dengan Prabowo'

"Jokowi Tembok Tebal yang Halangi PDI-P Berkoalisi dengan Prabowo"

Nasional
Projo Ungkap Kemungkinan Jokowi Akan Gabung Parpol Lain Setelah Tak Dianggap PDI-P

Projo Ungkap Kemungkinan Jokowi Akan Gabung Parpol Lain Setelah Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Jokowi Makan Mie Gacoan di NTB, Pesan Mi Level 0

Jokowi Makan Mie Gacoan di NTB, Pesan Mi Level 0

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke