JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab sempat melontarkan protes dan ancaman walkout dalam persidangan secara daring di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Jumat (19/3/2021).
Rizieq keberatan karena tidak dihadirkan secara langsung di ruang sidang PN Jakarta Timur dan harus mengikuti pembacaan dakwaan dari Mabes Polri, tempat ia ditahan.
Bahkan Rizieq mengatakan, tak akan pernah menghadiri sidang yang diselenggarakan secara daring hingga vonis dibacakan.
Jaksa penuntut umum kemudian mencoba membawa Rizieq ke ruangan tempat ia menjalani sidang online. Namun Rizieq bersikukuh enggan menghadiri sidang.
Dengan nada suara yang tinggi, berkali-kali Rizieq menolak untuk masuk ke dalam. Ia terus memperingatkan jaksa untuk tak memaksanya menjalani sidang online.
Lantas, apakah sikap Rizieq tersebut dapat dikategorikan sebagai contempt of court atau penghinaan terhadap lembaga peradilan?
Praktisi hukum Luhut Pangaribuan menilai, sikap Rizieq tersebut harus dilihat apakah memenuhi unsur pidana atau tidak.
Misalnya, penghinaan terhadap hakim atau lembaga peradilan.
“Jika sudah ada sifat pidananya, maka wajib dilaporkan kepada penyidik untuk ditindak lanjuti,” kata Luhut kepada Kompas.com, Jumat (19/3/2021).
Kendati demikian, jika hakim memandang perilaku Rizieq tersebut wajar, maka hal itu tidak termasuk dalam unsur pidana dan persidangan bisa dilanjutkan.
“Ya dianggap saja sudah selesai (mewajarkan perilaku Rizieq). Persidangan bisa dilanjutkan,” ucap dia.
Ketentuan soal penghinaan terhadap pengadilan diatur antara lain dalam Pasal 207 dan Pasal 217 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Seseorang dapat diancam pidana jika dengan sengaja di muka umum, dengan lisan atau tulisan, menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia.
Kemudian, seseorang menimbulkan kegaduhan dalam sidang pengadilan atau di tempat di mana seorang pejabat sedang menjalankan tugasnya dan tidak pergi sesudah diperintah oleh penguasa yang berwenang.
Terkait penolakan Rizieq terhadap persidangan secara daring, Luhut mengatakan polisi bisa saja memaksa untuk hadir dalam sidang tersebut.
Sebab, persyaratan persidangan harus dihadiri oleh terdakwa.
Menurut Luhut penolakan terhadap sidang secara daring akan merugikan banyak pihak, termasuk Rizieq sendiri.
“Sekalipun dia tidak merespon, persyaratan sudah dipenuhi dengan kehadiran terdakwa,” ujar Luhut.
“Jika Rizieq tidak mau, ya bisa dipaksa, ini jadi urusan teknis kepolisian untuk memaksanya hadir di persidangan nanti,” tutur dia.
Adapun Rizieq dan enam terdakwa lainnya menjalani sidang lanjutan secara daring dari tempat tahanan.
Mereka merupakan terdakwa dalam kasus kerumunan di Petamburan, kasus kontroversi tes usap (swab test) di RS Ummi, Bogor, dan kasus kerumunan di Megamendung.
Terdakwa Haris Ubaidillah, Ahmad Sabri Lubis, Ali Alwi Alatas, Idrus alias Idrus Al-Habsyi, dan Maman Suryadi yang terjerat kasus kerumunan Petamburan.
Terakhir, terkait kasus RS Ummi untuk terdakwa Muhammad Hanif Alatas, yang juga merupakan menantu Rizieq.
PN Jaktim sudah menggelar sidang perdana untuk perkara-perkara tersebut pada Selasa (16/3/2021). Sidang perdana untuk perkara nomor 225 bahkan sempat ricuh.
Hal itu disebabkan Rizieq dan kuasa hukumnya meminta agar terdakwa dihadirkan langsung di ruang persidangan tetapi permintaan itu ditolak oleh majelis hakim.
Akibatnya, Rizieq dan kuasa hukumnya memilih untuk walkout. Majelis hakim akhirnya memutuskan untuk menunda sidang.
https://nasional.kompas.com/read/2021/03/19/14504181/rizieq-shihab-sempat-marah-dan-walkout-penghinaan-terhadap-peradilan