JAKARTA, KOMPAS.com - Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) menilai, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini masih memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugasnya. Hal itu terlihat dalam upaya KPK menangkap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
"OTT ini menunjukkan bahwa KPK masih punya 'napas', meskipun kewenangan-kewenangan ampuhnya sudah dipreteli melalui Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019," kata peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman saat dihubungi, Kamis (26/11/2020).
Zaenur mengatakan, kinerja KPK saat ini memang menjadi sulit imbas revisi UU KPK yang mengatur bahwa penyadapan harus seizin Dewan Pengawas.
Dalam kasus Edhy, menurut Zaenur, hal itu tercermin dari proses penyelidikan yang dimulai pada Agustus 2020 dan baru berujung dengan operasi tangkap tangan (OTT) pada November 2020.
"Jadi ini bukan barang OTT tiba-tiba, tetapi ini sebuah proses penyelidikan yang cukup panjang dilakukan oleh KPK," ujar Zaenur.
Di sisi lain, Zaenur menyebut OTT KPK itu juga dapat menunjukkan praktik korupsi yang dilakukan Edhy sangat kasar sehingga mudah terendus oleh KPK.
"Korupsi yang dilakukan oleh menteri itu diduga sangat banal sampai bisa terendus KPK seperti itu," kata Zaenur.
Kendati demikian, ia mengingatkan KPK masih memiliki pekerjaan rumah untuk menangkap dua tersangka dalam kasus Edhy, yaitu staf khusus Edhy, Andreau Pribadi Misanta, dan seorang pihak swasta Amiril Mukminin.
Zaenur mengatakan, KPK harus benar-benar serius mengejar Andreau dan Amiril yang tidak terjaring operasi tangkap tangan.
Jika tidak, ia khawatir kasus Harun Masiku dapat terulang di mana keberadaannya masih menjadi misteri meski sudah berstatus buron selama 10 bulan.
"Yang menjadi pertanyaan publik saat ini, apakah KPK sungguh-sungguh dalam mengejar seperti Harun Masiku itu? Itu yang jadi pertanyaan. Saya berharap untuk dua buron baru ini juga KPK bersungguh-sungguh sehingga tidak perlu lagi lama-lama untuk tertangkap," kata Zaenur.
Seperti diketahui, KPK menangkap Edhy Prabowo dalam operasi tangkap tangan, Rabu (25/11/2020) dini hari. Kemudian, KPK menetapkan Edhy sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait izin ekspor bibit lobster.
Dalam kasus ini, Edhy diduga menerima uang hasil suap terkait izin ekspor bibit lobster senilai Rp 3,4 miliar dan 100.000 dollar AS melalui PT Aero Citra Kargo (PT ACK).
PT Aero Citra Kargo diduga menerima uang dari beberapa perusahaan eksportir bibit lobster karena ekspor hanya dapat dilakukan melalui perusahaan tersebut dengan biaya angkut Rp 1.800 per ekor.
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mengatakan, berdasarkan data, PT ACK dimiliki oleh Amri dan Ahmad Bahtiar. Namun diduga Amri dan Bahtiar merupakan nominee dari pihak Edhy Prabowo dan Yudi Surya Atmaja.
"Uang yang masuk ke rekening PT ACK yang diduga berasal dari beberapa perusahaan eksportir benih lobster tersebut, selanjutnya di tarik dan masuk ke rekening AMR (Amri) dan ABT (Ahmad Bahtiar) masing-masing dengan total Rp 9,8 miliar," kata Nawawi, Rabu (25/11/2020).
Selain Edhy, KPK menetapkan enam tersangka lain, yaitu staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Safri dan Andreau Pribadi Misata, pengurus PT Aero Citra Kargo Siswadi, staf istri Menteri Kelautan dan Perikanan Ainul Faqih, Direktur PT Dua Putra Perkasa Suharjito, serta seorang pihak swasta bernama Amiril Mukminin.
https://nasional.kompas.com/read/2020/11/26/13485781/penangkapan-edhy-prabowo-pukat-ugm-kpk-masih-punya-napas