Hal itu diungkapkan Komjen (Purn) Setyo Wasisto saat menjadi saksi dalam kasus dugaan korupsi terkait penghapusan red notice Djoko Tjandra dengan terdakwa Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (23/11/2020).
Awalnya, Sekretaris National Central Bureau (NCB) Interpol Indonesia pada Divisi Hubungan Internasional Polri periode 2013-2015 itu mengaku pernah menyurati Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM pada 12 Februari 2015.
“Alasan saya membuat surat karena mendapat laporan dari anggota, orangtua dari Djoko Tjandra meninggal dan disemayamkan di rumah duka di Jakarta. Kami menyurat berdasar referensi red notice," kata Setyo saat sidang, seperti dikutip dari Tribunnews.com.
Dalam surat itu, pihaknya menjelaskan bahwa Djoko Tjandra merupakan buronan Kejaksaan Agung.
Setyo mengatakan, pihaknya juga menyertakan dua identitas Djoko Tjandra.
“Kami juga mencantumkan ada dua identitas, karena kami mendapat ada adendum (tambahan) dari red notice, adanya identitas baru dari, nomor paspor dari negara Papua Nugini," ujarnya.
Mantan Kadiv Humas Polri tersebut mengaku tidak mendapat surat balasan dari pihak Imigrasi kala itu.
Namun, Setyo mengingat tim telah berjaga di sejumlah tempat yang diprediksi bakal didatangi Djoko Tjandra.
“Ada tim Interpol, Bareskrim, Kejagung dan Imigrasi. Kami ingat betul mendapat laporan pelaksanaan tugas kegiatan tersebut, baik di rumah duka, pemakaman, maupun di Bandara Halim. Ternyata nihil, tidak diketemukan," ungkap dia.
Setyo mengaku tidak mengetahui apakah nama Djoko Tjandra masuk dalam sistem pencekalan Imigrasi atau tidak.
Sebab, pihaknya hanya mengingatkan bahwa seorang buronan bakal masuk ke Indonesia.
“Tetapi harapan kami mengingatkan, karena ada potensi Djoko Tjandra masuk ke Indonesia. Karena orang tuanya meninggal," tutur Setyo.
Adapun total terdapat empat terdakwa dalam kasus red notice ini.
Djoko Tjandra didakwa menyuap dua jenderal polisi yakni Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo.
Sementara itu, Tommy Sumardi didakwa menjadi perantara suap dari Djoko Tjandra kepada dua jenderal polisi tersebut.
Untuk Irjen Napoleon, ia didakwa menerima uang dari Djoko Tjandra sebesar 200.000 dollar Singapura dan 270.000 dollar Amerika Serikat atau Rp 6,1 miliar.
JPU mendakwa Prasetijo menerima uang sebesar 150.000 dollar AS atau sekitar Rp 2,2 miliar dalam kasus tersebut.
Menurut JPU, atas berbagai surat yang diterbitkan atas perintah Napoleon, pihak Imigrasi menghapus nama Djoko Tjandra dari daftar pencarian orang (DPO).
Djoko Tjandra yang merupakan narapidana kasus Bank Bali itu pun bisa masuk ke Indonesia dan mengajukan PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Juni 2020 meski diburu kejaksaan.
https://nasional.kompas.com/read/2020/11/23/21242441/orangtua-djoko-tjandra-meninggal-di-tahun-2015-tim-sempat-berjaga-jaga-di