Menurut Wijayanto, hal tersebut disebabkan karena pada periode kedua, oposisi melemah lantaran sejumlah elite yang kerap bertentangan dengan Jokowi bergabung dengan pemerintahan.
"Koalisi di parlemen itu hampir semua partai kecuali PKS, mendukung pemerintah. Pemerintah mau Pilkada, terjadi, juga mau Omnibus Law terjadi, kenapa? Karena elitnya tidak ada oposisi lagi, ciri-ciri kemunduran demokrasi tidak adanya oposisi, jadi dari sisi politik kondisinya lebih parah dari periode pertama Jokowi," kata Wijayanto dalam diskusi secara virtual, Kamis (5/11/2020).
Wijayanto mengatakan, saat ini muncul oposisi di luar parlemen, yakni Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).
Namun demikian, menurut Wijayanto, kritik yang sering disampaikan anggota KAMI kadang berujung di laporan polisi.
Di sisi lain, Presiden Jokowi akan memberikan gelar Bintang Mahaputera kepada Gatot Nurmantyo.
"Sehingga pelemahan oposisi itu terjadi terus menerus sehingga tidak ada check and balaces mengontrol," ujarnya.
Berdasarkan hal tersebut, Wijayanto mengatakan, tugas mengkritisi pemerintah harus diambil alih masyarakat.
"Kenapa? karena parlemen tidak berfungsi hari ini," ucapnya.
Wijayanto melanjutkan, masyarakat sipil harus cerdas dalam menyampaikan kritik di ruang publik agar terhindar dari pelanggaran aturan perundang-undangan yang ada.
"Masyarakat sipil harus cerdas bagaimana kritisi di media tetapi terhindar dari UU ITE, kita harus punya kesadaran atas UU ITE itu bagaimana mensiasatinya, contohnya, kalau mau kritik, ya kita kritik institusinya bukan orangnya," pungkasnya.
https://nasional.kompas.com/read/2020/11/05/18574831/peneliti-lp3es-kemunduran-demokrasi-lebih-parah-pada-periode-kedua-jokowi