Penggugatnya yakni dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia bernama Allan Fatchan Gani. Ia mengajukan gugatan uji formil sekaligus materil terkait undang-undang itu.
Dari segi formil, pemohon menilai bahwa proses revisi UU MK bertentangan dengan tata cara pembentukan undang-undang yang diatur Pasal 22A UUD 1945.
Sebab, UU MK direvisi tanpa partisipasi publik serta proses pembahasannya tertutup dengan waktu yang sangat terbatas.
"Naskah akademik perubahan UU MK dibentuk tanpa alasan akademik yang fundamental. Hal tersebut tergambar dari adanya kesalahan metodologi penelitian, tidak ditopang data yang akurat serta beberapa kajian naskah akademik yang disyaratkan oleh UUP3 (Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) tidak disertakan," tulis pemohon dalam berkas permohonannya yang diunggah di laman resmi MK RI.
Dari segi materil, ada sejumlah ketentuan yang dipersoalkan pemohon. Pertama, ketentuan mengenai syarat usia minimal hakim konstitusi yang dimuat dalam Pasal 15 Ayat (2) huruf d UU 7/2020.
Dalam UU MK hasil revisi, syarat usia minimal hakim dinaikkan menjadi 55 tahun. Padahal, menurut Putusan MK Nomor 7/PUU-XI/2013, syarat usia minimal hakim konstitusi yakni 47 tahun.
Menurut pemohon, pada usia 55 tahun seseorang mengalami penurunan kapasitas kerja dan fisik yang lebih besar daripada usia 47 tahun, sehingga dapat menyebabkan problem kelembagaan seperti lambatnya penyelesaian perkara di MK.
Ketentuan tersebut juga dinilai menutup kesempatan bagi warga negara yang belum berusia 55 tahun untuk menjadi hakim MK.
"Padahal dimungkinkan warga negara tersebut telah memenuhi syarat-syarat sebagai hakim konstitusi yakni memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan," kata pemohon.
Pemohon juga menyoal penghapusan masa jabatan hakim konstitusi.
Semula, masa jabatan hakim MK berlaku selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 kali masa jabatan. Dalam UU MK hasil revisi ketentuan tersebut dihapus.
Hakim konstitusi dapat menjabat maksimal hingga usia 70 tahun. Dengan demikian, masa jabatan hakim MK paling lama adalah 15 tahun.
Menurut pemohon, dihapusnya ketentuan mengenai masa jabatan hakim MK telah menghilangkan fungsi pengawasan dan evaluasi terhadap hakim, lantaran prosedur uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) pada masa jeda jabatan menjadi hilang.
Pemohon juga menilai, masa jabatan selama 15 tahun terlalu lama sehingga berpotensi menyebabkan penyalahgunaan jabatan.
"Bahwa usia masa jabatan hakim konstitusi selama maksimal 15 tahun mencerminkan usia masa jabatan yang terlalu lama serta ditambah hilangnya ruang evaluasi terhadap hakim konstitusi berimplikasi pada potensi penyalahgunaan kekuasaan dan tindakan profesional," kata dia.
Pemohon pun meminta agar UU MK hasil revisi ketiga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/9/2020).
Sebelum UU disahkan, Wakil Ketua Komisi III Adies Kadir menyampaikan, pembahasan RUU Mahkamah Konstitusi dimulai sejak 25 Agustus sampai 28 Agustus 2020.
"Panja selanjutnya membentuk timus dan timsin untuk melakukan perumusan dan sinkronisasi seluruh materi substansi yang ditugaskan panja," kata Adies.
Menurut dia, panja, timus, dan timsin melakukan penyempurnaan substansi terhadap RUU MK seperti mengenai kedudukan, susunan, dan kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Kemudian, mengenai usia minimal,syarat dan tata cara seleksi hakim konstitusi, penambahan ketentuan baru mengenai unsur majelis kehormatan di Mahkamah Konstitusi.
https://nasional.kompas.com/read/2020/10/14/12094281/pasal-tentang-syarat-usia-dan-masa-jabatan-hakim-dalam-uu-mk-digugat